Mohon tunggu...
Cecep AS. Fauzi
Cecep AS. Fauzi Mohon Tunggu... Lainnya - Listen, Read and Learn

Menyukai Musik,Olahraga (sepakbola), dan Karya Sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Orang-orang Kalap

14 Juli 2013   22:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:33 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku dibesarkan di desa ini, usiaku sekarang 33 tahun, bekerja di kota Bandung, sudah beristri dan mempunyai satu orang anak laki-laki yang baru saja genap berusia 4 tahun. Aku sekarang menetap di Bandung, tempat dimana pertama kali aku mengenal istriku.

Aku datang ke desa kelahiranku karena beberapa alasan, antara lain adalah karena aku tengah liburan hari raya Iedul Fitri, dan tentu saja karena aku rindu suasana tempat dimana aku dibesarkan.

Ketika aku sampai di desa, saat kendaraan yang kutumpangi melintasi sebuah rumah di pinggiran desa, tiba-tiba saja aku terkenang suatu kejadian yang hingga kini membekas kuat dalam ingatanku. Bahkan mungkin bukan saja olehku, tetapi oleh semua penduduk desa. Kejadian sekitar 19 tahun yang lalu, dan masih tergambar jelas dalam benakku...begini ceritnya

Ketika itu  usiaku baru 14 tahun, dan entah darimana asal mula datangnya, waktu itu desaku diterpa isu tentang dukun santet, suatu kabar burung bahwa di desaku ada seorang tukang teluh alias dukun santet. Kabar tersebut berhembus seiring dengan (yang katanya) ada beberapa orang penduduk desa yang tiba-tiba mengalami kelumpuhan, tak bisa berjalan.

Waktu itu, dengan serta merta cerita mistik dan hal-hal yang berbau klenik dan horor seolah-olah menjadi santapan keseharian penduduk desa. Mulai dari warung lotek Ceu Sapni,  hingga toko kelontong Kang Salim, orang-orang ramami menceritakan berbagai hal yang ada kaitannya dengan teluh atau santet. Sampai-sampai Pak Haji Aceng selaku sesepuh di desa kami merasa berkepentingan untuk menanggapi beredarnya kabar burung itu.

Konon, entah siapa yang memulai, beredar pula ciri-ciri tentang si tukang teluh yang masih misterius itu, bahwa ia merupakan orang yang hidup menyendiri dan tidak memiliki pekerjaan yang jelas, ditambah lagi bahwa ia adalah seorang yang gagap dalam membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Kontan saja, hal ini membuat mereka yang merasa bacaan qur'annya masih terbata-bata, mendadak rajin ke mesjid untuk ikut pengajian, karena takut disangka tukang teluh.

Hanya ada seorang penduduk di desa kami yang sepertinya tidak terpengaruh dan tidak mempedulikan kabar burung itu. Beliau adalah Pak Ipin, seorang buruh tani yang hidup tanpa anak dan istri. Santernya isu yang beredar seakan tidak mengubah keseharian Pak Ipin yang tetap rutin setiap pagi membawa cangkul sambil berharap ada juragan yang mau meyuruhnya bekerja.

Akan tetapi sikap acuh Pak Ipin malah mengundang kecurigaan warga, entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja nama Pak Ipin menjadi "terduga" tunggal pelaku santet. Kian hari, melalui guncingan-guncingan nama Pak Ipin makin menguat sebagai tukang teluh.

Atas prakarsa Pak Haji Aceng dan Pak Apung (ketua kampung), serta Pak RT dan Pak RW, maka berangkatlah tokoh-tokoh tersebut mewakili warga desa untuk menemui Pak Ipin guna mendapat kejelasan tentang kecurigaan warga terhadap Pak Ipin. Dan memang seperti perkiraanku saat itu, jawaban atas pertanyaan warga yang diwakili Pak Haji Aceng dan kawan-kawan adalah "Tidak, Saya bukan seorang tukang teluh!", itulah jawaban tegas dari Pak Ipin.

Pak Haji Aceng dan kawan-kawan pun menyampaikan apa yang mereka dapati dari pertemuan dengan Pak Ipin tersebut. Sayang warga sudah sedemikian terlalu jauh mencurigai Pak Ipin. Singkat cerita dicapailah kesepakatan untuk mengambil sumpah dari Pak Ipin di hadapan semua warga desa.

Sumpah Pak Ipin pun akhirnya di ambil dihadapan warga desa pada hari Kamis ba'da Isya (sayang aku lupa tanggal dan bulannya), dan seperti ada tontonan wayang golek Asep Sunandar Sunarya, masyarakat warga datang dengan berbondong-bondong untu menyaksikan sumpah Pak Ipin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun