Pernahkah kita berpikir bahwa puasa bukan hanya sekadar ibadah atau latihan pengendalian diri?. Jika kita melihatnya melalui lensa pemikiran Michel Foucault, kita akan menemukan bahwa puasa juga merupakan mekanisme disiplin yang terjalin erat dalam jaringan kekuasaan dan norma sosial. Dalam bukunya Discipline and Punish, Foucault menyatakan bahwa disiplin membentuk individu melalui teknik kekuasaan yang mengarahkannya sebagai objek sekaligus alat pelaksanaan kekuasaan.
"Discipline 'makes' individuals; it is the specific technique of a power that regards individuals both as objects and as instruments of its exercise." (Foucault, 1975, h. 170)
Disiplin dalam konteks ini bukan hanya sekadar paksaan, tetapi juga pembentukan subjek yang secara sukarela mengikuti dan mempertahankan tatanan sosial. Artinya, seseorang tidak hanya dipaksa untuk menaati aturan, tetapi juga menginternalisasinya hingga kepatuhan itu terasa alami. Lalu, bagaimana puasa berperan dalam proses ini?
Puasa sebagai Proses Internalisasi Nilai dan Disiplin Diri
Kita sering melihat bagaimana kontrol terhadap perilaku sosial terjadi melalui pendidikan, hukum, dan bahkan ritual keagamaan. Dalam konteks ini, puasa bukan sekadar pilihan spiritual, tetapi juga cerminan dari bagaimana individu dibentuk agar tunduk pada aturan sosial tertentu.
Puasa mengatur ritme biologis tubuh sekaligus menjadi mekanisme internalisasi norma yang telah lama tertanam dalam budaya dan struktur sosial. Melalui puasa, seseorang belajar menekan keinginan naluriah dan menyesuaikan kebutuhannya dengan aturan yang berlaku. Ini sejalan dengan gagasan Foucault tentang biopolitik, di mana kekuasaan tidak hanya bekerja melalui pemaksaan eksternal, tetapi juga melalui mekanisme internal yang membuat individu secara sukarela mengatur dirinya sendiri (self-discipline).
Dalam praktiknya, puasa membentuk individu untuk hidup lebih "teratur" dan "beradab." Dengan mengikuti jadwal makan yang ditentukan dan menahan lapar, seseorang tidak hanya menjalankan ibadah tetapi juga secara tidak sadar menyesuaikan dirinya dengan norma sosial yang lebih luas. Inilah bagaimana kedisiplinan bekerja: melalui kebiasaan dan rutinitas yang akhirnya menjadi bagian dari identitas seseorang.
Moralitas dan Kontrol Sosial dalam Praktik Puasa
Di masyarakat, puasa sering dikaitkan dengan nilai moral. Mereka yang berpuasa dianggap lebih disiplin dan memiliki kontrol diri yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak. Lebih dari sekadar ibadah, puasa menjadi alat penilaian sosial---sebuah mekanisme yang menentukan siapa yang dianggap "baik" dan siapa yang kurang disiplin.
Menariknya, kepatuhan terhadap puasa tidak selalu berasal dari keyakinan pribadi, tetapi juga karena tekanan sosial. Tidak jarang, seseorang tetap berpuasa bukan hanya karena iman, tetapi juga agar tidak mendapat stigma negatif. Di sinilah puasa berfungsi sebagai alat kontrol sosial: individu menyesuaikan diri dengan norma, bukan semata-mata karena pilihan pribadi, melainkan juga karena harapan masyarakat terhadapnya.