Secara kasat mata dan sederhana, dapatlah kita menilai bahwa kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten Bima yang dinahkodai Bupati Bima H. Syafruddin HM.Nur yang menggantikan (alm) H. Ferry Zulkarnain tidak banyak yang dibanggakan. Mungkin terlalu dini saya menilai menyatakan “bupati gagal” dalam membawa harapan rakyatnya kepada yang lebih baik dan maju. Akan tetapi, ciri-ciri kegagalan beliau (H.Syafru) sebagai Bupati di tanah Bima sudah nampak di depan mata. Dan dapat dipastikan, sumber-sumber kegagalan beliau dalam menata-kelola birokrasinya terletak pada leadership style (gaya kepemimpinan) yang beliau terapkan selama ini. Sebagai warga Bima yang cinta akan tanah tumpah darah ini, saya akan mencoba mengurai sumber-sumber kegagalan tersebut, agar dapat menjadi koreksi dan evaluasi diri bagi pemimpin yang bertahta di tanah Bima.
Evaluasi kegagalan-kegagalan ini bukan merupakan bentuk black campaign (kampanye hitam), karena saya bukanlan siapa-siapa, melainkan warga biasa yang ingin melihat tanah dan tumpah darah Bima selangkah lebih maju dan berdiri sejajar dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Saya hanya menginginkan supaya siapapun yang memerintah tanah Bima sekarang, baik di kota maupun di kabupaten agar berpikir secara “logis dan jernih” memakai “naluri kebimaan” dalam membawa harapan rakyatnya, bukan selalu “mempolitisasi suara hati” rakyatnya, apalagi “memperdagangkan” nasib rakyatnya.
Kegagalan-kegagalan tersebut jangan sampai “terpelihara”sepanjang masa, dan rakyat yang mendiami “tanah haram” ini (baca: dana mbojo dana mbari) akan merana nasibnya yang diakibatkan oleh ulah jahiliyah “tangan-tangan para pemimpinnya”. Kalau sebagaian orang membicarakan keberhasilan-keberhasilan beliau H. Syafru selama memegang tongkat komando Bupati Bima, saya akan mencoba mengurai beberapa kegagalan-kegagalannya agar dikemudian hari untuk tidak diulangi dan sebagai bahan evaluasi bagi siapapun yang dikehendaki oleh Allah SWT dan rakyatnya yang akan ditakdirkan menjadi Bupati Bima selanjutnya. Adalah tugas kita bersama rakyat tanah Bima menuntun beliau (H. Syafru) ke “jalan kebaikan dan kemaslahatan”, maju dan maslahah di dunia, dan bersama-sama selamat juga di akhirat nanti.
Kegagalan-kegagalan tersebut mulai dari Tata-Kelola Birokrasi Buruk, Kesehatan Masyarakat Terbengkalai,Mutu Pendidikan Merosot, Keamanan dan Konflik Sporadis, Kearifan Lokal Porak-Poranda, Pengangguran Terpelihara, Lapangan Kerja Sulit, Investasi Minim, Budaya Materialisme, Hedonisme dan Invidualisme Merajalela, Korupsi, Narkotika sebuah Kebanggaan, Belanja Publik APBD Misterius , Minim Inovatif, PAD Rendah, Pandai Bermanuver, Kemiskinan Terpelihara dan Pribadi Pemimpin Tertutup.
1.Tata-Kelola Birokrasi Buruk
Dalam kurun satu tahun lebih ini mulai Pebruari 2014-April 2015, dalam masa kepemimpinannya menjadi Bupati Bima sudah terjadi lima kali mutasi, rotasi, demosi dan promosi jabatan yang begitu massif dilaksanakan. Dalam istilah pemerintahan, mutasi, rotasi, demosi dan promosi adalah sesuatu hal yang lumrah, apalagi menjelang pemilihan kepala daerah seperti halnya di tanah Bima. Minimal ada dua yang menjadi alasan dilakukan mutasi, rotasi, demosi dan promosi tersebut, pertama faktor kebutuhan dan kompetensi (profesionalitas dan kecakapan) yang menyangkutpekerjaan dan kedua faktor politis. Faktor yang kedua ini erat kaitannya selera politik penguasa (atasan), suka dan tidak suka, pro dan kontra serta status quo, dan alasan-alasan personal lainnya seperti kedekatan fatsun politik, kekerabatan kekeluargaan dan kedekatan lokalitas.
Buruknya tata-kelola birokrasi tanah Bima hari ini membawa dampak serius bagi internal birokrasi, terjadi friksi yang berkepanjangan, saling menjatuhkan asal bapak senang, saling mencurigai dan melaporkan, siapa yang mendukung dan siapa yang menjadi lawan. Politisasi PNS merajalela, dari tukang sapu dan penjaga instansi pemerintah sampai para pejabat yang mengendalikan instansi tersebut. Juru “cari muka dan cari selamat” menjadi pemandangan yang lazim di setiap kantor dan instansi, yang akhirnya menimbulkan ketidaknyamanan dalam hal bekerja. Tidak ada jaminan, baik profesionalitas maupun kompetensi yang menjadi ukuran dalam hal pekerjaan, yang ada adalah sebuah “jaminan kedekatan”. Pintar, goblok, razin, malas sama saja, yang penting dekat dengan sumber kekuasaan.
Inilah yang menjadikan birokrasi tidak berjalan dengan maksimal. Birokrasi hanya berjalan apa adanya, minim inovasi, miskin kreativitas, yang membawa dampak sistemik bagi keberlangsungan hidup rakyat. Birokrasi tidak lagi mengurus hajat hidup rakyatnya, justru rakyatlah yang mengurus hajat hidup birokrasi, rakyat membiayai tampilan birokrasinya yang mewah nan menawan ini, rakyatlah yang mengeluarkan tetesan keringat, air mata dan darah untuk mencukupi kehidupan birokrasinya, keringat para petani, tukang parkir, guru-guru di kelas, para pegawai honorer yang tidak jelas nasibnya, para nelayan, para pegawai rendahan, ibu-ibu di pasar, para sopir di jalanan, keringat mereka menjadi sebuah “tumbal” bagi keberlangsungan hidup birokrasi kita hari ini.
Dapat kita bayangkan, berapa belanja publik untuk rakyat di APBD kita yang “misterius” tersebut, misterius karena tidak pernah dipublikasikan secara umum, padahal itu adalah dokumen rakyat, yang sudah semestinya rakyat harus mengetahui “uangnya” dibelanjakan apa saja. Birokasi kita berdiri di “menara gading” melihat rakyatnya dari arah yang sangat jauh. Bagaimana mungkin kita bisa “maju dalam kebersamaan dan bersama dalam kemajuan” kalau situasinya seperti ini, suatu hal yang absurd. Inilah “birokrasi jadul” di zaman yang serba modern. Dan sangatlah pantas, nasib rakyat tidak pernah berubah ke titik yang lebih baik, karena mainstream (cara berpikir), loading birokrasinya masih pada zaman purba. Berpikir bagaimana memperkaya diri sendiri, kelompok dan koloninya, dengan tetap menindas yang lebih lemah dan melakukan politisasi kepentingan yang sangat liar. Birokrasi buruk seperti ini hanya pandai “memeras” rakyatnya dengan sejumlah kebijakan meng-ada-ada, pandai berbuat korupsi dan minim prestasi. Kapan kita bisa mengadopsi kemajuan daerah-daerah lain, seperti halnya Gorontalo, Bantaeng, Bojonegoro, dan kota-kota maju lainnya. Kapan “kesangsaraan rakyat” ini berakhir, apakah tunggu kiamat dulu baru ada perubahan, jawabnya ada di TANGAN BUPATI BIMA hari ini. HITAM-PUTIH TANAH BIMA SANGAT DITENTUKAN PARA PEMIMPINNYA.
2.Kesehatan Masyarakat Terbengkalai
Di Tahun 2013-2014 kemarin, Dinas Kesehatan Kabupaten Bima pernah merilis ada sekitar 5.200 bayi di tanah Bima mengalami kurang gizi dan bergizi buruk. Di tahun yang sama juga pernah dianggarkan pembelian mobil dinas Bupatinya yang harganya sangat fantastis, 1 Milyar. Setelah berganti tahun, terjadi sebuah peristiwa yang “menyayat hati” kita yaitu kelaparan missal di suatu desa Karampi, persis sebelah selatan Kecamatan Langgudu, (istilah mbojo; ipa sabae). Desa di seberang laut ini, mungkin mengalami gagal panen, sehingga terjadi “kelaparan” dan itu menghebohkan Indonesia karena bertepatan dengan Kabupaten Bima tengah mendapat juara dalam perbaikan gizi tingkat nasional. Hal ini sangat membuat kita miris, mendapat juara perbaikan gizi ditengah rakyatnya menderita kelaparan dan kekurangan gizi. Ya, berprestasi diatas punggung balita-balita yang bergizi buruk, aneh dan ajaib memang, suatu penilaian yang sangat diluar kepala, saking cerdasnya birokrasi kita menutupi hal-hal seperti ini. Se-pandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh juga.
Janganlah seperti itu, jangan menipu diri sendiri dengan berbagai kamuflase yang membahayakan rakyatnya, bisa saja kita “menipu” pemerintah pusat dengan berbagai akrobat-akrobat yang manis di bibir, dengan menutupi keadaan kita seperti halnya terjadi gizi buruk, dan kelaparan, bersungguh-sungguh dalam memperbaiki kinerja bidang kesehatan adalah sebuah kewajiban dan tanggungjawab bersama hari ini. Pemerintah sebagai garda terdepan dalam upaya perbaikan bidang kesehatan memiliki program-program yang menyentuh kebutuhan rakyatnya, bukan malah menyalahkan rakyat sebagai kambing hitam dari semua ini. Disini kadang saya merasa sedih,,,,kalau ditanya siapakah yang paling bertanggungjawab dalam masalah kesehatan rakyatnya di tanah Bima, tentu siapa yang menjadi Bupati Bima hari ini.
Di Zaman Khalifah Umar Bin Khatab, ada bayi yang menangis suatu malam karena tidak ada makanan yang disantap, maka ibunya memasakkan kerikil untuk anaknya, agar supaya anaknya bisa berhenti menangis. Khalifah Umar Bin Khattab, mendengar dan melihat situasi seperti ini, maka beliau sendirilah yang memanggul gandum dan bahan makanan dari gudang milik negara. Seorang khalifah yang menguasasi dua peradaban dunia, Persia dan Romawi, yang menguasai 2/3 luas dunia yang kita tempati sekarang. Sebenarnya bisa saja, khalifah menyuruh anak buah atau para prajurutnya, akan tetapi tanggungjawab moral sebagai pemimpin itu tidak dapat dipisahkan dari pribadi. Kata orang zaman sekarang, Itu dulu mas, sekarang kan beda…zaman boleh berbeda dan berganti masa, akan tetapi spirit, keteladanan, akhlak dan tanggungjawab moral tidak akan berbeda. Di tanah Bima, tidak usah seperti itu, itu terlalu berat bagi ukuran pimpinan daerah hari ini, minimal mereka menganggarkan yang lebih adil dan bijaksana bagi urusan kesehatan dan kemakmuran rakyatnya. Agar bayi-bayi yang dekil itu, warga-warga yang sakit, generasi-generasi yang terjangkiti penyakit dapat terobati, mengkonsumsi gizi yang baik dan seimbang serta terpenuhi aspek-aspek kesehatannya.
3.Mutu Pendidikan Merosot
Di bidang pendidikan, minimnya prestasi yang diraih menjadikan tanah Bima hanya mampu melahirkan output pendidikan yang tidak dapat berkompetisi, kecuali 1 atau 2 orang saja. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, tidak adanya blue print (cetak biru) dan desain besar arah dan mutu pendidikan yang terformat dalam agenda prioritas pemerintah daerah. Pendidikan hanya dijadikan jargon dan isu dikala ada meraih simpati publik dalam momen-momen tertentu, seperti halnya pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Akan tetapi, realitas di lapangan masih berkata lain. Masih banyak pekerjaan rumah yang semestinya menjadi buah bibir pemangku kebijakan di bidang pendidikan. Kedua, keseriusan pemerintah dalam hal meningkatkan mutu pendidikan masih dipertanyakan, baik dalam segi infrastruktur pendidikan, standardisasi pendidikan, kurikulum muatan lokal yang berbasis potensi dan keunggulan daerah serta manajemen pendidikan yang masih bersifat primitif. Ketiga, terjadi politisasi di bidang pendidikan dan para pendidik, yang semua itu mengakibatkan pendidikan “terkontaminasi” oleh kekuasaan yang cenderung “berbuat sewenang-wenang”. Terkontaminasinya pendidikan ke ranah politik juga membawa dampak hilangnya kreatifitas dan daya inovasi para pendidik dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya mencerdaskan anak bangsa.
Keempat, Guru dan kepala sekolah menjadi agen politik dan tim sukses kepala daerah, sudah mejadi pemandangan umum ditanah kelahiran kita. Hal ini erat kaitannya dengan politisasi pendidikan dan pendidik diatas. Guru, kepala sekolah dan PNS sebagai elemen yang berhubungan langsung dengan masyarakat, menjadi tempat konsultasi dan bertanya masyarakat memiliki peran ganda, selain pendidik juga sudah berwujud menjadi “politisi-politisi kawakan” yang berdiri di atas dua, tiga dan empat kaki. Inilah yang menjadi problema akut daerah kita, pimpinan daerah dan perangkatnya berusaha menyeret para guru, kepala sekolah dan PNS ke ranah politik. Yang akhirnya, masyarakat tidak dapat membedakan, mana guru, kepala kepala sekolah, PNS dan mana tim sukses kepala daerah. Semua menjadi abu-abu, sumir dan tidak terkontrol. Dan jangan heran, setelah pemilihan kepala daerah selesai, banyak guru, kepala sekolah dan PNS “di evaluasi” oleh kepala daerah baru dengan jalan dipindahkan ke daerah-daerah terpencil, terbelakang dan terluar akibat “bermain politik”. Ah, ini suatu hal yang sangat kompleks.
Merosotnya mutu pendidikan juga sebuah “bom waktu” yang dapat mengancam lahirnya sumberdaya manusia unggul, karena dikemudian hari, daerah tidak memiliki stok sumber daya yang dapat berkompetisi dengan daerah-daerah lainnya. Kalau ditanya ini tanggungjawab siapa, pastilah kita akan kembali menunjuk siapa yang berkuasa hari ini di tanah Bima.
4.Investasi yang Terkendala
Tanah Bima sebagai daerah grey area (daerah abu-abu) bagi investasi akan mengalami pil pahit bagi masuknya penanam modal baru dalam rangka mengelola potensi sumber daya yang masih tepelihara. Kompleksitas permasalahan investasi daerah sebenarnya dapat terurai dengan baik bilamana pimpinan daerah memberikan garansi/jaminan kemudahan dan keamaan kepada para investor sebagai sebuah bukti daerah memang serius menghadirkan mereka. Tidak adanya jaminan inilah yang menjadi kendala tersendiri, apalagi adanya indikasi “pemalakan” dengan embel-embel pemulus izin oleh pimpinan daerah adalah sebuah realitas.
Selain itu, kelemahan pimpinan daerah dan elemen yang berhubungan langsung dengan itu seperti halnya badan penanaman modal daerah dalam melakukan bargaining posision mempromosikan potensi-potensi unggulan daerah, hasil daerah, dan sumber daya alam daerah menjdi sebuah “pekerjaan rumah” yang semestinya diperbaiki dan disempurnakan kedepan. Banyak potensi daerah yang layak “dijual” seperti sektor pertanian, peternakan, perikanan dan kelautan, pariwisata, hasil usaha kecil dan menengah, kuliner dan masih banyak lagi potensi-potensi yang terabaikan.
Terkendalanya investasi juga diakibatkan oleh seringnya konflik dan letupan-letupan di tengah masyarakat, karena bagaimanapun para investor tidak mau rugi dan terganggu oleh hal-hal yang bersifat huru-hara, peperangan dan gangguan keamanan daerah. Gangguan keamanan dan konflik sporadis yang terjadi di daerah yang sering live show di media massa, televisi danjejaring social lainnya merupakan salah satu bukti gagalnya daerah memberikan kenyamanan dalam kehidupan berinvestasi. Ini yang menjadi tugas kita bersama, dan kepala daerah yang hari ini memimpin tanah Bima sebagai orang yang pertama harus memberikan contoh dan teladan dalam menciptakan keamanan dan kenyamanan rakyat tersebut, bukan berperan sebagai trigger (pemicu) konflik.
