Mohon tunggu...
zee hasna
zee hasna Mohon Tunggu... -

psikologi - sedang berminat pada psikologi lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidik dalam Memahami Perkembangan Mental Peserta Didik dan Dampaknya

21 September 2013   21:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:34 878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Mencoba mengingat kembali kisah yang dibawa oleh ibu, tentang kasus salah seorang adik saya di sekolahnya beberapa waktu lalu. Namanya sultan, seorang siswa kelas 5 salah satu sd negri yang cukup favorit di daerah saya tinggal. Pagi itu dia sedang bermain bareng teman-temannya. Tebakan nama. Sebuah permainan yang sering dilakukan anak-anak mengisi kekosongan belajar dengan cara menghitung jari dan menyebutkan nama sesuai huruf terkahir yang disebut. Dan seperti banyak permainan pada umumnya, yang kalah harus tunduk dengan konsekuensinya. Mungkin saja karena konsekuensi permainan itu sedikit berat, yakni dengan mencoreng wajah yang kalah dengan tinta, akhirnya sultan dipanggil lah oleh pihak sekolah.

Pemanggilan berawal dari salah seorang murid yang melapor insiden pencorengan wajah tersebut ke wali murid sisiwa yang kalah dalam permainan, kemudian melaporkannya pada pihak sekolah. Sehingga keesokan harinya, dikumpulkanlah wali murid untuk menindak lanjuti insiden itu. Tentu saja, sultan sebagai tersangka utama pencorengan mendapatkan tempat duduknya di depan forum para orang tua murid tersebut.

Forumpun berjalan dengan cek-cok terkait penjatuhan hukuman termasuk usulan skorsing yang harus diterima oleh sultan, dan tak ada yang benar-benar menengahi. Hingga pada akhirnya, seorang bapak-bapak berusia sekitar 50an menyampaikan bahwa yang dilakukan sultan itu adalah apa yang semestinya dilakukan oleh anak-anak. “itu dunia mereka” begitu ujarnya. Dengan persuasif ia menyeru kepada wali murid yang hadir, tak seharusnya hanya karena masalah kenakalan anak-anak harus diadakan forum seperti ini, bahkan dengan mendapuk sultan untuk duduk di tengah forum ini, yang berarti menguatkan dirinya sebagai tersangka insiden itu.

Meskipun pada akhirnya pernyataan bapak tadi sedikit banyak mempengaruhi pemikiran sebagian besar wali murid dan guru yang ikut dalam forum tersebut, tetapi sebuah peristiwa telah terjadi. Melibatkan anak langsung dalam cek-cok dan penjatuhan hukuman dalam sebuah forum besar menurut saya bukan suatu hal yang patut untuk dibanggakan apalagi dijadikan sebagai acuan dalam penjatuhan hukuman untuk kasus-kasus selanjutnya. Dan insiden-insiden serupa saya yakin sering terjadi di beberapa instansi yang luput dari pengamatan. Masalahnya tentu saja terkait dengan kesehatan psikis anak. Namun yang ingin saya bahas disini adalah tentang pengambilan keputusan seorang wali kelas dalam pemberian reward atau punishment kepada peserta didik.

Definisi kesehatan jiwa adalah kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, mental, dan spiritual seseorang secara optimal serta selaras dengan perkembangan orang lain, yang memungkinkan orang tersebut hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Ketika dalam suatu institusi belum tercipta keselarasan antar ketiga poin tersebut , maka yang harus dilakukan adalah upaya-upaya untuk menanggulanginya yang bisa bersifat promotif maupun persuasif. Salah satu poin penting dalam upaya promotif kesehatan mental adalah dengan menciptakan lingkungan masyarakat yang kondusif bagi kesehatan jiwa. Sedangkan dalam bentuk preventif bisa dengan konseling, cara berkomunikasi dan penyampaian informasi yang baik.

Dalam budaya kita, termasuk dalam obrolan sehari-hari , orang-orang sepakat berpendapat bahwa sekolah adalah keluarga kedua dan guru adalah orang tua kedua, setelah rumah dan orang tua dalam artian biologis. Maka dalam hal ini, gurupun seharusnya terikat dengan tugas-tugas yang di emban oleh orang tua terkait pengasuhan, pendidikan yang positif, pembelajaran, pengenalan akan hal-hal baru yang mungkin ada sebagian anak tidak mendapatkannya dalam lingkungan keluarga.

Dalam kasus di atas, seorang pendidik juga berperan dalam melatih anak-anak untuk mengendalikan emosi mereka. “Orang tua pelatih emosi” memantau emosi anak. Mereka melakukannya dengan melihat emosi negatif anak sebagai suatu kesempatan untuk mengajarkan tentang emosi kepada mereka, dan memberikan pengarahan cara yang efektif dalam menghadapi emosi-emosi mereka. Dalam penelitian, “orangtua pelatih emosi” telah diamati untuk lebih sedikit menolak anak mereka, lebih banyak memuji anak mereka , dan lebih bersikap mendidik kepada mereka, dibandingkan dengan “orang tua yang mengabaikan emosi” (Gottman, Katz, & Hooven, 1977).

Menyongsong kurikulum baru pendidikan yang akan diusung, yakni pendidikan karakter, maka hal-hal mengenai emosi anak dan cara menghadapinya seperti di atas mau tak mau telah menjadi tugas pendidik untuk meningkatkan moral seorang anak. Tujuannya adalah mengajarkan tenggang rasa, memahami perbedaan benar-salah, berkata jujur, dan menghindari perilaku curang.

Perkembangan moral melibatkan perubahan seiring usia dalam pemikiran, perasaan, dan perilaku berdasarkan prinsip dan nilai yang mengarahkan bagaimana anak seharusnya bertindak. Melibatkan anak dalam pengambilan keputusan dan mempertimbangkannya memang baik, dalam rangka pemberian kesempatan anak untuk belajar mengenai sudut pandang dan perasaan orang lain. Namun cara mengomunikasikannya yang sangat perlu di perhatikan. Mengajaknya bicara berdua, menjelaskan emosi positif dan negatif, menganalogikan tentang bagaimana perasaannya jika berada di posisi tercoreng mukanya, dan memutuskan apa yang harus dilakukan, seperti meminta maaf, menurut saya akan jauh lebih bijaksana.

Kasus-kasus semacam di atas juga banyak terjadi, meski dalam kemasan yang berbeda. Seperti contohnya kasus anak-anak SMA yang terpaksa harus kena DO (drop out) karena foto syur nya terekspos luas. Mungkin ada benarnya kasus tersebut masuk dalam kategori bullying, yang berarti secara verbal atau fisik memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu. Pengambilan keputusan langsung DO , atau permintaan mengundurkan diri tanpa komunikasi yang baik sebelumnya, dan membuat peserta didik terpaksa memenuhinya , akan menyakiti mental anak dan tentu saja akan berdampak pada pembentukan kepribadian kedepannya. Seperti rendahnya harga diri, depresi, rendahnya minat sekolah, dan tingginya stress.

Umat islam mengenalnya terkait pengambilan keputusan sebagai ujian yang harus dilalui dan diselesaikan. Barangkali dengan kehendak-Nya, telah menetapkan cara-cara bagaimana penyelesaiannya. Barangsiapa yang mampu memadukan antara aspek-aspek material dan spiritual pada kepribadiannya, dan berhasil merealisasikan keserasian dan keseimbangan antara kedua aspek tersebut, maka ia dipandang berhasil dalam ujian ini. Ia layak mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Seperti yang sering di sampaikan oleh para tokoh aliran humanistik, bahwa setiap manusia lahir dengan membawa segenap potensi yang diperlukan untuk melewati ujian tersebut. Dan Alloh pun memberinya kebebasan untuk berkehendak dan memilih, jalan mana yang dikehendakinya dan untuk menyelesaikannya yang merupakan landasan tanggung jawab dan perhitungan atas tindakannya.

Seorang pendidik dengan kesehatan mental yang terjaga , jelas sangat dibutuhkan. Yang menjadi PR bersama adalah persiapan menjadikan pendidik yang selaras antara jiwa, raga, dan spiritualnya, sebelum menyentuh pada aspek pembangunan karakter peserta didik. Pengambilan keputusan untuk penjatuhan hukuman,pemberian ganjaran, konsekuensi pendidikan juga patut untuk lebih diperhatikan. Jangan sampai pendidik tidak mengetahui tahap-tahap perkembangan mental dan dampaknya, ketika sebuah keputusan telah dijaatuhkan.

dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaanya), maka Alloh mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan danj ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang  yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”

(Q.S. As-Syams ; 7-10)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun