30 September 2013 Dering alarm smartphone milikku membuyarkan buaian mimpi yang tengah merasuki alam bawah sadarku. Layar smartphone tersebut memberikan petunjuk bahwa waktu telah menunjukkan pukul 05.00 WIB. Kedua bola mataku melirik sepintas padanya. Namun tak lama, kelopak mata ini kembali terpejam. Aku terlelap, namun smartphone-ku kembali memunculkan bunyi-bunyian yang memaksaku untuk segera bangun. Malam hari sebelumnya aku, Bayu, Deni serta Dewi menepis keinginan untuk merebahkan tubuh, karena setumpuk logistik dan sejumlah peralatan pendakian lainnya, merayu kami agar mereka segera dikemas rapi ke dalam carrier. Pagi ini adalah hari kedua bagi kami berempat singgah di kota Malang, Jawa Timur. Pendakian gunung Semeru yang telah kami rencanakan sejak 4 bulan lalu, pada akhirnya akan kami jalani. Kami akan dipandu oleh seorang rekan yang telah terbiasa mengantar para pendaki, yang bernama Dhori Jumadi. Dari kota Malang, kami menuju desa Tumpang yang menjadi salah satu jalur bagi pendaki dan wisatawan untuk menuju Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Biayanya Rp 100.000,00 untuk sekali angkut. Pada titik inilah para wisatawan dan pendaki seperti kami berlabuh sementara untuk berganti transportasi. Jeep merupakan satu-satunya alat transportasi yang bisa kami gunakan. Satu kali pengantaran, rata-rata kami harus merogoh kocek sebesar Rp 500.000,00 dengan kapasitas kendaraan berjumlah 10 hingga 15 orang. Kendaraan ini akan mengantarkan kami menuju Ranu Pani, yaitu desa terakhir yang berada di kaki gunung Semeru. Perjalanan menuju Ranu Pani memakan waktu hampir 2,5 jam. Meski terbilang cukup jauh, namun kami tidak merasa bosan karena kami disuguhi pesona alam semesta yang menampilkan keindahannya. Tiba di Ranu Pani, Dhori segera menyambangi loket pendaftaran untuk mengurus administrasi. Suasana Ranu Pani sore itu cukup ramai, dipenuhi oleh pendaki yang baru saja tiba, serta pendaki yang akan menuju puncak, termasuk tim kami. Hari masih sore. Berkas sinar mentari terasa hangat menembus pori-pori. Sesekali, ia menerpa wajah. Tim, mulai melintasi jalan setapak. Langkah kaki kami tidak terlalu cepat. Sesekali nafas ini tersengal karena harus melewati tanjakan. Tujuan kami hari ini adalah bermalam di Ranu Kumbolo, yaitu sebuah danau dengan luas 15 hektar yang berada pada ketinggian 2390 mdpl. Lokasi ini biasa digunakan sebagai tempat singgah bagi para pendaki yang hendak bertolak menuju Mahameru, yaitu puncak gunung Semeru. Untuk menuju kesana kami harus melewati 4 pos. [caption id="attachment_314357" align="aligncenter" width="580" caption="Gerbang Selamat Datang Para Pendaki Gunung Semeru"][/caption] Semesta alam tengah berpihak pada kami berlima sore ini. Ditemani langit senja, puncak Semeru mulai menampakkan diri. Gumpalan awan yang tadinya menutupi puncak, sedikit demi sedikit terurai, membuat pandangan kami terlihat lebih jelas. Tak lama senja berganti malam. Taburan bintang di langit luas, menggantikan pancaran mentari yang setia menemai perjalanan kami. Kami terus berjalan ditemani seberkas cahaya yang terpancar pada headlamp yang terpasang di kepala kami. Hawa dingin mulai merasuk tubuh. Setelah berjalan hampir 6 jam, kami berhasil menapaki Ranu Kumbolo. Sorak sorai terdengar lirih dalam balutan dinginnya malam. Tak ingin terlalu lama, kami segera mendirikan tenda dan segera merebahkan tubuh karena suhu malam ini telah mencapai minus 4 derajat Celcius. Tips : bawalah jaket tebal, sarung tangan, kaos kaki, penutup kepala, slayer dan celana panjang saat mendaki gunung. Jangan lupa membawa sleeping bag dan baju ganti untuk menambah kehangatan saat tidur.