5.Lapangan Kerja Sulit
Investasi dan lapangan kerja memiliki hubungan timbal-balik, bagaikan kedua sisi mata uang yang tidak dapat terpisahkan. Adanya investasi akan melahirkan lapangan kerja baru dan tumbuh berkembangnya spot (sentra-sentra) ekonomi baru dalam rangka penguatan daya saing daerah. Penciptaan lapangan kerja baru baik di sektor industri hasil pertanian, peternakan, perikanan, kelautan, pariwisata, kuliner dan hasil alam lainnya menjadi pengurai penangguran yang kian hari semakin menggunung. Lulusan Sekolah Menengah Atas/ Kejuruan dan perguruan tinggi, (intelektual-terpelajar yang terampil) yang “`terparkir lama” setidaknya bisa berkarya dan memberikan sumbangsihnya bagi pembangunan dan perekonomian daerah. Dengan adanya investasi dan lapangan kerja baru, beban daerah tidak lagi berat, dan lulusan tersebut dapat diterima di dunia usaha dan dunia industri.
Selain itu, penciptaan lapangan kerja baru menjadi sebuah sebuah varian dalam pemilihan pekerjaan selain Pegawai Negeri Sipil di daerah. Tidak adanya lapangan kerja baru dan varian baru dalam pekerjaan, menjadikan para terdidik yang nganggur tersebut dapat menjadi “elemen perusak” yang daya rusaknya hebat sekali, karena mereka memiliki kemampuan dan kompetensi. Mengurai pengganguran dengan penciptaan lapangan kerja baru mestinya menjadi program prioritas daerah ditengah bertumpuk-tumpuknya lulusan perguruan tinggi baik lokal maupun di luar daerah. Inilah yang sebenarnya tugas dan kewajiban kepala daerah hari ni, bukan terlena dan menunggu “takdir dari langit”. Terpaku dengan rutinitas, menggugurkan kewajiban dengan hanya keliling sana-sini dengan konvoi pengawalan yang memekakkan telinga, hadiri sosialisasi dan “kampanye” dari desa ke desa tanpa berpikir tentang nasib generasi tanah Bima adalah hal kurang arif, masih banyak pekerjaan yang lebih urgen dan prioritas daerah ditengah keringnya ide hari ini. Tugas siapapun yang memimpin Bima hari ini adalah mencarikan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya, bukan mengisi hari-harinya dengan “mengerjain rakyatnya” dengan sejuta omong kosong dan janji-janji hampa. Terkadang disini saya merasa sedih.
6.Kearifan Lokal Porak-Poranda
Nilai-nilai dasar budaya kita (Bima) yang identik dengan spirit kekeluargaan, kebersamaan, saling menghormati, menghargai, (kacoi ro ka dese ro ntasa angi) memberi dikala susah dan berbagi dikala senang, sudah mulai pudar dan itu hanya ada di pelosok-pelosok Bima. Budaya dan kearifan lokal yang hampir punah tersebut, hadir hanya di momentum-momentum kolosal budaya, pawai dan sejenisnya. Kearifan lokal yang kita yakini sebagai “sumber kekuatan” dalam membangun tatanan baru daerah hampir-hampir tidak kita temukan lagi, tergantikan dengan saling bermusuhan, saling berperang, konflik meletup dimana-mana, kriminalitas, hedonisme, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, tidak peduli halal atau haram, etis atau melanggar norma, beradab atau barbar. Kearifan lokal yang kita agungkan selama ini tergantikan oleh budaya materialisme, invidualisme dan sistem ekonomi rente.
Tindakan korupsi, peredaran narkotika menjadi sebuah “kebanggaan” dikala hancurnya tatanan sosial hari ini. Hampir tidak ada “ruang suci” ditanah ini untuk melihat “jejak-jejak kebaikan” yang menandakan bahwa kita adalah daerah “serambi mekah” dari timur. Semua tergantikan oleh hal-hal yang berbau “kemaksiatan”, huru-hara, pergaulan bebas, narkoba dan saling memperkaya diri. Apa yang kita harapkan dari “prilaku gila” dan nilai-nilai maksiat seperti ini, tidak adakah cara lain dan kekuasaan yang dapat merubah semua ini. Ini semua bergantung dan sangat tergantung dari para pemimpinnya, dan siapa yang memimpin Bima hari ini kitapun sudah tahu orangnya. Dialah yang paling bertanggungjawab dalam masalah ini, karena beliau di sumpah dan di lantik untuk mengabdi mengurus hajat hidup rakyat di tanah Bima.
7.Belanja Publik APBD Minim
Melihat postur anggaran yang dikelola Kabupaten Bima Tahun 2014 (ringkasan ABPD 2014) dapat kita ketahui, bahwa belanja untuk kegiatan publik (rakyat) sangatlah minim. Dari pendapatan daerah Rp. 1.227.776.969.497.06., belanja bantuan sosial sekitar 8,4 miliardan belanja hibah hanya 22,5 miliar. Belanja pegawai 56,8 miliar belum termasuk gaji dan tunjangan pegawai yang jumlahnya sangat tinggi sekitar 689 miliar ditambah transfer tujungan sertifikasi guru sekitar 136 miliar. untuk belanja modal keperluan pemerintah sekitar 242,6 miliar dan belanja barang dan jasa untuk kegiatan pemerintah sekitar 178,8 miliar. Sebuah gambaran postur penganggaran yang sulit kita mengerti dan sama sekali tidak merakyat.
Pendapatan Asli daerah (PAD) kita sangat rendah tidak lebih dari 100 miliar (97,3 miliar) untuk ukuran daerah-daerah seperti Bima, padahal potensi kita sangat luar biasa bila dibandingkan daerah di kawasan timur Indonesia. Apa yang kita bisa kerjakan dari pendapatan seperti ini, “besar pasak daripada tiang” dan kita mengalami devisit diakibatkan oleh sektor rill tidak dapat berkembang sebagaimana diharapkan. Minimnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga disebabkan kuranngya inovasi daerah dalam memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya, yang mana birokrasi kita tertidur nyenyak ditengah hamparan keunggulan-keunggulan sumber dayanya.Saya tidak dapat mengerti kenapa ini bisa terjadi, padahal kita memiliki Bupati yang pintar berbisnis, berdagang dan mengelola usaha. Kenapa kepintaran tersebut tidak dimanfaatkan untuk kemajuan dan pembangunan daerahnya, melakukan entrepreneur birokrasinya, mewira-usahakan birokrasi untuk kesejahteraan rakyatnya “rupanya beliau tidak se-hebat yang kita duga”. Disinilah kita terkadang merasa sedih secara massal…
8.Kemiskinan Terpelihara
Disisi yang lain, pengentasan kemiskinan hanya sebagai slogan dan basa-basi dikala saat-saat membutuhkan dukungan politik rakyat, tidak adanya road map (peta jalan) program nyata pemerintah daerah untuk mengentaskan rakyat dari keterbelakangan, kemiskinan dan penyakit pembangunan lainnya hanya menjadikan tanah Bima mengalami “kemiskinan struktural”.Sebenarnya janganlah seperti itu, rakyat membutuhkan sebuah jalan keluar dari permasalahan yang dihadapinya, membutuhkan solusi-solusi cerdas dari orang-orang yang mengurusnya (birokrasi), membutuhkan kreasi-kreasi positif untuk mengangkat harkat dan martabatnya, membutuhkan sebuah “pengharapan” lilin penerang ditengah gelap-gulitanya nasib mereka hari ini.
Hari ini, rakyat membutuhkan pemimpin yang memiliki empati, perasaan dan pandai menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya, bukan pemimpin yang hanya pandai bersilat-lidah, menelan ludahnya sendiri dan berdusta atas nama rakyat. Kalau tidak demikian, lengkaplah sudah penderitaan yang dihadapi oleh rakyat hari ini. Hari ini, kita butuh pemimpin yang berprestasi, bukan Bupati yang mendapat raport merah,…untuk itu, janganlah merasa sedih…wassalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H