Beberapa bulan belakangan ini, Indonesia banyak dikejutkan oleh berita-berita yang cukup memprihatinkan. Ambil saja kasus pembunuhan Ade Sara, mahasiswi psikologi tingkat awal tersebut cukup menyita perhatian public. Sementara itu, di belahan kota lain, kasus pembunuhan dengan dugaan penyebab yang serupa entah asmara, cemburu, balas dendam, harta, ataupun memang sudah bosan menyaksikan kehidupan yang Nampak begini-begini saja, terus berlangsung. Korban demi korban berjatuhan, dan tersangka demi tersangka berusaha terkuak. Tragedi yang tak lagi pandang usia, pandang bulu, pun status ekonomi.
Belum benar-benar tuntas terseleaikan, muncul kasus lain yang tak kalah memprihatinkan dan cukup menjadi trending topic beberapa minggu terakhir. Kasus pencabulan anak TK di Jakarta Internasional School, yang semakin hari semakin berkembang. Peristiwa itu hanyalah sebagian kecil dari tragedi degradasi moral yang terangkat ke media. Di belahan kota lain, kita sama-sama tak tau, namun kita boleh sama-sama yakin bahwa terjadi bnyaak tragedi serupa yang menimpa anak-anak negri, para masa depan bangsa.
Hukuman apapun terasa tak mampu mengganti pengalaman yang ditinggalkan untuk para anak itu, pun tak mampu menuntaskan perbincagan para cendekia negri ini. Ada begitu banyak pihak yang terlibat. Struktur ataupun tatanan social, keluarga, tetangga, media, para pemuka agama, para cerdik cendekia, pemerintah, bahkan mahasiswa yang sebagian dari mereka memilih untuk tak tahu-menahu.
Sementara kita secara nyata tak akan mampu mengembalikan nyawa masing-masing korban, memberinya kesempatan hidup lagi, bahkan menanyai kronologis dan pelaku pembunuhan. Tapi dari kejadian demi kejadian tersebut kita tentu wajib untuk introspeksi, dan tak lagi menggugat nan menggerutu di belakang, sibuk berbicara betapa bobroknya sistem moral negri ini. Tak lagi berbicara dan mencari siapa yang bersalah dan siapa yang paling bertanggung jawab atas setiap tragedi tersebut.
Salah satu bidang kajian yang cukup representatif dengan isu ini adalah kesehatan mental. Seringkali orang terlalu dikotomis antara sehat dan sakit. Yang normal adalah yang sehat. Tanpa diagnosis masalah kejiwaan, seseorang akan dianggap sehat. Merasa sama dengan kebanyakan, merasa dirinya baik-baik saja berarti sehat. Sudah cukup merasa bahagia, sementara beberapa orang harus bekerja keras untuk sekedar bertahan hidup.
Sesungguhnya kesehatan mental tidak selalu seperti itu. Sehat mental bukanlah hal yang bisa didefinisikan dengan begitu mudah, selesai sekali duduk. Bukanlah dalam satu konsep baku nan kaku. Sehat mental bukanlah lawan kata dari sakit mental. Sehat mental tidak berbicara tentang normal abnormal, pun tentang ada atau tidak adanya simtom.
Bertepatan dengan mei sebagai bulan peringatan kesadaran akan kesehatan mental,maka perlu langkah panjang yang kontinu untuk menyebarkan isu pentingnya kesadaran akan kesehatan mental. Perlu usaha dan upaya edukasi yang terus menerus untuk mencapai konsep utuh kesehatan mental, dan tidak hanya berakhir pada tataran konsep, namun juga pada implementasi. Bahwa kesehatan mental bukanlah hal yang perlu ditutupi. Bahwa semua orang harus berani untuk berbicara, dan mengambil peran dalam penghapusan stigma tentang masalah mental termasuk kesehatan mental itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H