“Sudah dibelikan baju dan topi baru? Terus sepatunya sudah di belikan juga? Jangan lupa nyari kembang yang banyak, biar airnya nanti wangi!” kata simbah panjang lebar kepada Suratmi, cucu pertamanya.
[caption id="attachment_104900" align="aligncenter" width="300" caption="Simbah Gemi dan Bian"][/caption]
Ya, saat itu adalah menjelang upacara pitonan Bian Dwi Hanifah, cicit simbah. Anak Mba Suratmi atau yang biasa di panggil Mba Mi. Usia Bian, gadis kecil nan lucu itu mulai beranjak 7 1)lapan. Orang-orang di desaku, sering kali menggunakan lapan sebagai perhitungan usia bayi. Khususnya dalam menentukan upacara-upacara adat untuk si bayi.
Upacara pertama adalah ketika bayi berumur 5 hari, upacara itu dinamakan sepasaran bayi. Dalam kalender jawa hanya ada 5 hari, bukan tujuh. Diantaranya, Pahing, Pon, Wage, Kliwon, Legi. Dalam acara ini biasanya, para tetangga dan kerabat datang ke rumah orang yang sedang berbahagia tersebut. Selain mengucapkan selamat, para kerabat dan tetangga yang datang tentunya juga sambil membawa 2)sanggan barupa sembako dan tak lupa juga amlop berisi uang. Dalam upacara ini, selalu ada 3)embel-embel.
Upacara bayi selanjutnya yaitu selapanan bayi, yaitu ketika bayi berumur 35 hari. Upacara ini tak terlalu banyak 4)reniknya, paling hanya membuat 5)ambengan untuk kemudian orang tua bayi mengundang beberapa tetangga untuk datang ke rumah. Berdoa bersama untuk keselamatan bayi lalu membagi rata ambengan. Tak lupa, embel-embel selalu ikut serta dalam upacara bayi.
Setelah selapanan, upacara selanjutnya yaitu telune. Upacara ini dilakukan ketika bayi berumur 3 lapan (3 x 35 hari). Rangkaian upacara telune bayi hampir sama dengan upacara selapanan. Dan embel-embel tak pernah ketinggalan. Ada upacara bayi selalu ada embel-embel.
Oke, sekarang kita akan membiacarakan tentang upacara bayi selanjutnya, yaitu pitune / pitonan bayi. Upacara ini dilakukan ketika usia bayi menginjak 7 lapan. Mungkin, di sini saya akan mengisahkan tentang upacara pitonan si Bian, gadis mungil yang menggemaskan yang sukses terlaksanakan 2 hari lalu.
“Rangkaian kembang, baju, sepatu, topi baru taruh di nampan? Jangan lupa buku dan alat tulis, terus duit receh (uang logam), payungnya jangan lupa.” begitu perintah simbah.
[caption id="attachment_104897" align="aligncenter" width="300" caption="Pakaian Baru"]
“Ayo nak, pada mandi terus pakai baju yang bagus. Nanti di poto sama Mba Wati, sebentar lagi dek Bian di mandikan” begitu teriak para ibu-ibu kepada anak-anaknya yang masih mainan hujan. Saya hanya tersenyum sambil memegang handphone berkamera 2 mp. Dan itu bukanlah sebuah kamera yang bagus, tapi saya rasa cukup untuk mengabadikan moment ini.
Jam setengah empat sore, si Bian baru bangun dari tidur siangnya yang lelap. Segera di gendong oleh kanjeng mami-ku yang saat itu berperan sebagai mbah dukun. (Perlu di tegaskan di sini, ibuku bukan dukun bayi, hanya saja si Bian gadis kecil ini sejak dia lahir ibuku yang membantu mengurusnya. Bukan karena tak ada dukun bayi, hanya saja jika menggunakan jasa dukun bayi asli, Mba Mi akan membutuhkan biaya lebih sebagai upahnya). Segera Bian di gendong ke sumur, belakang rumah. Anak-anak kecil beserta ibu-ibunya mengikuti di belakang dengan hikmatnya.
Beberapa ibu yang sudah di sana menyiapkan air di bak mandi Bian, lalu ditaburi dengan bermacam-macam bunga, ada sebuah telur ayam jawa dan beberapa keping uang logam.
“Nanti kalau Adeknya sudah selesai dimandikan, uang logamnya boleh diambil, dibuat rebutan” kata kanjeng mami-ku kepada hadirin yang ada di sana.
[caption id="attachment_104893" align="aligncenter" width="300" caption="doc pribadi"]
“Ayo nangis…. Ayo nangis…. Kok gak nangis? Ayo dicubit pantatnya Uti…” begitu teriak para Ibu-ibu dengan semangatnya. Yang di semangati agar nangis justru ketawa-ketawa karena mandi di kelilingi banyak teman sambil mainan bunga di bak mandinya. Oh iya, bagi bayi yang di mandikan saat upacara pitonan diharuskan nangis. Kenapa harus menangis? Beberapa orang saya tanyai mengenai hal ini, namun saya belum temukan jawannya.
Sesaat setelah kanjeng mami-ku memaklumatkan bahwa semua yang ada di bak mandi boleh disurut (diambil) anak-anak saling berebut mendapatkan kepingan uang logam yang ada di sana. Tak terkecuali para ibu-ibunya. Ada yang dapat banyak. Ada yang tak dapat sama sekali. Namanya juga rebutan. :D
[caption id="attachment_104896" align="aligncenter" width="300" caption="Bersiap Berebut Koin"][/caption]
Sesi selanjutnya yaitu memakaikan pakaian baru buat di kecil, lalu mengalungkan rangkaian bunga dan menali selendang yang di dalamnya ada buku dan alat tulis ke badan si kecil. Selendang berisi buku dan pensil itu di simbolkan sebagai ilmu dan kepintaran.
Setelah itu, kanjeng mami-ku yg selaku mbah dukun membacakan doa untuk si kecil lalu membagikan aneka macam makanan untuk orang-orang yang hadir di sana. Si kecil mendapat bagian paha sampai ceker ayam. Setelah urusan pembagian makanan itu selesai, si kecil diarak menuju halaman depan sambil payungan. Sedang Mba Mi dan suaminya, selaku orang tua si kecil menjemputnya sambil membawakannya minum air putih. Nah, ini adalah moment paling mengharukan. Tak sedikit yang menitikkan air mata.
“Apa oleh-olehnya dari Mekah-Madinah, Nduk?” tanya Mba Mi, kepada si kecil. Saya kurang mengerti, kenapa Mekah-Madinah.
Berhubung si kecil belum bisa jawab, maka di jawab sama Mbah dukunnya (kanjeng mami-ku),”Oleh-olehnya amal ibadah sholeh, doa-doa baik, semua isi al-quran, ilmu yang bermanfaat, kepintaran, dan semua hal baik lainnya, Bu..”
“Untuk apa semua itu Nduk?” Tanya Mba Mi lagi.
“Untuk bekal hidup di dunia dan akhirat kelak, sebagai saku untuk beribadah kepada Allah dan berbakti kepada Bapak dan Ibu.” Begitu jawab mbah dukunnya sambil 6)mbrebes mili, sedang si kecil asyik jilatin daging ayamnya. Lalu Mba Mi memberi minum pada si kecil.
[caption id="attachment_104899" align="aligncenter" width="300" caption="Sesi tanya jawab :D"][/caption]
Jangan kira acaranya sudah selesai, masih ada acara berikutnya lagi.
“Ini oleh-olehku lainnya, aku bagikan kepada kalian sebagai tanda berbagi kebaikan” begitu kata mbah dukun sambil menyebar banyak uang logam ke atas. Jika di banyak upacara pitonan moment ini berjalan mulus maka berbeda dengan acara pitonan si Bian aka Nimplut.
“Awaaaas….. huaaaaa….” Semua orang berteriak. Histeris.
Dalam hitungan detik, semua orang terjungkal. Termasuk kanjeng mami-ku yang sedang menggendong si Bian. Suasana langsung riuh, ada yang menangis ada yang teriak-teriak kesakitan.
Saya? Tentu saja saya adalah salah satu orang yang beruntung karena tak ikut terjatuh dan tertindih. Ya, selain karena saya kebagian tugas mengabadikan setiap moment, saya juga tak ikut-ikutanan berebut koin-koin yang di lempar itu. Selamatlah saya.
Ups, jangan cemas dan khawatir. Semua orang di sana baik-baik saja. Bahkan setelah bangun mereka semua tertawa. Menyadari betapa lucunya mereka. Saling tubruk demi beberapa koin limaratus rupiah. Eh, tapi bukankah di Indonesia, berebut sesuatu yang tak begitu bernilai itu sesuatu yang wajar?
Lepas dari itu semua, upacara pitonan si Bian gadis kecil nan menggemaskan ini menjadi headlines di penjuru desa dan nampak menyenangkan bagi banyak orang.
[caption id="attachment_104901" align="aligncenter" width="300" caption="Enak"]
Dan ini dia video amatirannya :D
Upacara Pitonan Bayi di daerah Kartoharjo, Magetan
Catatan kaki:
1)lapan: Selapan (satu lapan) itu sama dengan 35 hari
2)sanggan: Barang-barang yang di bawa untuk di sumbangkan, biasanya berupa sembako
3)embel-embel. : Makanan yang terbuat dari tepung beras / ketan lalu di dalamnya ada enten-enten kelapa / gula, dibungkus dengan daun pisang lalu di kukus. Biasanya berbentuk limas.
4)reniknya: macamnya
5)ambengan: beberapa makanan yang digunakan untuk kenduri.
6)mbrebes mili: menitikkan air mata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H