1 Oktober 2013
Sedikit demi sedikit kelopak mataku terbuka. Tenda tempatku berteduh mulai diterangi sinar mentari, membuat tubuhku terasa hangat, jauh lebih baik dibandingkan malam hari sebelumnya. Mataku menangkap kepulan asap yang keluar dari danau akibat disinari sang surya. Hari ini kami akan melanjutkan perjalanan menuju Kalimati, yaitu site terakhir sebelum puncak. Di tempat inilah kami akan bermalam. Meninggalkan Ranu Kumbolo kami melintasi Tanjakan Cinta yang kuat dengan mitosnya. Berhasil melintasi Tanjakan Cinta, hamparan padang luas Oro-Oro Ombo segera menyapa kami dengan keindahannya.
[caption id="attachment_314354" align="aligncenter" width="580" caption="Ranu Kumbolo, danau eksotis di tengah Gunung Semeru"]
2 Oktober 2013
Kami berlima adalah tim pertama yang mulai melakukan pendakian. Tepat pukul 23.00 WIB kami mulai mengarungi Arcopodo. Musin panas membuat tanah Arcopodo memunculkan debu saat kami pijaki. 2 jam mengarungi Arcopodo, kami tak lagi bertemu dengan pepohonan rindang yang menjadi kanopi. Kami mulai mendaki tubuh Mahameru. Lautan pasir dengan posisi yang cukup curam mulai kami hadapi. Perjuangan dimulai dari sini. Sekali menapak, dua kali merosot. Inilah yang berkali-kali kami alami saat berusaha untuk berbaur dengan Mahameru. Kami menyebutnya "Tanjakan Putus Asa". Tak jarang sejumlah pasir dan kerikil berhasil menyusup ke dalam sepatu. Sesekali kami harus berhenti untuk mengeluarkannya karena semakin menambah beban kaki saat kami melangkah.
Cakrawala semakin dekat. Langit malam tak begitu kelam meski tak ada bulan ataupun bintang yang memantulkan cahayanya ke bumi. Aku bergumam, menahan rasa dingin yang semakin menyelimuti tubuhku yang tipis. Meski telah mengenakan 2 kaos yang dibalut dengan jaket tebal, namun angin yang bergulir disekitarku tak berhenti berhembus. Aku merindukan mentari. Waktu menunjukkan pukul 04.30 WIB. Fajar mulai menggantikan malam. Kami berlima masih berjuang menapaki sensasi Tanjakan Putus Asa. Sedikit demi sedikit langit kelam berubah menjadi keemasan saat sang mentari mulai memendarkan sinarnya. Rasa lelah kami terbayar saat kami diberi kesempatan untuk menyaksikan pergantian malam dari tubuh Mahameru yang menjadi bagian dalam Indonesia Travel. Suasana pagi yang tak biasa bagi kami.
Pancaran mentari membuat tubuh kami semakin hangat. Kami masih terus berjuang mencapai puncak. Sesekali Mahameru memuntahkan wedhus gembel disertai memuntahkan abu yang mengguyur tubuh kami. Sebuah fenomena alam yang bisa kami rasakan dari jarak yang sangat dekat. Beberapa pendaki yang berhasil menyusul membantu untuk mempertahankan asa kami, yaitu menapaki puncak! Dengan nafas terengah-engah, dengan sepatu yang dipenuhi pasir dan kerikil, dengan tubuh yang semakin gontai, dan pada titik keputusasaan, pada akhirnya kami berhasil menginjakkan kaki di Mahameru. Aku telah berhasil menyaksikan pergantian malam pada ketinggian 3.676 mdpl. Ada rasa syukur, ada rasa haru serta ada rasa bangga saat perjuangan kami untuk menapaki gunung tertinggi di pulau Jawa ini berhasil kami lalui. Kami telah diberi kesempatan untuk menyaksikan keagungan Tuhan melalui Maha karya yang terwujud dalam alam semesta. Semoga, suatu hari nanti kami diijinkan untuk kembali bersahabat dengan Mahameru. (zie)
[caption id="attachment_314395" align="aligncenter" width="580" caption="Puncak Mahameru, 3.676 mdpl"]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI