Mohon tunggu...
Fauzan Ramadhan
Fauzan Ramadhan Mohon Tunggu... -

Menjadi diri sendiri yang asli dan seutuhnya @fauzanofmilan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Analisis Keterbelakangan Pendidikan di Papua Barat

16 Juni 2012   05:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:55 2286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.

Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.

Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.

Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.

1.2 Perumusan Masalah

1. Data BPS Mengenai Pendidikan di Papua Barat

2. Analisa Masalah Beserta Teori

BAB II

Pembahasan

2.1 Data BPS mengenai Pendidikan di Papua Barat

Pendidikan

Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (Pasal 6 UU No. 20 tahun 2003). Berdasarkan hasil SP2010, persentase penduduk 7-15 tahun yang belum/tidak sekolah sebesar 6,86 persen dan yang tidak sekolah lagi sebesar 5,00 persen.

Ukuran atau indikator untuk melihat kualitas sumber daya manusia (SDM) terkait dengan pendidikan antara lain pendidikan yang ditamatkan dan Angka Melek Huruf (AMH). Berdasarkan hasil SP2010, persentase penduduk 5 tahun yang berpendidikan minimal tamat SMP/Sederajat sebesar 46,48 persen, dan AMH penduduk berusia 15 tahun ke atas sebesar 91,96 persen yang berarti dari setiap 100 penduduk usia 15 tahun ke atas ada 92 orang yang melek huruf. Penduduk dikatakan melek huruf jika dapat membaca dan menulis huruf latin atau huruf lainnya.

Penduduk Usia Sekolah

Jumlah penduduk usia 7-12 tahun sebanyak 100 255 jiwa, 13-15 tahun 42 835 jiwa, 16-18 tahun 41 782 jiwa dan 19-24 tahun 90 254 jiwa.

Di perkotaan jumlah penduduk usia 7-12 tahun sebanyak 27 445 jiwa, 13-15 tahun 12 492 jiwa, 16-18 tahun 13 120 jiwa dan 19-24 tahun 28 696 jiwa. Di perdesaan jumlah penduduk usia 7-12 tahun sebanyak 72 810 jiwa, 13-15 tahun 30 343 jiwa, 16-18 tahun 28 662 jiwa dan 19-24 tahun 61 558 jiwa.

Jumlah penduduk perempuan usia 7-12 tahun sebanyak 48 120 jiwa, 13-15 tahun 20 546 jiwa, 16-18 tahun 20 052 jiwa dan 19-24 tahun 42 965 jiwa. Jumlah penduduk laki-laki usia 7-12 tahun sebanyak 52 135 jiwa, 13-15 tahun 22 289 jiwa, 16-18 tahun 21 730 jiwa dan 19-24 tahun 47 289 jiwa.

Angka Partisipasi Sekolah (APS)

Angka Partisipasi Sekolah (APS) menunjukkan besaran penduduk usia sekolah yang sedang bersekolah. APS merupakan ukuran daya serap, pemerataan dan akses terhadap pendidikan khususnya penduduk usia sekolah. APS 13-15 tahun sebesar 85,90 persen. Ini menunjukkan masih terdapat kelompok usia wajib belajar (13-15 tahun) sebesar 14,10 persen yang tidak bersekolah. APS 16-18 tahun sebesar 62,37 persen dan APS 19-24 tahun sebesar 20,07 persen.

APS di perdesaan lebih rendah dibandingkan perkotaan. Semakin tinggi kelompok umur semakin besar perbedaannya (gap). Di perdesaan APS 7-12 tahun sebesar 87,17 persen, APS 13-15 tahun 83,82 persen, APS 16-18 tahun 60,09 persen, APS 19-24 tahun sebesar 18,89 persen. Di perkotaan APS 7-12 tahun sebesar 94,21 persen, APS 13-15 tahun 90,95 persen, APS 16-18 tahun 67,30 persen dan APS 19-24 tahun sebesar 22,57 persen.

Pendidikan yang Ditamatkan

Kualitas SDM dapat dilihat dari pendidikan yang ditamatkan. Gerakan wajib belajar 9 tahun (1994) menargetkan pendidikan yang ditamatkan minimal tamat SMP. Persentase penduduk usia 5 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah sebesar 10,96 persen, tidak/belum tamat SD 21,18 persen, tamat SD/MI/sederajat 21,38 persen dan tamat SMP/MTs/sederajat sebesar 16,96 persen.

Kualitas SDM daerah perdesaan lebih rendah dibandingkan daerah perkotaan. Persentase penduduk uisa 5 tahun ke atas berpendidikan minimum tamat SMP/MTs/sederajat di perdesaan 40,29 persen lebih rendah dibandingkan perkotaan 60,82 persen. Pendidikan perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Persentase penduduk perempuan usia 5 tahun ke atas berpendidikan minimum tamat SMP/MTs/sederajat 42,57 persen lebih rendah dibandingkan laki-laki 49,94 persen.

Pendidikan yang tinggi merupakan salah satu tuntutan era globalisasi. Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar, merupakan modal dasar pembangunan bangsa. Modal dasar yang berkualitas merupakan tujuan utama pembangunan manusia Indonesia seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas serta berpendidikan tinggi adalah upaya mempersiapkan SDM yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global.

Berdasarkan hasil SP2010, penduduk Provinsi Papua Barat usia 5 tahun ke atas yang tamat SM/sederajat sebesar 22,94 persen, tamat DI/DII/DIII sebesar 2,18 persen, tamat DIV/S1 sebesar 4,15 persen dan tamat S2/S3 sebesar 0,25 persen.

Angka Melek Huruf (AMH)

Angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas sebesar 91,96 persen. AMH penduduk usia 15 tahun ke atas perempuan (89,58 persen) lebih rendah dibandingkan laki-laki (94,05 persen). AMH penduduk usia 15 tahun ke atas di daerah perdesaan (88,93 persen) lebih rendah dibandingkan daerah perkotaan (98,62 persen).

Rendahnya AMH penduduk usia 15 tahun ke atas disebabkan oleh rendahnya AMH penduduk usia 45 tahun ke atas. AMH penduduk usia 45 tahun ke atas sebesar 84,59 persen. AMH penduduk usia 45 tahun ke atas perempuan (79,68 persen) lebih rendah dibandingkan laki-laki (88,59 persen).

Jika dikaitkan dengan jumlah partisipasi penduduk untuk melanjutkan ke jenjang perkuliahan, berikut tabel perbandingannya dengan Provinsi yang partisipasi penduduknya tinggi untuk melanjutkan ke jenjang perkuliahan:

Provinsi

Jumlah Penduduk

Jumlah Mahasiswa Negeri

Jumlah Mahasiswa Swasta

DKI Jakarta

9.607.787

714.174

473.844

Papua Barat

760.855

3.876

9163

2.2 Analisa Masalah Beserta Teori

Berdasarkan data-data tersebut saya akan menganalisis untuk kemudian di input teori-teori yang diajarkan selama perkuliahan semester dua. Penggunaan teori modernisasi baru dirasakan yang paling tepat untuk dipakai pada study kasus ini.

Teori Modernisasi

Teori ini didasarkan pada dikotomi antara apa yang disebut modern dan apa yang disebut tradisional. Yang modern merupakan simbol dari kemajuan, pemikiran yang rasional, cara kerja yang efisien, dsb. Masyarakat modern dianggap sebagai ciri dari masyarakat di negara-negara industri maju. Sebaliknya yang tradisional merupakan masyarakat yang belum maju, ditandai oleh cara berpikir yang irrasional serta cara kerja yang tidak effisien. Ini merupakan ciri masyarakat pedesaan yang didasarkan pada usaha pertanian di negara-negara miskin.

Dengan demikian, faktor-faktor yang mendorong atau menghambat pembangunan harus dicari di dalam negara-negara itu sendiri, bukan diluar. Misalnya, kurangnya pendidikan pada pada sebagian besar penduduknya, adanya nilai-nilai lokal yang kurang menghargai kekayaan material, dan sebagainya. Faktor-faktor ini adalah faktor internal.

Landasan berpijak teori modernisasi baru yaitu:

1. Hasil kajian baru teori modernisasi ini sengaja menghindar untuk memperlakukan nilai-nilai tradisional dan modern sebagai dua perangkat sistem nilai yang secara total bertolak belakang.

2. Secara metodelogis, kajian baru ini juga berbeda. Hasil karya baru ini tidak lagi bersandar teguh pada analisa yang abstrak dan tipologi, tetapi lebih cenderung untuk memberikan perhatian yang seksama pada kasus-kasus nyata.

3. Sebagai akibat dari perhatiannya terhadap sejarah dan analisa kasus nyata, hasil kajian baru teori modernisasi tidak lagi memiliki anggapan tentang gerak satu arah pembangunanyang menjadikan Barat sebagai satu satunya model.

4. Hasil kajian baru teori modernisasi ini lebih memberikan perhatian pada faktor eksternal (lingkungan internasional) disbanding pada masa sebelumnya.

Hasil karya teori modernisasi telah bergerak kea rah yang lebih canggih, tidak lagi mengikuti arah yang ditempuh oleh modernisasi klasik. Setelah meninggalkan berbagai asumsi yang kurang mantap yang dimiliki oleh teori modernisasi klasik – seperti misalnya cirri lurus, gerak maju dan tak berbalik dari modernisasi, dan mencirikan nilai tradisional sebagai penghalang modernisasi. Namun di teori modernisasi baru, justru sebaliknya yaitu menganggap tradisional sebagai faktor positif pembangunan.

BAB III

Penutup

3.1 Kesimpulan

Dengan asumsi bahwa melalui teori modernisasi ini daerah-daerah yang tergolong terbelakang, dikarenakan adanya ketidakmerataan nantinya bisa mengembangkan diri dan melakukan kerja sama dengan daerah-daerah lainnya yang lebih maju. Dengan demikian pemberdayaan bisa dilakukan secara internal dan pemerataan akan tercapai sehingga menciptakan masyarakat yang sejahtera.

Daftar Pustaka

http://sp2010.bps.go.id/index.php/site?id=91&wilayah=Papua-Barat

Y.SO, Alvin dan Suwarsosno, Perubahan Sosial Dan Pembangunan, Jakarta: LP3S Indonesia, 1994

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun