Timothy D Walker menyadari bahwa kesejahteraan siswa dan guru menjadi penting dan tidak bisa dikorbankan.
Halo sahabat apa kabarnya hari ini? Semoga selalu dalam kondisi yang sehat luar biasa dan senantiasa berbahagia, jumpa lagi dengan saya Fauzul Ikfanindika. Dan jika kita sudah bertemu pastinya kita akan melakukan sesuatu yang menarik. Hari ini kita akan membahas tentang sebuah buku, buku yang akan saya bahas ini menarik sekali. Kali ini kita akan mendiskusikan dan membahas tentang dunia pendidikan. Apa bukunya?
Ya bukunya berjudul Teach Like Finland atau mengajar seperti di Finlandia. Di sini bukunya ditulis oleh Timothy D Walker, salah seorang pengajar di Sekolah Dasar di Arlington, Amerika, yang sudah pasti cukup familiar dengan sistem pendidikan yang ada di Amerika ketika itu. Namun kemudian dia berpindah mengajar ke sebuah sekolah yang ada di Finlandia, ya Finlandia. Mungkin sahabat sudah sering dengar ya?
Kalau di buku ini, dibahas bahwa Finlandia adalah negara yang mengejutkan negara-negara lain di seluruh dunia karena anak-anak atau siswa-siswi nya yang berusia 15 tahun mencatatkan skor tertinggi di dalam PISA yaitu Programme for International Student Assessment pada tahun 2001. Mungkin sudah mulai penasaran, ada apa sih?
Seperti yang sebelumnya sudah saya sempat jelaskan, di awal buku ini akan menceritakan perjalanan seorang Timothy D Walker. Yaitu seorang guru yang awalnya bekerja dan mengajar di Amerika dan kemudian dia memutuskan untuk pindah bersama istrinya yang juga orang Finlandia ke sebuah sekolah yang ada di Finlandia. Nah, proses transisi yang dilakukan oleh Timothy D Walker dari dua jenis sistem pendidikan inilah yang banyak diceritakan dan menjadi core of the core dari buku ini.
Salah satu contohnya adalah di buku ini dikisahkan tentang Timothy D Walker yang di awal mengajar sebagai guru sering kali kewalahan, dia diharuskan sudah tiba di sekolah setengah tujuh pagi dan selesai mengajar pun dia masih disibukkan dengan banyak sekali urusan administratif, dan itu yang kadang kali mengharuskan dia untuk pulang hingga larut malam.
Inilah yang membuat dia merasa kewalahan dan stres saat itu dan kemudian dia dihadapkan pada sistem pendidikan di Finlandia, di mana pada saat itu guru-guru sekolah di Finlandia hanya bekerja selama 6 jam. Itu dihitung dengan satu sampai dua jam mempersiapkan kelas. Dan ketika setelah mereka selesai mengajar, mereka pun langsung pulang dan meninggalkan pekerjaannya di sekolah masing-masing.
Nah, pergolakan batin yang dialami oleh Timothy D Walker ketika proses transisi dua sistem yang berbeda inilah yang juga akan dibahas cukup menarik di buku ini. Dan selain itu juga masih banyak lagi kisah-kisah menarik lainnya. Mungkin sahabat juga sudah mulai penasaran gambaran bukunya nanti seperti apa. Secara umum buku ini nanti akan menceritakan lima hal penting atau lima strategi yang menjadi inti dari pengalaman Timothy D Walker selama lima tahun mengajar di Sekolah Dasar yang berada di Finlandia.
Dan di sini dia menemukan lima hal penting atau lima strategi yang dapat dilakukan oleh para pendidik lain di seluruh dunia untuk bisa membuat sebuah pembelajaran yang menyenangkan dengan hasil yang efektif. Salah satu contohnya adalah di sekolah Helsinki para siswa dan para guru sering mendapatkan jam istirahat 15 menit.
15 menit yang cukup sering ini dijadikan siswa-siswi untuk bermain bersama teman-temannya dan para guru pun terlihat santai untuk menikmati istirahat mereka. Ada yang ngobrol bersama guru-guru lainnya dengan santai, ada yang menyeruput kopi, ada yang membaca koran dan sebagainya. Namun, hal ini menurut Timothy D Walker adalah hal yang sangat aneh.
Setahun pertama ia berada di sekolah. Dia mempergunakan waktu istirahat tadi untuk terus bekerja karena terbiasa dengan pola kerja yang ada di Amerika. Siswa-siswinya istirahat, guru-gurunya istirahat, dia sebagai guru terus bekerja. Ternyata ini menghasilkan dampak negatif bagi dirinya. Dia tertekan dan stres hingga akhirnya dia ditegur oleh sahabat guru yang lain. Dia mengatakan bahwa ketika kita ingin mengerjakan sesuatu, jangan sampai kesejahteraan kita dikorbankan.
Kesejahteraan di sini bukan hanya terkait uang, tapi kesejahteraan pemikiran. Kesejahteraan diri kita yang harusnya bisa kita gunakan untuk beristirahat dan rileks sejenak tapi kita gunakan untuk hal lain sehingga membuat kita justru tidak produktif. Akhirnya Timothy D Walker menyadari bahwa kesejahteraan siswa dan guru itu menjadi penting dan tidak bisa dikorbankan.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan di kelas untuk memastikan kesejahteraan siswa dan guru bisa tetap terjaga, yaitu memahami jadwal istirahat otak, selalu recharge diri kita sepulang sekolah dan tidak membebani dengan pekerjaan rumah, menyederhanakan ruang kelas karena ruang kelas mempengaruhi bagaimana siswa kita belajar, selanjutnya adalah bagaimana kita memastikan bahwa diri kita menghirup udara segar sehingga kesejahteraan diri kita tetap terjaga. Selain itu, yang juga bisa dilakukan untuk bisa mulai meningkatkan kenyamanan dalam kelas sekaligus mendapatkan hasil efektif adalah rasa dimiliki.
Menurut Dinkes di tahun 2016, salah satu bahan utama dari kebahagiaan adalah rasa dimiliki.
Di sekolah Helsinki Timothy D Walker melihat banyak guru yang memfokuskan dan memprioritaskan pada hubungan dengan guru-guru lain di sekitarnya. Dengan banyaknya jam istirahat yang dimiliki oleh guru-guru tersebut, maka memungkinkan guru-guru tersebut untuk melakukan interaksi lebih sering dengan para guru ataupun dengan para siswanya. Dan ternyata tingginya intensitas bertemu antar guru memungkinkan para guru ini mendiskusikan strategi pembelajaran.
Dengan interaksi lebih sering maka akan memungkinkan munculnya rasa saling memiliki, rasa saling memiliki yang hadir karena kita merasa mendapatkan perhatian dari orang lain dan orang lain pun perhatian dengan diri kita. Dan ternyata inilah yang membuat kondisi menjadi lebih efektif untuk belajar. Kualitas pendidikan dan pembelajaran di kelas pun menjadi lebih baik. Kenapa? Karena gurunya merasakan rasa kepemilikan yang tinggi.
Dan rasa dimiliki ini tidak hanya dimiliki dan diterapkan oleh guru, melainkan juga oleh murid. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan rasa dimiliki ini bagi siswa kita, beberapa hal di antaranya adalah mengenal dekat dengan setiap anak, bermain dengan mereka, merayakan keberhasilan dan memastikan keterlibatan kita dengan mereka. Hal ketiga yang juga dapat kita lakukan untuk membuat pendidikan atau proses pembelajaran menjadi efektif dan nyaman adalah kemandirian.
Kalau di buku ini, dibahas tentang kondisi yang pertama terjadi di Amerika. Di Amerika para guru sekolah dasar memiliki protokol untuk mengantarkan siswa-siswa nya ke depan gerbang hingga siswanya kemudian diantar naik bus atau dijemput orangtuanya. Ternyata di Helsinki para guru tidak terbiasa mengantar murid-muridnya.Â
Selepas kelas usai, maka para guru melakukan apa yang mereka lakukan dan para siswa dengan mandiri membereskan barang-barang mereka dan pulang ke tempatnya masing-masing. Ada yang naik bus dan bahkan dari pengalaman oleh Timothy D Walker sendiri, ada anak yang pulang studi jalan kaki ke rumahnya. Dan ternyata kemandirian inilah yang mempengaruhi kemandirian mereka dalam kondisinya mereka sebagai pelajar.
Secara umum, kondisi di mana anak-anak Finlandia yang lebih mandiri ketimbang anak-anak di Amerika pada umumnya, tidak terjadi begitu saja. Karena ternyata ada proses pendidikan yang telah dialami oleh anak-anak ini sehingga mereka bisa lebih mandiri. Ada banyak hal di rumah mereka yang bisa mereka lakukan dengan penuh kemandirian.Â
Inilah ternyata yang membuat mereka memiliki mindset untuk mandiri dan lebih bertanggung jawab sebagai seorang pelajar. Dan ternyata ini membuat mereka lebih mampu mengarahkan dirinya sendiri. Sehingga peran guru adalah untuk mendorong kemandirian ini di dalam diri para siswa.
Nah, poin keempat yang juga penting dan bisa diterapkan adalah terkait penguasaan supaya siswa kita merasa bahagia, maka ada satu penguasaan yang mereka butuhkan di kelas. Untuk bisa menjadi bahagia, maka harus muncul perasaan kompeten untuk bisa menjadi bahagia, maka hal mendasar yang perlu kita tanamkan kepada siswa adalah perasaan bahwa diri mereka kompeten, terutama kompeten di area tertentu seperti memahat, melukis, merakit dan banyak hal lainnya.
Maka sebagai guru kita akan bisa menanamkan kegembiraan di kelas ketika kita bisa memberikan pemahaman atau penguasaan terhadap suatu kompetensi tertentu yang dibutuhkan oleh mereka saat ini. Karena ketika mereka merasa kompeten satu bidang kepercayaan akan muncul di kelas dan mereka akan semakin bersemangat untuk mengikuti aktivitas di kelas.
Karena mereka yakin aktivitas di kelas akan membuat mereka makin menguasai kemampuan tertentu di dalam keseharian mereka. Beberapa strategi yang mungkin dapat digunakan oleh para guru untuk meningkatkan penguasaan atau kompeten adalah yang pertama ajarkan karakter, yang kedua adalah gunakan penguasaan teknologi, berikan pendampingan dan selalu diskusikan soal nilai. Tanamkan apa makna nilai bagi mereka dan apa yang selalu mereka bisa lakukan untuk memastikan mereka mendapatkan nilai-nilai yang positif dan baik.
Nah, hal kelima yang juga penting dan dibutuhkan untuk kita bisa membuat kondisi yang nyaman dan efektif di kelas atau di dalam pembelajaran adalah terkait pola pikir. Ada dua tipe pandangan yang dibawa oleh manusia dalam kehidupannya menurut peneliti dari kebahagiaan. Menurut peneliti dari kebahagiaan yaitu Ragu Nathan, tipe yang pertama adalah scarcity minded di mana kemenangan kita akan berujung pada kekalahan orang lain. Semua yang kita lakukan untuk memuaskan diri kita itu akan menyebabkan kekalahan atau kerugian orang lain. Dalam kondisi ini sudah jelas sahabat pasti dapat gambaran ya, kita akan berada dalam kondisi di mana kita penuh dengan persaingan
Dan yang kedua adalah abundance oriented, yaitu bagaimana kita meyakini bahwa selalu ada ruang untuk bertumbuh di dalam suatu kondisi dan situasi. Maka dalam rangka meningkatkan kebahagiaan dan kualitas kelas kita, guru-guru harus menanamkan pola pikir kedua yaitu abundance oriented, yaitu menggeser sudut pandang kita dari apapun yang kaitannya dengan sekedar kepuasan belaka ataupun persaingan, maka kemudian kita tidak lagi mencari mana yang lebih baik dari yang lain. Siswa kita memiliki peluang untuk bertumbuh sesuai dengan potensinya masing-masing. Atau selalu ada ruang bertumbuh yang bisa dirasakan oleh setiap siswa.
Nah, kesimpulannya setelah kemudian membaca bukti secara keseluruhan, maka buku ini pas untuk dibaca oleh sahabat yang berprofesi sebagai guru, pendidik, trainer, pengajar ataupun orang tua yang ingin meningkatkan kualitas pendidikannya kepada anaknya. Atau kualitas pendidikannya kepada orang-orang di sekitarnya.
Buku ini tidak akan terkesan menggurui, tapi justru hanya sekedar sharing. Kenapa demikian? Karena memang gaya penceritaan di buku ini oleh Timothy D Walker adalah menceritakan pengalaman yang dia rasakan sebelumnya. Dan menceritakan pengalaman yang dia rasakan setelah dia mengajar di Finlandia, di mana dia belajar banyak hal, bagaimana memanusiakan siswa didikannya. Buku ini juga akan menjadi refleksi mendalam dalam bagaimana kita menumbuhkan potensi yang dimiliki oleh setiap siswa kita, setiap individu kita dan juga orang lain di sekitar kita.
Jadi bagi sahabat yang ingin mendapat insight tentang bagaimana sih caranya kita mengkondisikan pembelajaran bagi siswa kita di kelas, buku ini dapat menjadi salah satu jawabannya. Silakan dicari di toko-toko buku online terdekat sudah banyak yang menjual dan semoga bermanfaat dan jangan lupa ketika membaca buku ini jangan hanya dibaca tetapi silahkan diterapkan langsung dalam kehidupan kita masing-masing. Mungkin itu yang bisa saya bahas kali ini, semoga bisa sahabat praktekkan segera dan sampai ketemu di kesempatan selanjutnya.
Editor : Fauzul Ikfanindika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H