Mohon tunggu...
Fawaizzah Watie
Fawaizzah Watie Mohon Tunggu... wiraswasta -

Perempuan. Duapuluhan. \r\n\r\n\r\nhttp://fawaizzah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Expedisi Canting: Bermalam Diiringi Deburan Ombak & Petikan Gitar Paman Dori

12 Mei 2011   05:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:48 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjalanan sebelumnya ...

Pukul 5 sore, Alhamdulillah, kita sampai di Pantai Seruni. Sebuah Pantai yang sangat menawan. Hamparan pasir putih yang bertabut pasir hitam yang nampak gemerlapan, karang yang kokoh, ombak yang tak lelah berhenti. Sungguh, pantai yang sempurna. pantai yang luar biasa. Dan lagi-lagi saya hanya mampu berujar Subhanallah….

[caption id="attachment_107370" align="aligncenter" width="672" caption="Pantai Seruni Doc. pribadi"][/caption]

Segera, kami menyiapkan tenda sebelum hari semakin gelap. Ika Maria langsung menyiapkan makan malam. Berbagai cara dan gaya kami lakukan untuk membuat tenda ini berdiri, tapi kami harus menelan ludah berkali-kali karena berkali-kali juga kami gagal membuat tenda itu berdiri tegak. Hari makin gelap, tapi tenda tak juga mau berdiri dengan kokohnya.

Kurang lebih satu jam dari kedatangan kami, akhirnya Tuhan membisikkan kalimat ajaib kepada mba Lutfi. “Mungkin, besinya ini bukan ditali dengan tali yang ini, tapi dimasukkan ke lubang ini. Terus patoknya tadi dipautkan ke sini!” katanya sambil mempraktekkan apa yang dia ucap. Dan nyatanya berhasil.

Setelah tenda berhasil berdiri, kami mencari kayu untuk dibuat api unggun. Bukan kayu sebenarnya, hanya ranting-ranting kecil, palstik, tempurung kelapa dan sampah lain yang ada di pantai. Karena hanya membawa satu senter (penerangan) maka, kami harus bergantian dengan Ika Maria dalam menggunakannya.

Kami selesai mendirikan tenda, kami berhasil menyalakan api unggun dan Ika Maria juga telah siap dengan makan malamnya. Nasi dengan sarden siap kami nikmati. Di terangi dengan cahaya api unggun yang sering padam, diiringi deburan ombak dan kelipan bintang yang nampak malu-malu di balik awan hitam sana, kami menikmati makan malam kami.

[caption id="attachment_107571" align="aligncenter" width="300" caption="api unggun "][/caption]

Nasi tiada sisa, perut masih mendendangkan lagu lamanya, maka roti dan camilan lain pun menemani kami, malam itu. Diiringi petikan gitar Paman Dori dan lantunan lagu yang dilantunkan oleh Ika Maria dan Hendra Arkan. Semua terasa istimewa. Malam (meski tanpa bintang), bersama lagu-lagu lawas yang dialunkan setengah-setengah, petikan gitar, cahaya api unggun yang sering padam, obrolan, tawa, canda, jepretan photo dan makan. Ya itulah acara kami malam itu.

Hingga malam semakin menjelang, cerita dari mulut kami tak juga terhabiskan. Capek duduk, kami pun mengambil mantel hujan, menggelarnya di hamparan pasir, lalu kami berbaring menatap langit, sambil masih terus bercerita. Malam makin pekat, diantara kami ada yang memilih tidur di dalam tenda dan yang lainnya lebih memilih untuk terus mengobrol, bernyanyi hingga pagi.

[caption id="attachment_107560" align="aligncenter" width="300" caption="just ilustration Doc. Hendra Arkan"][/caption]

Pagi datang. Alhamdulillah. Kami segera menuju sumber air tawar. Ya, ada sumber air tawar di sana. Jatuh, menetes dari tebing-tebing atas. Menetes, seperti guyuran hujan yang deras. Kami memanfaatkan air itu untuk membersihkan diri (wudhu), memasak, dan minum.

[caption id="attachment_107572" align="aligncenter" width="300" caption="yg seperti hujan itu adl air tawar Doc. Aziz Ngashim"][/caption]

Setelah matahari sedikit meninggi, kami bertujuh (Mba Lutfi sedikit tak enak badan, dan dia berdiam di tenda) berasyik masyuk di pantai. Bermain (saling lempar) pasir, mandi, sampai potopoto. Hingga datang suara dari atas tebing,”Le, ndang pada munggah, sedela maneh banyune pasang!” ya, suara itu dari seorang nelayan.

Akhirnya, kami menurut saja. Tapi tidak berhenti bermain dan bersenang-senang. Kami hanya pindah tempat. Sekarang permainan kami lebih seru, kami bermain tarik tambang dan lompat tali di pantai. Sambil sesekali saling berpegangan erat saat ombak datang menerjang.

Setelah puas berbasah-basahan, barulah saya merasakan betapa sesatnya petuah Aziz Ngashim tentang ransel kemarin. bagaimana tidak? Hanya kami berdua yang tak membawa baju ganti. Tubuh kami penuh pasir. Dan kami (semua) tak ada yang berani membersihkan diri di sumber air tawar. Laut pasang, dan ombak menghalangi jalan kami menuju tempat itu.

[caption id="attachment_107566" align="aligncenter" width="300" caption="Bersantai Doc. Hendra Arkan"][/caption] [caption id="attachment_107568" align="aligncenter" width="300" caption="menggila"][/caption]

Akhirnya, sambil menunggu air laut surut Mba Lutfi, Ika Maria, Mas Hendra dan Paman Dori tiduran di gubug nelayan, sedang saya, Mba Rina, Mas Yula, dan Ngashim justru asyik main poker. Masih dalam keadaan basah kuyup dan penuh pasir. :D

[caption id="attachment_107562" align="aligncenter" width="300" caption="lelap sejenak, menunggu air laut surut Doc. pribadi"][/caption]

Matahari mulai condong ke barat, jam satu harusnya kami bersiap untuk kembali pulang. Tapi apa daya, laut tak kunjung surut. Ombak masih begitu besarnya. Seorang nelayan udang menyarankan kami untuk pulang melewati bukit.

“Kita tunggu sampai jam 3, kalau masih belum surut, kita lewat bukit saja” begitu petuah sang kapten Hendra.

Jam 3, laut mulai sedikit surut. Kami bersiap, melipat tenda, membakar sampah sisa kami semalam, dan memastikan tak ada barang kami yang tertinggal di pantai Seruni. Kurang lebih jam setengah empat sore, kami memutuskan untuk kembali pulang mlipir pantai, sama seperti saat kita datang.

[caption id="attachment_107564" align="aligncenter" width="300" caption="Membakar sampah sisa semalam Dpc. pribadi"][/caption] [caption id="attachment_107565" align="aligncenter" width="300" caption="Persiapan pulang Doc. pribadi"][/caption]

Perjalanan pulang kami tak semudah perjalanan keberangkatan. Sesekali ombak besar menerjang kami, hingga diantara kami harus saling berteriak, memastikan kawan yang ada di depan atau belakang kami sudah berpegangan karang. Aman. Selamat.

Bahkan, saat sampai di salah satu pantai, tiba-tiba ombak yang sangat besar datang. Ika Maria dan Mba Rina sudah sampai tepi, saya yang ada dibibir pantai langsung keterjang ombak setinggi dada saya. Mba Rina dan Ika Maria serentak teriak “Pegangaaaan!!” sedang Mas Yula, Mba Lutfi dan Ngashim yang masih ada di belakang benar-benar telah ditenggelamkan ombak. Alhamdulillah, ombak tak menggulung mereka, hingga gitar Ika Maria yang dibawa Ngashim selamat. #hloh…

Dari Pantai Seruni sampai Pantai Sundak, kami harus melewati 9 pantai. Diantaranya Pantai Nenehan, Pantai Kajang, Pantai Lawang Watu, Pantai Ndawut, Pantai Portugal, Pantai Indrayanti, Pantai Tenggolek, dan ada 2 pantai yang kami tak tahu namanya. Dan kami memerlukan waktu kurang lebih 2 jam untuk setiap perjalanan kami.

[caption id="attachment_107567" align="aligncenter" width="300" caption="Pantai yang harus dilewati"][/caption]

Setiap pantai itu memiliki panorama, keindahan, dan kesulitan yang berbeda. Bahkan saya tak merasakan rasa capek sama sekali dalam perjalanan itu, barulah ketika kaki kami kembali menginjak Pantai Sundak, tanda akhir perjalanan, kaki saya terasa pegal.

Sekitar jam 6 malam waktu Sundak, Gunung Kidul, Jogja, kami meluncur pulang. Semua sudah ganti baju (kecuali saya dan Mba Rina). Karena takut masuk angin, mba rina akhirnya memilih meminjam celana pendek (k*lor) Ika Maria, dan saya ditawari celana training punya Mas Hendra. Meski panjangnya melebihi panjang kaki saya, meski celana itu bocor, saya tetap mengiyakan saja. Ya, dari pada saya masuk angin nantinya.

Cerita ini belum selesai, masih ada satu tempat lagi yang membuat saya tak berhenti berucap Subhanallah. Ya, Bukit Bintang. Kami berhenti di salah satu restoran di Bukit Bintang. Bukan restoran atau makanannya yang membuat saya berdecak Subhanallah, tapi pemandangan yang saya saksikan. Subhanallah, sungguh tempat itu sangat luar biasa indahnya. Kita bisa melihat tatanan kota Jogja dari sini, ya dari atas sini. Lampu kota Jogja nampak berkerlipan. Mobil dan kendaraan yang berlalu lalang nampak seperti bintang yang berjalan. Subhanallah….

[caption id="attachment_107569" align="aligncenter" width="300" caption="Bukit Bintang"][/caption]

Akhirnya cerita ini berakhir, seiring matinya lampu Greenz Café, tempat dimana kawan-kawan canting biasa menyusun setiap rencana ‘bersenang-senang’ mereka. Terlelap. Tidur. Dan Bermimpi kembali bersenang-senang di Pantai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun