Pilkada di kabupaten ciamis untuk tahun ini mengalami fenomena unik yang mana hanya satu paslon (pasangan calon) yang maju untuk memimpin ciamis. Kondisi ini menimbulkan banyak reaksi mulai dari heran, aneh, dan juga ada yang menganggapnya sebagai lelucon yang mana mereka berpersepsi bahwa pilkada tahun ini hanya seperti sebuah formalitas saja bukan lagi sebuah pesta demokrasi. Hal ini juga memancing banyak pertanyaan di masyarakat ciamis dan masyarakat luar, seperti apakah kemenangannya merupakan bentuk kematangan dari calon ini? Atau ada beberapa masalah yang perlu dibenahi?
Hadirnya satu paslon sering kali di aggap sebagai bentuk koalisi antara partai-partai politik yang bersatu mendukung kandidat tertentu, atau bisa berupa strategi politik yang mana partai politik lain memilih untuk tidak mengajukan kandidat lain dengan alasan untuk menghindari kompetisi yang pada akhirnya akan memecah suara, atau ada beberapa kesepakatan yang dilakukan oleh beberapa partai politik, atau juga kandidat lain sudah merasa insecure karena memiliki anggapan bahwa akan sulit untuk menang dengan alasan kalah dari segi dukungan partai, finansial, popularitas, jam terbang, dan sebagainya.
Dari beberapa hal diatas dapat dikatakan bahwa suatu daerah yang mengajukan satu paslon merupakan bentuk cerminan dari ketimpangan kekuatan politik dari daerah tersebut, yang mana hasil dari ketimpangan ini dapat berakibat pada terganggunya keseimbangan demokrasi, dan juga dapat memperburuk kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Pilkada di Ciamis tahun ini ibarat pilihan ganda yang sempit dengan memilih pasangan calon tunggal yang ada, atau memilih kotak kosong. Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius tentang kualitas demokrasi di tingkat lokal. Demokrasi yang sehat idealnya memberikan ruang bagi masyarakat untuk menentukan pilihan dari berbagai alternatif, bukan sekadar menjalani proses formalitas tanpa kompetisi nyata.
Kotak kosong memang tersedia sebagai opsi penolakan terhadap calon tunggal, namun apakah masyarakat benar-benar memahami konsekuensi dari memilihnya? Jika kotak kosong kalah, paslon tunggal akan secara otomatis menang, dan kemenangannya ini yang mungkin akan dianggap sebagai kemenangan tanpa perjuangan berarti. Kondisi ini memunculkan kekhawatiran dalam demokrasi yang pada akhirnya akan tergerusnya dinamika politik lokal dan terbatasnya peluang partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi yang sesungguhnya.
Tulisan ini saya buat bukan untuk mengkritik pasangan calon (paslon) yang ada di Pilkada Ciamis, melainkan untuk mengajak masyarakat agar lebih membara dan bersemangat dalam berpartisipasi dalam pesta demokrasi ini. Pilkada bukan sekadar ajang memilih pemimpin, tetapi juga momentum untuk menunjukkan kepedulian dan keberpihakan kita terhadap masa depan daerah.
Dalam Fenomena ini seharusnya menjadi momentum bagi masyarakat ciamis untuk lebih kritis. Ketika hanya ada satu kandidat, masyarakat harus lebih aktif menilai kualitas, visi, dan misi paslon tersebut. Apakah mereka benar-benar layak memimpin? Apakah program yang ditawarkan relevan dengan kebutuhan warga Ciamis? Jika tidak sesuai maka akan banyak sekali masyarakat yang dirugikan.
Selain itu, pendidikan politik juga perlu digalakkan agar masyarakat ciamis mampu memahami pentingnya berpartisipasi dalam demokrasi, termasuk memahami opsi "kotak kosong" sebagai bentuk penolakan yang sah dalam sistem demokrasi.
Partai politik sebagai pilar utama demokrasi memegang peran yang sangat strategis dalam memastikan terciptanya kompetisi sehat di Pilkada. Mereka tidak hanya bertanggung jawab dalam mendukung calon pemimpin yang berkualitas, tetapi juga dalam menjaga agar proses demokrasi tetap hidup dan dinamis. Tanpa kompetisi yang sehat, demokrasi bisa kehilangan esensinya sebagai sistem yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang terbaik.
Salah satu langkah penting yang harus dilakukan partai politik adalah membuka ruang seleksi yang lebih inklusif. Proses pencalonan harus dirancang untuk menjaring lebih banyak tokoh potensial dari berbagai latar belakang, termasuk dari kalangan muda, profesional, dan masyarakat akar rumput. Dengan demikian, kandidat yang muncul bukan hanya berasal dari lingkaran elite politik atau figur yang sudah mapan, tetapi juga dari tokoh-tokoh baru yang mampu membawa inovasi dan ide segar untuk pembangunan daerah.
Selain itu, partai politik juga harus berani melampaui pola pikir pragmatis yang hanya berfokus pada kandidat dengan elektabilitas tinggi atau kekuatan finansial besar. Tokoh-tokoh baru yang memiliki integritas, kapasitas, dan visi yang jelas untuk daerah juga layak mendapatkan dukungan. Langkah ini tidak hanya akan menciptakan kompetisi yang sehat di Pilkada, tetapi juga mendorong regenerasi kepemimpinan yang lebih beragam dan berkelanjutan.