Beberapa waktu yang lalu masyarakat Indonesia banyak dikejutkan dengan terbongkarnya kasus mafia perpajakan. Bermula dari keterangan Komjen Susno Duadji yang menyebutkan adanya makelar pajak yang difasilitasi oleh beberapa perwira polri, kasus pun bergulir. Dalam waktu singkat tertangkaplah bandit-bandit pajak diantaranya Gayus Tambunan, Pegawai Ditjen Pajak Golongan IIIA yang kedapatan menilap 28 miliar dari kasus pajak yang ditanganinya. Beberapa saat kemudian menyusul Bahasjim yang kedapatan melakukan money laundering dan gratifikasi. Belakangan mencuat nama Cyrus Cinaga, Haposan Hutagalung, Sjahril Johan dan sindikat bandit pajak di Surabaya yang diotaki Suhertanto (Kepala Seksi Penagihan di KPP Rungkut). Kasus Suhertanto diperkirakan merugikan uang negara hingga 300 miliar.
Kasus ini menjadi sebuah ironi ditengah program reformasi  remunerasi yang digalakkan Dapartemen Keuangan. Anggapan bahwa reformasi renumerasi akan menyelesaikan permasalah birokrasi agaknya keliru. Dengan masih terbukanya kesempatan untuk melakukan tindakan koruptif, sebagus apapun program reformasi renumerasi yang diterapkan tidak akan bisa menghalau bandit-bandit pajak beroperasi. Reformasi renumerasi hanya menjadi sebuah pemborosan anggaran ketika sistem masih memberikan peluang bagi bandit pajak untuk "bermain".
Homo Economicus
Dalam kacamata ilmu ekonomi, manusia memiliki naluri dasar rakus dan tidak pernah puas dengan hasil yang dicapai. Dalam literatur ekonomi biasa dikenal dengan istilah homo econmicus. Adam Smith (1729-1790), dalam salah satu bukunya yang legendaris An Inquiry into The Nature and Causes of The Wealth of The Nations (1976) bahkan mengatakan semua manusia adalah homo economicus (manusia ekonomi). Artinya manusia adalah makhluk yang berusaha terus-menerus memenuhi kebutuhannya, selalu mengejar kemakmuran dan kepentingan untuk dirinya masing-masing. Manusia adalah makhluk ekonomi yang tidak pernah puas dengan apa yang telah diperolehnya.
Di satu sisi manusia tak pernah puas dengan apa yang telah diperolehnya, ia selalu berupaya memperoleh satu kebutuhan dan kebutuhan lainnya, sementara pada sisi yang lain, sayangnya, alat pemuas kebutuhannya juga terbatas atau langka (scarcity). Pada konteks inilah, siklus ekonomi manusia berlangsung demikian dinamis, beradaptasi dengan kenyatan ekonomi yang ada hingga melakukan beragam inovasi di bidang ekonomi demi memuaskan aneka kebutuhannya. Kecenderungan untuk memuaskan hasrat pemenuhan kebutuhan pada satu sisi dan keterbatasan atau kelangkaan (scarcity) alat pemuas kebutuhan di sisi yang lain adalah persoalan mendasar kehidupan ekonomi manusia, sekaligus batasan studi (ilmu) ekonomi.
Hal inilah yang menjangkiti aparat pajak kita. Sehingga sebagus apapun konsep peningkatan renumerasi tidak akan dapat memuaskan sifat serakah (banditisme) oknum aparat pajak. Ketika naluri ‘banditisme' oknum aparat pajak tidak dapat diubah, jalan terakhir adalah memastikan sistem yang ada harus bisa meniadakan kesempatan bagi setiap pihak untuk berlaku koruptif. Untuk membangun sistem tersebut, dibutuhkan beberapa langkah sistematis. Langkah penting pertama adalah pelaksanaan audit independen secara sistematis, periodik dan menyeluruh terhadap sistem yang berlaku di Direktorat Jendral Pajak saat ini. Munculnya kasus Gayus dkk adalah bukti kongkrit akan lemahnya sistem yang dianut ditjen pajak. Sebagai institusi yang memprakarsai reformasi birokrasi mestinya depkeu segera mengambil langkah cepat untuk menuntaskan kasus ini.
Urgensi Audit
Ada beberapa alasan mengapa audit sistem perpajakan saat ini sudah sangat mendesak dilakukan. Pertama, Dengan mencuatnya kasus Gayus, inilah momentum reformasi direktorat jendral pajak untuk menunjukkan keseriusan reformasi birokrasinya. Kedua, sudah menjadi rahasia umum sistem perpajakan di Indonesia banyak dipenuhi kebocoran disana-sini, sehingga kalkulasi jumlah kebocoran pajak menjadi hal yang urgen. Ketiga, sistem perpajakan kita masih memberikan celah untuk berlaku koruptif. Keempat, Kasus Gayus bisa jadi merupakan fenomena gunung es, bukan tidak mungkin atasan-atasan Gayus saat ini ikut terlibat dalam kasus-kasus yang lebih besar. Kelima, masyarakat sudah sangat kecewa dengan ulah oknum pajak. Ketidakpercayaan masyarakat akan berujung pada keengganan membayar pajak bahkan. Setidaknya sinyalemen ini sudah mulai muncul dengan beberapa gerakan boikot pajak melalui beberapa situs jejaring sosial. Boikot ini akan menjadi ancaman yang serius bagi negara, mengingat pajak memiliki porsi yang signifikan sebagai sumber pemasukan negara. Itulah beberapa alasan mengapa audit sistem perpajakan menjadi sangat urgen ditengah maraknya ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat pajak.
Sayangnya, sampai saat ini audit sistem perpajakan masih menjadi momok bagi Ditjen Pajak. Mengapa? Alasan yang banyak dikemukakan untuk menolak audit pajak adalah ketakutan akan terbongkarnya rahasia wajib pajak. Mengingat kerahasiaan wajib pajak adalah amanat undang-undang disamping beberapa alasan lain. Sampai-sampai Anwar Nasution sempat berseloroh, "Yang tahu data pajak di Indonesia Cuma dua: Tuhan dan Dirjen Pajak". Kalau begitu, Siapa yang berwenang mengudit? Beberapa pendapat menyepakati BPK lah yang saat ini berwenang. BPK oleh sebagian pihak dianggap lebih independen, terlebih ketua BPK Hadi Purnomo merupakan bekas Dirjen Pajak. Sehingga BPK dianggap lebih menguasai medan meskipun banyak juga pihak yang meragukan kemampuan BPK sebagai auditor pajak. Kehadiran BPK sebagai auditor investigatif di Ditjen Pajak oleh beberapa pihak justru ditakutkan menjadi ajang balas dendam bagi Hadi Purnomo karena sebelumnya telah "didepak" dari posisinya di dirjen pajak.
Terlepas dari berbagai perdebatan tentang siapa yang pantas menjadi auditor pajak. Bagi masyarakat, siapapun pihak yang diamanatkan mengaudit sistem perpajakan. Yang terpenting pihak tersebut harus independen, mengedepankan profesionalitas dan terbebas dari konflik kepentingan. Masyakat sudah muak dengan keberadaan ‘bandit-bandit' yang selalu menggerogoti duit rakyat. Saat ini kita semua berharap Ditjen Pajak merelakan dirinya untuk diaudit dan ‘dikeroyok rame-rame' dalam rangka memperbaiki sistem perpajakan yang terbukti masih memberikan peluang untuk berlaku koruptif. Tentu saja praktek audit sistem perpajakan ini nantinya harus tetap dalam koridor hukum dan etika audit yang benar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H