Mohon tunggu...
Fauzan Sukma M
Fauzan Sukma M Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa Fisipol, Gadjah Mada. Memiliki ketertarikan pada bidang sastra, kebudayaan, politik, dan sejarah. Menghamba pada Tuhan, bukan zaman. http://kumpulanterbuang.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bersama Kata, Memotret Widji

22 Desember 2016   21:57 Diperbarui: 23 Desember 2016   20:02 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
-pic source : dw.com

Jika Dylan yang konsisten mengangkat derajat kemanusiaan dalam skema sudut pandang yang lebih universal, Wijdi justru mendapatinya juga pada perspektif yang luput dari koreksi. Kegemarannya membaca, membentuk kesadaran bahwa setiap tulisan - sebagai hasil karya tangan manusia – harus dihargai sebaik mungkin, apapun bentuknya. Mengingat, ketika melihat salah seorang temannya menjadikan buku sebagai tatakan mie instan, Widji marah. Sekalipun itu koran, tidak mentolerir dipergunakan sebagai alas. 

Berangkat dari hal yang merupakan pelecehan terhadap karya manusia tersebut, maka mungkin Widji akan memberontak sejadi-jadinya ketika melihat penghancuran karya tulis oleh kebengisan Orde Baru yang paranoia terhadap tulisan yang dianggap mengugat status quodalam sistem yang berlaku, seperti yang dialami Pram, dan seniman seperjuangannya. Jangan harap generasi sekarang bisa menaruh perhatian besar pada segala bentuk karya tulis, jika untuk memperkaya dirinya sendiri hanya dengan membaca pun, masih enggan. Karena kejahatan yang melebihi penghancuran buku, adalah tidak adanya kemauan untuk membaca buku itu sendiri. Begitu yang dikatakan Joseph Brodsky.

Substansi setiap sajak Widji Thukul menjadi nilai tersendiri sebab selalu relevan dengan berbagai lini masa, akan ketimpangan realitas. Karenanya, sajak-sajak Widji masih mendapatkan tempat mutakhir ini, bahkan beberapa kalimat pendek dalam sajaknya dijadikan aforisma seperti ‘Si Binatang Jalang’ dan terlampau dikenal banyak orang, ketimbang pengarangnya. Di luar sana, benih – benih semangat yang ditebarkan Widji dalam persembunyiannya itu perlahan tumbuh; menuai tanda tanya, dan menggugat akan kesewenang-wenangan, “bahwa menghamba pada ketakutan akan memperpanjang barisan perbudakan”, maka suatu saat teriakan lantang “lawan!” itu mesti dilakukan, dan biar menjelma menjadi suara yang “memburu seperti kutukan”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun