Mohon tunggu...
De' Iib
De' Iib Mohon Tunggu... -

Seorang pemuda, tertarik dengan desain grafis serta tulis menulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Antara Cinta dan Uang Saku

15 April 2013   14:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:09 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Cinta saya kepada Ibu lebih besar dari uang sakuku.” Kalimat ini terletak dalam surat ucapan terima kasih yang dibuat anak-anak kepada guru-gurunya dalam rangka hari guru. Sekilas kata-kata ini terdengar menggelikan, “Berapa, sih, uang saku anak-anak? Begitu murahnya cinta mereka kepada gurunya? Jika Anda berpikir seperti itu sebelumnya, coba pikirkan dan cermati sekali lagi. Apakah ada kebutuhan yang sangat besar di mata anak-anak selain uang saku dan waktu bermain mereka? Terlebih lagi ketika ekonomi keluarga begitu sulit sehingga uang saku mereka begitu kecilnya sehingga hanya cukup untuk membeli es lilin dan makanan kecil seharga kurang dari Rp. 1.000,00.

Apakah yang lebih berharga di mata anak-anak ketika mereka tinggal di pedalaman Kalimantan yang beriklim tropis, yang ketika udara panasnya begitu menyengat sehingga dapat membuat keringat terus menerus meleleh dari sekujur tubuh? Banyak orang Kalimantan yang memakai bedak dingin di wajah pada siang hari untuk mengurangi panas yang menyengat sehingga wajah mereka tampak seperti mengenakan masker putih kekuningan. Tetapi, tidak anak-anak itu. Mereka harus belajar di ruang-ruang kelas yang tidak berpendingin udara. Jangankan Air Conditioner seperti yang terdapat di ruang keals sekolah-sekolah di kota-kota besar, untuk kipas angin pun mereka tidak dapat merasakannya karena di sekolah tidak ada listrik.


Sekolah adalah perjuangan. Banyak dari mereka yang harus menyeberang sungai terlebih dahulu untuk ke sekolah. Terkadang mereka juga menempuh panas dan hujan di sampan kecil yang tidak beratap untuk pergi dan pulang sekolah. Terkadang mereka tidak beralas kaki atau hanya menggunakan sandal jepit usang. Maka, buku dan uang saku adalah kemewahan bagi mereka. Mereka tidak memiliki buku dan sehari-harinya harus mengandalkan meminjam buku di perpustakaan, yang itu pun tidak bisa dibawa pulang karena sekolah takut bukunya hilang atau rusak, mengingat medan yang mereka tempuh setiap harinya dan keterbatasan buku di sekolah. Uang saku mereka yang kecil jumlahnya itu, pada akhirnya benar-benar mereka manfaatkan untuk membasahi kerongkongan dan untuk mengganjal perut seadanya.

Akhirnya terlihat bahwa sebesar itulah cinta mereka kepada gurunya. Besar menurut mereka. Cinta yang sederhana, tetapi penuh dengan keikhlasan karena memang tidak banyak yang berharga dan bisa diberikan oleh mereka.

“Hari ini adalah hari Ibu Guru,” tulis salah seorang anak dalam puisinya yang dibuatnya dalam Hari Guru. Sungguh saya terharu membacanya. Ingin saya katakan kepada mereka “Hari ini hari milikmu, juga esok masih terbentang, wahai anakku.”

Saya berusaha membesarkan hati mereka dengan tetap tersenyum ceria. Saya menangis dalam hati. Maka, tidaklah mengejutkan jika akhirnya (kembali) saya temukan di sebuah bait puisi pendek, tulisan anak kelas 4 sebuah kritik berupa puisi yang teruntai cerdas. Dimulai dari huruf M.
“Mentalku sehat, kah? Mental Ibu?”

Menohok sekaligus menebas bahwa perilaku guru juga memengaruhi mental anak didiknya.

Saya membayangkan penerus-penerus Chairil Anwar. Genius-genius kecil dalam sastra. Berasal dari pedalaman Kalimantan. Mungkin anak didik saya bahkan bisa mendapatkan nobel sastra suatu hari nanti.

Mereka tetap tersenyum dan menyanyi riang. Setelah selesai pun mereka satu per satu menyalami guru-guru dan mengucapkan, “Selamat Hari Guru.” Dari mereka saya benar-benar belajar Not to sweat the small stuff. Dari mereka saya belajar arti give and forgiveness. Maka, tidak salah ketika seorang anak kelas 4 SD menulis dalam puisi singkatnya, sebait yang kembali membuat saya terkagum. “Dari guru saya banyak belajar, tetapi Ibu Guru juga banyak belajar dari saya.”

Penulis: Pengajar Muda (Diah Setiawaty)

Judul: Indonesia Mengajar

Tahun: 2011

Penerbit: Bentang

Ditulis ulang dengan sedikit penyederhanaan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun