Di tengah perkembangan dunia kesehatan modern, donor air susu ibu (ASI) menjadi salah satu solusi yang banyak diperbincangkan untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi yang tidak dapat memperoleh ASI dari ibu kandungnya. Fenomena ini tidak hanya dilihat dari sisi medis, tetapi juga menimbulkan perbincangan terkait perspektif agama, terutama dalam Islam. Bagaimana hukum Islam memandang donor ASI? Apakah praktik ini sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dalam agama?
Islam mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi, termasuk dalam hal saling membantu antar sesama umat manusia. Salah satu bentuk solidaritas sosial yang dapat diterapkan adalah melalui donor ASI. Proses ini melibatkan ibu yang mendonorkan ASI-nya kepada bayi yang membutuhkan, biasanya bayi yang ibunya tidak bisa menyusui karena kondisi tertentu, seperti ibu yang sakit atau ibu yang tidak memproduksi ASI yang cukup. Dalam Islam, prinsip saling membantu sangat ditekankan. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 2: 177, yang menyebutkan tentang pentingnya memberi dalam kebaikan kepada sesama. Donor ASI bisa dipandang sebagai salah satu cara untuk menolong sesama umat manusia, khususnya bayi yang membutuhkan asupan nutrisi terbaik untuk tumbuh kembangnya.
Hukum Islam tentang Menyusui dan Donor ASI
Dalam hukum Islam, menyusui adalah hal yang sangat dianjurkan, bahkan menjadi kewajiban bagi ibu yang mampu untuk menyusui bayinya hingga usia dua tahun. Namun, dalam kondisi tertentu, seperti ibu yang tidak dapat menyusui, maka praktik donor ASI menjadi pilihan yang dapat diperbolehkan. Hal ini dapat dilihat dalam pandangan para ulama yang memperbolehkan donor ASI selama ada manfaat bagi bayi dan tidak menimbulkan bahaya atau kerugian, baik bagi bayi yang menerima ASI maupun ibu yang mendonorkan.
Para ulama dari Mazhab Syafi’i misalnya, menyatakan bahwa apabila ASI yang didonorkan tidak mengandung unsur yang membahayakan, seperti kesehatan ibu yang mendonorkan atau bayi yang menerima, maka donor ASI dapat dibolehkan sebagai bentuk kebaikan sosial. Namun, terdapat batasan dalam hal ini, salah satunya adalah hubungan nasab yang tidak boleh tercampur antara ibu kandung dan ibu penyusui. Disebutkan dalam ayat yang artinya “Diharamkan bagi kalian untuk menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, amah-amah (saudara perempuan ayah) kalian, khalah-khalah (saudara perempuan ibu) kalian, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki dan dari saudara perempuan (keponakan), ibu-ibu yang menyusui kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan….” (QS. An-Nisa, 4: 23). Dalam ayat itu, Allah hanya menyebutkan dua golongan wanita yang haram dinikahi karena hubungan penyusuan, yaitu ibu susu dan saudara wanita sepersusuan. Artinya, bayi yang mendapat ASI donor dari ibu lain, tetap tidak dianggap sebagai anak kandung ibu penyusui tersebut.
Prinsip Kesehatan dan Keamanan dalam Donor ASI
Meskipun hukum Islam memperbolehkan donor ASI dalam kondisi tertentu, penting untuk memastikan bahwa donor ASI dilakukan dengan cara yang aman dan sesuai dengan prinsip kesehatan. Hal ini untuk menghindari penyebaran penyakit atau infeksi yang dapat membahayakan bayi penerima. Oleh karena itu, dalam praktik donor ASI, perlu adanya pemeriksaan medis untuk memastikan bahwa ASI yang didonorkan bebas dari penyakit menular, seperti HIV atau hepatitis. Dalam beberapa negara, organisasi donor ASI telah memiliki prosedur ketat untuk memastikan keamanan dan kualitas ASI yang didonorkan.
Dalam perspektif Islam, menjaga kesehatan ibu dan bayi adalah hal yang sangat diperhatikan. Oleh karena itu, praktik donor ASI harus memenuhi standar medis dan kesehatan yang tinggi, sehingga tidak hanya memberikan manfaat bagi bayi, tetapi juga melindungi kesehatan ibu yang mendonorkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI