Kekasihku tercinta, aku kirimkan rindu ini padamu--lengkap dengan senyumku, ciumanku, dan juga pelukan terhangatku untukmu. Tak lupa pula aku sertakan kesepianku yang setiap hari menggerogoti tubuhku. Juga rasa cemburuku yang selalu memukul-mukul kepalaku karena imajinasiku yang begitu liar. Apakah paket rindu itu sudah kau terima dengan lengkap? Maaf. Terpaksa aku mengirimkan paket rindu ini karena aku sudah tak sanggup lagi menampungnya. Penuh dan tumpah ke mana-mana. Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk membagi rindu ini denganmu. Besar harapanku, semoga kau menyukainya.
Kukirimkan paket rindu ini dalam kotak kardus kecil yang aku bungkus dengan kertas warna merah muda, karena aku tahu itu warna kesukaanmu. Aku membungkusnya rapat-rapat. Tak kuizinkan lubang sekecil apapun menghiasinya. Aku tak mau jika paket rindu ini nantinya jatuh dan ditemukan orang lain, karena rinduku hanya untukmu. Di mana pun kau berada aku akan selalu mengirim paket rindu ini. Jarak bukanlah alasan. Dan aku tak mau banyak alasan. Sudah terlalu banyak orang di dunia ini yang banyak alasan. Mereka tidak mau melakukan sesuatu karena terlalu banyak alasan yang melatarbelakanginya. Semua orang sibuk mencari alasan tanpa memerdulikan alasan orang lain.
Kekasihku, aku mengirimkan paket rindu ini bukan tanpa alasan. Akan aku ceritakan bagaimana awal mula aku mengirim paket rindu ini untukkmu. Pagi itu tubuhku masih melekat pada teman tidurku semalam, selimut kumal yang entah kapan terakhir kali aku mencucinya. Aku merasa begitu enggan untuk meninggalkan tempat tidurku. Angin pagi membawa rasa malas memasuki kepalaku dan menguasai pikiranku. Tapi, tiba-tiba ada suara-suara aneh. Suara itu memekakan teligaku. Antara tidur dan jaga aku mendengarkannya dengan saksama.
***
Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H