Mohon tunggu...
Fauzan Fitrio
Fauzan Fitrio Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

seorang mahasiswa uin raden mas said surakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pokok-pokok Pemikiran tokoh Max Weber dan Herbert Lionel Adolphus Hart (H.L.A Hart)

29 Oktober 2024   13:07 Diperbarui: 29 Oktober 2024   13:07 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Max Weber

Maximilian Weber atau sering dikenal Max Weber lahir pada 21 april 1864 dan wafat pada 14 juni 1920. Weber adalah seorang ahli politik, ekonom, geografi, dan sosiolog dari Jerman yang dianggap sebagai salah satu pendiri awal dari Ilmu sosiologi dan Administrasi negara modern. Karya utamanya berhubungan dengan rasionalisasi dalam sosiologi agama dan pemerintahan, meski ia sering menulis tentang ekonomi.

Karyanya yang paling populer adalah esai yang berjudul Etika Protestan dan Semangat kapitalisme, yang mengawali penelitiannya tentang agama.

Weber berpendapat bahwa agama adalah salah satu alasan utama bagi perkembangan yang berbeda antara budaya Barat dan Timur. Dalam karyanya yang terkenal lainnya, Politics as a Vocations, Weber mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, sebuah definisi yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik Barat modern.

Pemikiran Max Weber

Karya Weber dalam sosiologi agama bermula dari esai Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme dan berlanjut dengan analisis agama Tiongkok: konfusianisme dan taoisme, Agama India: Sosiologi Hindu dan buddha, dan Yudhaisme Kuno. Karyanya tentang agama-agama lain terhenti setelah kematiannya secara mendadak pada tahun 1920 sehingga tidak dapat melanjutkan penelitiannya tentang Yudhaisme kuno dengan penelitian-penelitian tentang Mazmur, Kitab Yakub, Yahudi Talmudi, Kekristenan Awal, dan islam. Tiga tema utamanya adalah efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama, dan pembedaan karakteristik budaya barat. 

Ia melihat masyarakat modern bergerak dari tradisi menuju tindakan rasional, dengan birokrasi sebagai bentuk organisasi paling efisien meski bisa menjadi "kandang besi" yang membatasi kebebasan. Weber mengidentifikasi tiga tipe otoritas: tradisional, karismatik, dan rasional-legal. Dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, ia menjelaskan bahwa ajaran Protestan, terutama etos kerja dan hidup hemat, berperan penting dalam perkembangan kapitalisme. Weber juga memperkenalkan konsep verstehen, yaitu pemahaman makna subjektif di balik tindakan manusia. Ia menekankan bahwa rasionalisasi dalam masyarakat modern membuat hidup lebih logis namun kehilangan makna spiritual (disenchantment). 

Herbert Lionel Adolphus Hart (H.L.A Hart)

H.L.A. Hart (Herbert Lionel Adolphus Hart, 1907--1992) adalah seorang filsuf hukum Inggris dan salah satu tokoh utama dalam tradisi positivisme hukum. Pemikirannya berfokus pada hubungan antara hukum dan moralitas, serta struktur hukum modern. Dalam karyanya yang terkenal, The Concept of Law (1961), Hart berargumen bahwa hukum bukan hanya sekumpulan perintah (seperti yang dikatakan oleh Austin), tetapi terdiri dari aturan primer dan sekunder. 

Hart dikenal karena debatnya dengan Ronald Dworkin, yang mengkritik positivisme Hart dengan mengatakan bahwa prinsip-prinsip moral tidak dapat dipisahkan dari hukum. Pemikiran Hart masih sangat berpengaruh dalam filsafat hukum hingga saat ini.

Hart seorang filsuf hukum Britania yang pernah menjabat sebagai Profesor Yurisprudensi di Universitas Oxford dan kepala Kolese Brasenose, Oxford. Karyanya yang paling dikenal adalah The Concept of Law (1961; edisi ketiga, 2012), yang telah dipuji sebagai "karya mengenai filsafat hukum paling penting pada abad ke-20". Ia dianggap sebagai salah satu filsuf hukum paling terkemuka pada abad ke-20 bersama dengan Hans Kelsen. 

Karya H.L.A Hart 

Karya Hart yang paling dikenal adalah "Konsep Hukum" (bahasa Inggris: The Concept of Law) yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1961. Gagasan-gagasan terpenting dalam buku ini adalah:

1. Kritik terhadap teori John Austin bahwa hukum adalah perintah penguasa yang ditopang oleh ancaman hukuman.

2. Pemisahan antara peraturan primer dan sekunder. Peraturan primer mengatur perilaku (seperti hukum pidana), sementara sekunder berurusan dengan metode prosedural untuk menegakkan peraturan primer. Hart membagi peraturan sekunder menjadi tiga: 

1. Peraturan Pengakuan (Rule of recognition), peraturan yang dapat digunakan untuk mengetahui apa saja yang menjadi peraturan primer di masyarakat. Hart mengklaim bahwa konsep peraturan pengakuan merupakan perkembangan gagasan "Grundnorm" atau "norma dasar" Hans Kelsen.

2. Peraturan Perubahan (Rule of Change) peraturan mengenai pembuatan, pengubahan dan penghapusan peraturan primer

3. Peraturan Adjudikasi (Rule of Adjudication), peraturan yang mengidentifasi pelanggaran dan manjabarkan solusinya. 

Pemikiran Max Weber dan H.L.A Hert Dimasa Kini

Pemikiran Max Weber dan H.L.A. Hart tetap relevan hingga kini. Weber dengan analisisnya tentang birokrasi dan rasionalisasi membantu memahami bagaimana masyarakat modern terjebak dalam "kandang besi" efisiensi dan produktivitas, terlihat dalam budaya kerja masa kini. Hubungannya antara etos kerja dan kapitalisme juga masih tampak dalam fenomena seperti hustle culture. Sementara itu, teori hukum Hart tentang aturan primer dan sekunder masih digunakan untuk memahami bagaimana hukum bekerja dan diterapkan, terutama dalam krisis legitimasi atau konflik nilai-nilai sosial. Debatnya dengan Dworkin tentang hubungan hukum dan moralitas tetap penting dalam isu-isu seperti hak asasi manusia dan kebijakan publik. Meski sangat berpengaruh, tantangan baru seperti digitalisasi dan krisis sosial membutuhkan pemikiran yang melampaui teori mereka.

Perkembangan Hukum di Indonesia dalam Pemikiran Max Weber dan H.L.A Hert 

Perkembangan hukum di Indonesia dapat dianalisis melalui pemikiran Max Weber dan H.L.A. Hart. Menurut Weber, Indonesia sedang mengalami rasionalisasi, di mana hukum formal mulai menggantikan hukum adat dan tradisi. Namun, birokrasi yang diperlukan untuk mengelola hukum sering terjebak dalam inefisiensi dan korupsi, mencerminkan "kandang besi" Weber. Dari sudut pandang Hart, hukum Indonesia terdiri dari aturan primer seperti KUHP dan aturan sekunder seperti mekanisme pembentukan undang-undang. Tantangan muncul ketika terjadi tumpang tindih antara hukum pusat, daerah, dan adat, yang memunculkan krisis legitimasi. Selain itu, perdebatan tentang apakah hukum harus sepenuhnya rasional atau juga mencerminkan nilai moral masih terlihat dalam isu-isu seperti UU ITE dan KUHP baru. Hukum Indonesia terus berkembang dengan mencoba menyeimbangkan modernitas dan tradisi, tetapi masih menghadapi banyak tantangan.

H.L.A Hart
H.L.A Hart

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun