Mohon tunggu...
Fauzi Djamal
Fauzi Djamal Mohon Tunggu... Konsultan - Direktur Eksekutif Center for Communication and Information Studies (COMFIS)

Ikatlah ilmu dengan menuliskannya | The palest ink is better than the sharpest memory

Selanjutnya

Tutup

Money

Mendorong Diversifikasi Gas

21 September 2014   02:13 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:05 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1413937741598818829

[caption id="attachment_368270" align="aligncenter" width="620" caption="Petugas memeriksa jaringan pipa gas rumah tangga (tempo.co)"][/caption]

Langkah Pertamina menaikkan harga gas elpiji 12 kilogram (kg) sulit dibendung. Terlebih lagi, pemerintah melalui Menko Perekonomian telah merestui keinginan Pertamina menaikkan harga gas elpiji 12 kg. Terhitung, 10 September 2014 harga elpiji 12 kg naik Rp 18 ribu per tabung sehingga harga jualnya di pasaran menjadi Rp 114.300 per tabung.

Sejatinya, niatan Pertamina untuk menaikkan harga elpiji 12 kg sudah sejak lama. Pertengahan tahun 2013, Pertamina ingin menaikkan harga elpiji 12 kg sebesar Rp 25.400 atau dari Rp 70.200 menjadi Rp 95.600 per tabung. Namun, Pertamina mengurungkan niatnya karena pemerintah terutama Kementerian ESDM tak memberikan restu.

Alasan utama Pertamina ngotot harga elpiji 12 kg naik dikarenakan harus menanggung kerugian akibat menjual elpiji 12 kg di bawah harga pasar. Padahal, elpiji 12 kg merupakan produk komersial yang tidak disubsidi pemerintah seperti halnya elpiji 3 kg. Pertamina mengklaim mengalami rugi hingga Rp 2,81 triliun pada semester I-2014 akibat 'menyubsidi' elpiji 12 kg. Jika tidak ada kenaikan harga pada tahun ini maka Pertamina bisa merugi lebih dari Rp 5 triliun.

Hitung-hitungan kerugian Pertamina berbisnis elpiji 12 kg juga didukung dengan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama 2009-2012. Disebutkan BPK, Pertamina menanggung kerugian sebesar Rp 7,7 triliun dari bisnis penyediaan gas untuk konsumsi dalam negeri. Karenanya, BPK merekomendasikan agar harga gas elpiji 12 kg dinaikkan.

Alasan lain yang menjadi dalil Pertamina adalah kenaikan harga elpiji di pasar internasional sehingga turut menyumbang tingginya ongkos produksi elpiji yang harus ditanggung Pertamina.  Hal ini disebabkan produksi elpiji Pertamina hanya 2,5 juta metrik ton (41%) dari total kebutuhan elpiji dalam negeri yang mencapai 6,11 juta metrik ton. Artinya, hampir 60% dari kebutuhan konsumsi elpiji harus dipenuhi Pertamina dari impor. Otomatis, saat harga elpiji di pasar internasional melonjak maka Pertamina harus menanggung akibatnya.

Dengan fakta tersebut, apakah kita patut memahami keinginan Pertamina menaikkan harga elpiji 12 kg? Bagi saya, alasan Pertamina menaikkan harga elpiji 12 kg dengan alasan rugi patut dibenarkan dalam konteks Pertamina sebagai korporasi. Sebab, Pertamina sebagai BUMN dituntut menghasilkan profit dan pemasukan bagi negara. Bukan kewajiban bagi Pertamina untuk menanggung kerugian akibat harga elpiji 12 kg yang tidak disubsidi. Apapun alasannya, pemerintahlah yang bertanggung jawab memberikan subsidi, bukan korporasi.

Namun, kenaikkan harga elpiji 12 kg menyisakan persoalan baru. Pasalnya, niat mempopulerkan penggunaan gas elpiji justru memacu impor gas mengingat mayoritas pasokan gas elpiji berasal dari impor. Padahal tujuan awal pemakaian gas adalah mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM yang terus membengkak.

Karenanya, pemerintah perlu melakukan langkah konkret untuk menyempurnakan pemenuhan kebutuhan gas dalam negeri. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan adalah mendorong diversifikasi gas. Sebab, Indonesia punya stok melimpah jenis gas alam lain yang bisa dijadikan bahan bakar untuk dapat digunakan oleh masyarakat.

Terlebih lagi, BUMN migas lainnya yaitu Perusahaan Gas Negara (PGN) telah mengembangkan saluran gas untuk rumah tangga yang bersumber dari pasokan gas alam. Sekarang waktunya bagi pemerintah untuk mendorong lebih cepat proses diversifikasi gas dengan membangun infrastruktur jaringan pipa gas. Ke depan, konsumsi gas tidak hanya menggunakan tabung gas melainkan jaringan pipa gas yang langsung menuju ke rumah-rumah warga. Sudah saatnya distribusi menggunakan tabung gas ditinggalkan karena cenderung tidak efisien.

Saya percaya dwitunggal pemerintahan Jokowi-JK mampu tancap gas menyelesaikan persoalan ini. Apalagi Jokowi dikenal sebagai sosok yang cepat tanggap dan cepat bertindak sedangkan JK merupakan figur utama penggerak konversi minyak tanah ke gas. []

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun