Mohon tunggu...
Lutfiana Fauziyah
Lutfiana Fauziyah Mohon Tunggu... -

Seorang pelajar yang menantikan saat di mana ia memenuhi mimpinya. Membanggakan pertiwi tercinta.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Harapanku Reformasi Duniaku

23 April 2012   02:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:16 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keluh kesah para pelajar riuh rendah di seluruh sudut kota hingga sudut ruang baca. Setiap hari tak akan lewat suatu kebiasaan yang begitu bersahabat erat dengan kelompok pejuang ini.

Memang kemarin, hari ini, bahkan besok masih bisa terdengar olehku keluh kesah hingga perasaan menyerah di sekelilingku. Tak penat aku mendengarnya, hanya terkadang terlintas saja mengapa terjadi seperti ini? Sekolah yang membuat mereka terkadang lupa menikmatinya. Sekolah yang untuk sebagian pelajar menganggapnya beban.

Aku pernah menilik kembali apa itu sekolah? Membaca sebuah buku di perpustakaan sekolahku membuatku malah tercengang. Buku itu berjudul “Sekolah itu Candu”. Dari judulnya saja aku telah mengangkasa membayangkan apa isinya. Dan setelah ku baca aku begitu membetotkan mata melihat berbagai fakta bahkan opini para pemikir dunia tentang sekolah. Sekolah ternyata berasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengisi waktu luang”. Dahulu sekolah dilakukan oleh masyarakat Yunani untuk mengisi waktu luang, mereka mendatangi seseorang yang dianggap memiliki pengatahuan yang lebih luas dan bertanya-tanya apapun yang mereka ingin ketahui.

Namun aku sendiri menyadari sekolah yang sekarang ini ada bahkan aku masih jalani telah mengalami beberapa perubahan. Diantaranya sekolah yang sekarang ini telah dijadikan suatu lembaga berjenjang yang menjadi tolok ukur kecerdasan suatu individu bahkan tolok ukur keberhasilan suatu negara dalam mencerdaskan rakyatnya. Sekolah dijadikan hal wajib bagi setiap warga negara dengan sistem-sistem yang telah ditentukan.

Sistem-sistem dibentuk oleh para pemegang tampu kekuasaan pendidikan sedemikian hingga mengatur seluruh aspek yang terkandung dalam dunia ini. Sistem ini bertujuan untuk menentukan jalan dan juga tujuan yang akan dicapai suatu program pendidikan.

Aku sedikit menilik baru-baru ini terlihat gencar beberapa pujangga pendidikan dan institusi pendidikan lainnya membicarakan mengenai pendidikan karakter. Menurut yang kudengar pendidikan nasional mengalami kegagalan dan menjalankan visinya membentuk manusia yang cakap dan berkarakter. Hal ini diindikasikan dari adanya ketidakpuasan dari masyarakat  terhadap kinerja pendidikan nasional.

Dilihat dari kasus-kasus yang mulai terungkap dikalangan para pejabat kita seperti korupsi, kolusi hingga provokasi mengindikasikan masih banyak produk pendidikan kita yang harus segera dibenahi. Bahkan lebih signifikan bagi para remaja misalnya narkoba, tawuran, pergaulan bebas hingga tingginya egoisme. Namun jangan langsung menyalahkan pihak yang ada bersama pelajar kita. Misal saja guru, bukan berarti bapak ibu guru kita mengajarkan seperti itu kepada murid-muridnya. Seperti tadi, pendidikan berkarakter semakin marak diagung-agungkan sebagai primadona jalan kunci. Pendidikan berkarakter dinilai akan menjadi penyeimbang antara ilmu pengetahuan dan mental siswa.

Pendidikan berkarakter mampu menjadikan suatu nilai kepribadian tersendiri. Oleh karena itu pendidikan berkarakter dinilai perlu ditanamkan di segala jenjang pendidikan. Namun dalam kenyataanya, masih sedikit sekolah-sekolah yang menerapkannya.

Aku sendiri kembali berpikir, apakah pendidikan berkarakter memang sefundamental itu bagi pendidikan kita? Melihat apa yang terjadi di kehidupan nyata sekelilingku aku banyak melihat akhir-akhir ini banyak sekali institusi pendidikan yang mengedepankan intelektual sehingga yang dikejar hanyalah nilai tinggi. Akhirnya, inilah yang mengakibatkan kepincangan dalam hal kepribadian meskipun telah diterpakan pendidikan berkarakter namun masih minim.

Bagaimana aku dan teman-teman bisa menerima dengan mudah apa itu pokok pendidikan berkarakter? Padahal aku sendiri tahu wujud apresiasi dalam dunia pendidikan itu adalah prestasi. Prestasi-pun tak jauh pula dari nilai. Seseorang dinilai berprestasi jika nilai yang didapatnya di semua mata pelajaran atau di bidang tertentu melebihi orang lain. Nilai dan lagi-lagi nilai yang menjadi tolok ukur.

Ketika aku melihat acara TV One, aku melihat seorang ibu yang dengan gigihnya mendirikan sekolah bagi para pemulung dan anak-anak gelandangan. Ibu ini sugguh gigih. Aku mendengar cara beliau memajukan sekolahnya, membuat sekolah menjadi menarik bagi mereka-mereka yang kehilangan masa seperti anak-anak beruntung di luar sana. Bahkan aku lebih takjub lagi ketika ternyata dalam menjalankan sekolah ini beliau melakukan antarjemput bagi murid-muridnya bahkan setiap hari di sekolah dilakukan makan bersama dan minum susu. Betapa banyak biaya yang dikeluarkan ibu ini untuk sekolahnya.

Aku mendengar ibu ini dengan seksama, ketika ternyata beliau menjalankannya cuma-cuma. Beliau bahkan mengatakan bahwa ketika pemerintah menggalakkan program beasiswa bagi murid berprestasi dan tidak mampu bukanlah solusi bagi pemerataan pendidikan Indonesia. Beasiswa untuk siswa kurang mampu yang berprestasi berarti sama saja pemerintah hanya memberikan beasiswa kepada anak-anak yang telah melewati jenjang pendidikan tertentu dan memiliki prestasi yang menjadi tolok ukurnya lagi-lagi nilai. Lalu anak-anak yang bahkan belum pernah sama sekali mengenyam pendidikan bagaimana? Berarti mereka tak akan mendapatkan beasiswa bukan? Lagi-lagi aku merinding mendengar perkataan ibu itu. Kenapa tidak terpikirkan sebelumnya.

Lalu ibu ini mengungkapkan bahwa seorang murid  di sekolahnya dikatakan berprestasi bukan hanya dilihat dari nilainya namun ketika seorang murid mau berangkat bersekolah-pun disebut berprestasi. Luar biasa bukan. Ibu hanya mengungkapkan pada muridnya satu semboyan “Just do It”. Jangan terlalu banyak program dan sistem yang nantinya membebani murid-murid. Ternyata mereka hanya perlu penghargaan.

Ada pro dan kontra antara dua pendapat ini, antara melakukan pendidikan berkarakter ataukah seperti yang dilakukan ibu tadi? Menurutku ketika terjadi dua pemikiran yang berbeda tak perlulah terjadi gontok-gontokan untuk mempertahankan pemikirannya. Kini yang diperlukan adalah diciptakannya harmonisasi antara dua pemikiran ini. Harmonisasi diharapkan akan menjadi dasar yang nyata dan kuat dalam pencapaian pendidikan Indonesia menjadi lebih optimal. Namun tentu saja masih ada hal lain yang perlu dibenahi lagi. Misalnya dari segi pengaturan spesifikasi pendidikan bagi bangsa, penciptaan suasana nyaman bagi siswa, menyerap lebih banyak aspirasi dari siswa utuk mengetahui apa sebenarnya kebutuhan mereka. Lembaga, program hingga sistem memang perlu untuk memenuhi tuntutan perubahan itu sendiri. Ketika semuanya dijadikan sedemikian rupa sehingga menjadi lebih terkontrol dan berjenjang maka aku yakin ini akan mencapai suatu keberhasilan tersendiri. Hanya saja aku masih berharap sistem yang diberlakukan tidaklah kaku lagi.

Aku berdoa untuk duniaku menjadi taman bunga bagi semuanya. Akupun berharap teman-temanku terketuk nuraninya untuk menjemput paginya dengan senyum ceria di tengah reformasi dunianya.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun