Permintaanku langsung diiyakan olehnya. Hatiku senang sekali kala itu. Kemudian, tangannya langsung menyambangi pundakku. Dengan pose mringis jaya dan debaran hatiku yang meletup sumringah, gambar kami diabadikan oleh temanku yang kebetulan membawa kamera saku. Belum juga dijepret, tiba-tiba aku hilang keseimbangan dan terpeleset jatuh.Â
Pak Herry Zudianto dengan cekatan langsung menolongku untuk bisa kembali berdiri. Kebetulan posisi berdiri kami saat itu berada di barisan anak tangga yang cukup licin, persis di depan patung monumen. Aku pun hanya bisa tertawa sambil menahan malu, hehe. Setelah sesi narsis usai dilakukan, Pak Herry Zudianto seketika mencubit pipiku untuk menunjukkan ekspresi kerahmahtamahan denganku yang merupakan pelajar.Â
Kemudian beliau memberi pesan kepadaku dan teman-temanku untuk belajar dengan sungguh-sungguh agar kelak bisa menjadi orang sukses. Sungguh hari keberuntungan yang luar biasa dan bersejarah dalam hidupku dapat berinteraksi langsung dan merasakan sentuhan kasih sayang dan sikap kepedulian yang nyata dari orang nomor 1 di Kota Yogyakarta saat itu, Bapak Herry Zudianto.
Semenjak hari itu, aku semakin yakin untuk menjadikan sosok Herry Zudianto sebagai teladanku dalam kehidupan bernegara. Karena sifatnya yang penuh dengan kepedulian dan kasih sayang merupakan sifat dasar antikorupsi.Â
Terbukti, pada tahun 2010 silam, Pak Herry berhasil menerima penghargaan "Bung Hatta Anti Corruption Award" (BHACA). Tidak semua birokrat mampu mendapatkan penghargaan bergengsi tersebut. Orang-orang yang terpilih harus memiliki integritas tinggi dan berani melakukan tindakan nyata yang berkelanjutan dalam memerangi korupsi.
Aku pun belajar banyak dari sifat kepedulian dan kasih sayang Pak Herry.
Menurutku, Pak Herry adalah salah satu contoh riil pemimpin yang baik. Karena ia memimpin dengan sepenuh hati untuk melayani rakyat dan ia memimpin dengan gaya hidup yang sederhana. Bahkan dengan harta pribadinya, Pak Herry kerap memberikan bantuan sukarela kepada masyarakatnya yang membutuhkan. Sungguh kebaikan hati yang layak untuk kita apresiasi.Â
Oiya, aku jadi ingat nenek renta penjual peyek kacang yang aku ceritakan tadi. Tiba-tiba rasa menyesal karena tidak sempat melarisi dagangan nenek renta tersebut muncul setelah aku belajar dari sifat kepedulian Pak Herry.Â
Seharusnya aku lebih bisa bijaksana dalam menentukan sikap. Seharusnya aku bisa mengapresiasi kerja keras nenek renta penjual peyek kacang tadi dengan membeli peyek kacangnya walaupun sebenarnya aku sedang tidak ingin makan peyek. Toh nenek renta tadi bukanlah seorang pengemis yang hanya mau meminta-minta tanpa mau berusaha ekstra.Â
Lagipula dengan melihat kondisi fisiknya yang renta dan pakaian yang dikenakannya sudah tidak layak pakai, seharusnya aku sebagai manusia biasa mau menaruh rasa iba dan melakukan aksi nyata terhadap nenek renta itu.Â
Apalagi saat itu aku sedang memiliki rezeki berlebih yang bisa aku gunakan untuk membantu sesamaku yang lebih membutuhkan. Ah, sudahlah. Penyesalan tiada berarti. Biarkan sikap egoku tadi menjadi pembelajaranku ke depan agar bisa menjadi manusia yang mau melayani manusia lainnya dengan sepenuh hati, seperti yang telah diajarkan oleh Pak Herry.Â