Mohon tunggu...
fauzialfiansyah
fauzialfiansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Teknik Elektro di Universitas Pamulang, Tangerang Selatan

Saya Fauzi Alfiansyah seorang mahasiswa aktif di Universitas Pamulang, Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Paradoks Media Sosial

7 Desember 2024   14:35 Diperbarui: 7 Desember 2024   14:57 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Paradoks Media Sosial: Ketika Konektivitas Justru Menciptakan Kesepian Modern

Di era digital yang kian pesat ini, kita dihadapkan pada sebuah ironi yang menggelitik. Semakin terhubung kita secara digital, justru semakin terasing kita secara emosional. Media sosial, yang dijanjikan sebagai jembatan penghubung antarmanusia, kini malah menciptakan jurang baru dalam interaksi sosial kita.

Bayangkan pemandangan di restoran modern: sekelompok anak muda duduk bersama, namun masing-masing tenggelam dalam dunia virtualnya. Mereka berbagi meja, tetapi pikiran mereka berkelana di linimasa media sosial. Likes dan komentar menjadi pengganti senyuman dan tawa yang tulus. Bukankah ini paradoks yang memprihatinkan?

Yang lebih mengkhawatirkan, fenomena ini telah menciptakan generasi yang mahir bersosialisasi secara virtual namun canggung dalam interaksi langsung. Mereka bisa dengan fasih mengetik emoji dan membuat caption menarik, tetapi gugup ketika harus berbicara tatap muka. Kepercayaan diri mereka seolah tersimpan dalam ponsel pintar, bukan dalam diri mereka sendiri.

Media sosial juga telah mengubah definisi kebahagiaan. Kita berlomba menampilkan versi terbaik - bahkan palsu - dari diri kita. Feeds Instagram dipenuhi momen-momen sempurna, seolah hidup adalah rangkaian kebahagiaan tanpa celah. Realitasnya? Kita justru merasa lebih tertekan, membandingkan hidup kita dengan kesempurnaan semu di media sosial.

Solusinya bukan meninggalkan teknologi, melainkan menyeimbangkannya. Kita perlu kembali pada esensi komunikasi: kontak mata, kehangatan suara manusia, dan ketulusan yang tak bisa digantikan algoritma. Jadikan media sosial sebagai pelengkap, bukan pengganti, interaksi nyata kita.

Mungkin sudah waktunya kita melakukan "digital detox" berkala. Matikan notifikasi sesekali. Nikmati obrolan tanpa gangguan ponsel. Rasakan kembali keintiman percakapan langsung yang tak tergantikan. Karena pada akhirnya, kebahagiaan sejati tidak diukur dari jumlah followers, tetapi dari kualitas hubungan nyata yang kita miliki.

Inilah tantangan generasi kita: menemukan keseimbangan antara kemajuan teknologi dan kebutuhan dasar manusia akan koneksi yang autentik. Karena di balik kemudahan yang ditawarkan dunia digital, kita tetaplah makhluk sosial yang mendambakan sentuhan nyata kemanusiaan.

[Fauzi Alfiansyah]

Pengamat Sosial dan Budaya Digital

(Opini ini ditulis dengan gaya yang mengalir, menggabungkan fakta sosial dengan sentuhan personal, dan menggunakan bahasa yang mudah dicerna namun tetap mengesankan. Struktur argumennya dibangun secara bertahap, dengan solusi dan penutup yang memberikan harapan.)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun