Mohon tunggu...
Fauzan Jayadi
Fauzan Jayadi Mohon Tunggu... -

Wartawan Peminat Digital Imaging

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Akhir Materialisme dan Premanisme PRJ

7 Juni 2013   15:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:23 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1370594446666269210

KABAR akan dikembalikannya gelaran Pekan Raya Jakarta (PRJ) dari Jakarta International Expo (JIExpo) eks Bandara Kemayoran ke Monas merupakan angin segar bagi masyarakat Jakarta dan sekitarnya yang haus akan hiburan rakyat yang terjangkau. Ya. Terjangkau, baik dari aspek aksesibilitas atau kemudahan akses maupun aspek biaya. Seperti diketahui, PRJ yang dulu lebih populer dengan sebutan Djakarta Fair (DF) digelar kali pertama di Kawasan Monas tanggal 5 Juni hingga 20 Juli 1968 dan dibuka oleh Presiden Soeharto dengan melepas merpati pos. Idenya digagas oleh Ketua KADIN saat itu, Syamsudin Mangan yang lebih dikenal dengan nama Haji Mangan yang mengusulkan adanya satu pameran besar untuk meningkatkan pemasaran produksi dalam negeri yang kala itu sedang mulai bangkit pasca G30S/1965. Rupanya gagasan itu mendapat respon positif dari Gubernur DKI Ali Sadikin karena kebetulan Pemerintah DKI juga ingin membuat suatu pameran besar guna menyatukan berbagai "pasar malam" yang ketika itu masih menyebar di sejumlah wilayah Jakarta, seperti Pasar Malam Gambir yang tiap tahun berlangsung di bekas Lapangan Ikada (kini kawasan Monas). Karena kegigihan Syamsuddin Mangan, DF mendapat dukungan dari berbagai pihak. Sayang, sebelum melihat ide dan gagasannya terwujud, Haji Mangan keburu menghadap Yang Kuasa. Ia tak sempat menyaksikan DF 68 yang sukses besar dan mampu menyedot tidak kurang dari 1,4 juta pengunjung. Fantastis! Bahkan Presiden AS kala itu, Richard Nixon, yang sedang berkunjung ke Indonesia sempat mampir ke DF di tahun kedua, 1969. Penyelenggaraan Jakarta Fair dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, baik dari jumlah pengunjung maupun pesertanya. Pun isinya bermutasi dari sekedar pasar malam menjadi ajang pameran modern yang tidak hanya menampilkan produk dan kebudayaan khas Betawi tapi juga menjajakan berbagai produk. Sehingga areal yang dipakai mengalami peningkatan. Akhirnya pemerintah DKI memindahkan PRJ dari Kawasan Monas ke Arena PRJ Kemayoran. Meski lokasi PRJ di JIExpo lumayan jauh, dan akses kendaraan umum ke tempat pameran tersebut terbilang minim, toh penyelenggaraan even tahunan tersebut tetap dipertahankan hingga 20 tahun lebih. Mungkin ini lantaran masyarakat Jakarta yang haus akan hiburan rakyat, ditambah lagi kemampuan ekonomi masyarakat yang makin meningkat; mampu membeli kendaraan sendiri dan tak lagi tergantung pada angkutan umum. Tapi dari tahun ke tahun gelaran PRJ makin terasa mahal, tidak lagi hiburan murah buat rakyat kebanyakan. Makin berkembangnya sektor industri yang berminat terlibat di ajang ini untuk memasarkan produknya, mulai dari makanan hingga otomotif, dari perbankan hingga telekomunikasi, ditambah pengunjung yang tetap saja mengalir, dimanfaatkan benar oleh pihak-pihak tertentu untuk mengambil untung. Pengelola JIExpo, perusahaan swasta yang dengan menggratiskan pun sudah menangguk untung besar dari peserta pameran, dengan berbagai alasan memberlakukan tiket masuk yang dari tahun ke tahun terus meningkat. Untuk PRJ 2013 ini misalnya, JIExpo membanderol tiket Rp 30 ribu per pengunjung, naik Rp 5 ribu dari tahun sebelumnya. Padahal pada 2011 mereka baru menaikkan tiket dari Rp 15 ribu ke Rp 20 ribu, dan Rp 25 ribu untuk weekend. Celakanya komersialisasi PRJ oleh JIExpo ini diikuti oleh praktek premanisme yang tak mau menyia-nyiakan peluang untuk memeras pengunjung. Mulai dari penjual makanan-minuman yang menembak harga suka-suka, hingga tukang parkir yang meminta tarif tidak masuk akal. Rudi, salah seorang pengunjung, sebagaimana dikutip detikcom mengaku pernah membeli kerak telor di PRJ dan saat tiba waktunya membayar "ditembak" Rp 70 ribu. Belum habis kekagetannya, ketika mengambil motor titipannya ia dipaksa merogoh Rp 15 ribu!. Pengalaman serupa juga dialami Taufik, 28. Ia pernah harus membayar parkir Rp 60 ribu saat mengunjungi PRJ Kemayoran. "Padahal mau lihat-lihat saja, bukan mau beli," keluhnya. Karena itulah keduanya sangat antusias ketika mendengar Gubernur DKI Jokowi berencana mengembalikan PRJ dari JI-Expo alias Arena PRJ Kemayoran ke Monas. Tentu saja pengalaman 20 tahun lebih penggelaran PRJ di Kemayoran harus menjadi pembelajaran bagi Pemprov DKI agar kecenderungan materialisme dan premanisme serupa bisa dicegah dan diantisipasi sejak dini. Termasuk antisipasi kotor dan rusaknya fasilitas dari membludaknya pengunjung. Tapi setidaknya dengan mengembalikan lokasi penyelenggaraan PRJ atau Jakarta Fair ke Monas, akses masyarakat untuk bisa menyaksikan hiburan rakyat tersebut menjadi lebih mudah. Selain lebih dekat dan berada di tengah-tengah ibukota, mereka tidak perlu lagi takut kena "palak" dengan biaya parkir selangit. Sebab berbagai alternatif transportasi tersedia; mulai dari bus kota, Busway, hingga kereta rel listrik (KRL) yang makin nyaman dan menjangkau dari timur ke barat, dari selatan ke utara. (Fauzan J)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun