Begitulah sebuah kalimat sarkastik yang saya ingat hingga detik ini yang keluar dari lisan ayah saya. Masih terngiang-ngiang. Bukan karena tanpa alasan, tapi karena memang sudah di ambang kehancuran. Tinggal mau menyikapi seperti apa, masa bodoh atau tersindir, silahkan. Mungkin terasa kurang ajar, tapi menurut saya lebih mengarah kepada sesuatu bersifat "lebih ajar".
Suatu pagi kala itu, seperti biasa saya bangun pagi bersiap menyambut hari. Bangun, sembahyang, mandi, sarapan, berangkat sekolah. Tak lupa mohon restu ayah ibu, diakhiri dengan mencium adik perempuanku yang masih kecil berumur 8 tahun. Setiap langkahku menuju sekolah, selalu terbitlah terang harapan ayah ibuku agar terang masa depanku dengan pendidikan, walau dalam keadaan ekonomi "menengah ke bawah" menurut ujaran kaum borjuis.
Pulang sore, realita hidup anak SMA. Kulempar tasku di dekat lemari baju, tak peduli. Lemparkan saja. Kubantingkan diriku ke daratan kapuk, tengkurap. Baru saja kupejamkan mata untuk istirahat sejenak, tiba-tiba...
"Kecewa saya, kecewa!! Sudahlah, kamu udah ga usah ke sana lagi...!!!"
Diikuti suara tangisan, oh itu ayah dan adikku. Tangis adikku terbit saat mendengar poin "ga usah ke sana lagi". Marah bercampur kecewa dan kesal. Marah bukan tanpa alasan, tapi ini marah objektif.
"Lah? Menur kenapa?" tanyaku. Ya, Menur adalah nama adikku.
Ayahku terdiam, tapi matanya masih menghunus ke arah adikku. Adikku salah apa?
"Udah serius belajar, malah ga dipedulikan. Akhirnya adikmu ini main. Wajarlah masih kecil. Tapi lihatlah mereka itu! Apa? Menur nangis dinakali, malah masih aja matanya melotot HP-nya! Kau lihat itu, percuma ada kelompok belajar sore, yang katanya biar anak sini biar cerdas semua. Tapi apa yang ayah lihat  pas pulang tadi?! Jenazah jiwa seorang guru!! Masya Allah!!"
Kaget aku mendengarnya. Rupanya saat ayah pulang dari merumput, beliau melewati rumah tempat kelompok belajar sore dan mendapati adikku ini menangis. Ditanyai kenapa, dan sabarlah ayahku karena memaklumi. Tapi saat melihat gurunya yang asyik melototi HP dan ngobrol dengan teman seprofesinya di tempat itu. Ayahku langsung menarik adikku pulang.
"Gurumu sudah mati!! Gurumu, sudah, mati!!!"
Menggema dalam kepalaku dan membungkam mulutku. Aku ingin membantah ayahku yang sedang amuk itu, tapi tak bisa. Karena aku paham yang sebenarnya terjadi, dan sesalahnya terjadi. Yang bisa kupetik hari itu adalah, guru tak hanya sekedar mengajar dan memberikan angka bertinta hitam dan merah di kertas anak muridnya, namun juga memperhatikan anak muridnya dengan tulus. Ketulusan sejati tak mempedulikan seberapa banyak materi yang didapat, namun karena sudah memang kewajiban manusia untuk belajar dan mengajari sesamanya. Tak peduli muridnya masih anak-anak lugu atau sudah lansia, seorang guru harus utamakan ketulusan.