Mohon tunggu...
Achmad Sidik Fauzi
Achmad Sidik Fauzi Mohon Tunggu... -

Menikmati hidup seperti menikmati pahitnya secangkir kopi dipagi hari.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengambil Teladan dari Seekor Singa

26 Juli 2012   02:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:37 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendengar atau membaca kata tentang singa, mungkin yang pertama kali terbersit dalam pikiran adalah seekor binatang buas pemakan daging dengan tubuh kekar dan bermata tajam. Apalagi, jika singa tersebut secara langsung berada tepat di depan kita, rasa takut atau segan akan segera terasa karena kita berpikir, cepat atau lama ia akan menjadikan kita sebagai santapannya. Tetapi lain hal lagi jika kita melihatnya dikebun binatang. Namun sekalipun singa itu jinak, tidak ada jaminan apabila perutnya lapar karena nalurinya sebagai seekor binatang.

Di balik keganasan itu, tidak banyak orang yang mengetahui kalau singa sebenarnya tidak akan memangsa binatang lain sebagai santapannya, kecuali jika ia sedang lapar. Binatang yang melintas di depannya pun, tidak akan ia kejar jika perutnya masih terasa kenyang. Seekor singa yang merasa kenyang setelah menyantap hasil buruannya, akan cukup untuk membuatnya tidak memasangsa bintang lain selama beberapa hari ke depan. Baru tahu kan? Coba bagaimanakah jika deskripsi tersebut dibandingkan dengan manusia?

Manusia, sejatinya adalah mahluk tuhan yang paling sempurna dibandingkan dengan ciptaannya yang lain. Bahkan tidak hanya sempurna, ia juga dikaruniai akal dan perasaan yang membedakannya dengan mahluk lain serta mengemban amanah sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi sebagai representasi dari nilai-nilai ketuhanan. Namun, kadangkala prilaku yang ditunjukan justru sebaliknya. Manusia bisa lebih merosot prilakunya dibanding dengan binatang tetapi ia seringkali “tidak terima” ketika dikatakan sama atau melebihi binatang.

Kembali lagi pada deskripsi tentang seekor singa. Jika Seekor singa telah terpenuhi hajat makannya, ia tidak akan memangsa lagi binatang lain meskipun dengan santainya mangsa itu lewat dihadapannya. Sedangkan manusia, ketika hajatnya telah terpenuhi baik soal perut ataupun lebih luas dari pada itu, ia seringkali merasa kurang puas dan kembali mengambil yang lainnya secara terus menerus sekalipun itu bukan termasuk hak nya. Contoh paling sederhana ialah, ketika orang hendak makan dan dihapannya ada puluhan jenis masakan, ia tentu tidak akan fokus makan hanya pada satu jenis masakan saja tetapi akan mencoba beberapa atau semua yang dihidangkan bahkan kadangkala ia akan meminta lagi yang belum dihidangkan. Contoh lain yang agak tinggi adalah soal jabatan. Ketika seseorang sedang menjabat sebagai bupati/walikota dan pada saat berlangsungnya masa jabatan itu ada pemilihan umum gubernur, sebagian dari mereka tergiur untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi bahkan lebih tinggi lagi demi mengejar obsesi dan gengsi dengan mengorbankan dan melukai hati rakyatnya karena amanat yang diberikan dan janji yang diucapkan belum selesai dituntaskan. Tidak sampai disitu, naiknya status sosial seseorang biasanya juga diiringi dengan naiknya rasa gensi, jika dulu ketika jadi bupati mobilnya masih seharga ratusan juta rupiah mungkin jika status sosialnya naik bisa jadi mobilnya nanti seharga milyaran rupiah dan diiringi pula oleh ocehannya guna meminta beragam fasilitas fantastis lainnya yang barangkali menurut wong cilik tidak masuk akal. Memang tidak, lihat saja contoh prilaku pejabat kita. Nah, jika demikian masih berkelitkah dengan pernyataan, kadang kita sama atau lebih rendah daripada binatang?

Keserakahan itu muncul sebenarnya dikarenakan kurang bahkan tidak adanya rasa syukur dalam dari kita tentang apa yang telah kita dapatkan sekarang. Suatu ungkapan, rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau. Itu memang benar adanya. Bahkan Mahatma Gandi pernah bertutur “Dunia ini cukup untuk tujuh turunan tetapi tidak akan cukup bagi tujuh orang serakah”. Ketika manusia diberikan dua gunung emas pun maka ia akan meminta pula gunung emas yang lainnya.

Tuhan sebenarnya sayang sama kita, ia memberikan segala sesuatu yang dibutuhkan dan terbaik bagi setiap individu meskipun kadangkala kita merasa jengkel ketika mendapatkannya. Tetapi karena tuhan lebih mengetahui kita daripada diri kita sendiri maka tuhan pun akan tetap memberikannya. Ia sebenarnya menguji sampai dimana tekad dan kemampuan kita ketika menginginkan sesuatu dan dalam prosesnya selalu ada jangka waktu untuk mencapai titik itu, dimana kita akan mencapai hadiah terindahnya berupa buah dari hasil perjuangan. Singkatnya, jadilah pribadi yang selalu bersyukur pada apa yang kita punya, jangan serakah apalagi sampai mengambil hak orang lain. Bersabarlah karena waktulah yang akan menjawab semuanya. Singa saja bisa, masa manusia tidak?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun