Mohon tunggu...
Fauzan Arya Daniswara
Fauzan Arya Daniswara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa Ilmu Politik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dilema Sistem Pemilu Proporsional Terbuka di Era Reformasi

10 Desember 2023   21:07 Diperbarui: 10 Desember 2023   21:07 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia adalah negara yang sangat beragam dan majemuk dengan populasi yang relatif padat yang berasal dari berbagai asal-usul. Untuk menjaga stabilitas di dalam Republik Indonesia, diperlukan pemerintahan yang cakap dan cerdik yang mencerminkan bangsa yang beragam baik dari segi ideologi maupun geografis. Pemilihan umum merupakan salah satu cara untuk memilih pemimpin di lembaga eksekutif dan legislatif yang akan menjadi wakil rakyat Indonesia. Sebagai sarana untuk mengembangkan demokrasi yang kuat di Indonesia pasca reformasi, pemilu berfungsi sebagai alat untuk menegakkan kedaulatan rakyat selain untuk memilih pemerintahan yang representatif. Syamsudin Haris menyatakan bahwa pemilu merupakan sarana pendidikan politik yang bersifat langsung, terbuka, massal, dan mendidik bagi masyarakat.


            Tentu saja, negara Indonesia masih dalam proses pertumbuhan dalam perjalanan panjangnya untuk menemukan gagasan yang paling sesuai dengan karakter uniknya dan kebutuhan dunia modern. Ruang yang cukup disediakan bagi warga negara untuk menyalurkan keinginan mereka melalui tatanan reformasi itu sendiri, yang berfungsi sebagai karpet merah bagi pengetahuan kolektif negara tentang hak-hak konstitusional. (Dengan kata lain, tidak seperti di masa lalu, ketika pemilihan umum hanya dianggap sebagai bentuk legitimasi semu), desain pemilihan umum sekarang ditangani dengan hati-hati. Setelah tiga puluh dua tahun partisipasi publik dilarang, semua partai politik berusaha keras untuk memanfaatkan kebebasan untuk mempengaruhi jalannya negara dan bangsa.

Dalam rangka menjaga kedaulatan rakyat dan demokrasi negara Indonesia, pemilu merupakan hal yang krusial. Pemilu yang baik harus mempertimbangkan sistem dan dampak dari sistem yang digunakan. Salah satu negara yang menggunakan sistem pemilu proporsional adalah Indonesia. Indonesia telah menyelenggarakan lima kali pemilihan umum pada tahun 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019 setelah memberlakukan reformasi demokrasi pada tahun 1998. Setiap pemilu memiliki keunikan tersendiri, dengan berbagai masalah yang muncul terkait peraturan, prosedur pemungutan suara, dan pelaksanaan teknologi. Setelah setiap pemilu, penilaian dilakukan untuk membuat kemajuan di masa depan. Dengan 48 partai politik yang ikut serta, pemilu 1999 menandai pemilu pertama setelah reformasi .

Selain itu, pemilu ini juga merupakan pemilihan kepala daerah secara langsung yang pertama kali dalam sejarah pemilu pasca reformasi di Indonesia. Ada dua variasi sistem proporsional yang telah digunakan Indonesia sejak tahun 1955: sistem terbuka dan sistem tertutup. Setelah beralih dari sistem proporsional tertutup ke sistem proporsional terbuka pada tahun 1998, Indonesia kini menggunakan sistem proporsional terbuka . berdasarkan ketentuan UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu Anggota DPR dan DPRD dan pemilu tahun 1999 berdasarkan ketentuan UU No. 3 Tahun 1999 yang menganut sistem pemilu proporsional terbuka terbatas, dimana penentuan calon terpilih berdasarkan pada nomor urut.
Sistem proporsional terbuka telah menjadi topik perdebatan yang hangat dalam konteks pemilihan umum. Meskipun sistem ini memberikan ruang lebih besar bagi partisipasi individu dalam politik, saya percaya bahwa kecenderungan personalisasi politik yang berlebihan dalam sistem ini dapat mengabaikan peran penting partai politik dalam adu gagasan yang substansial. Artikel opini ini akan mengeksplorasi pandangan pribadi saya mengenai masalah tersebut.Sistem pemilu dengan penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak ini pada gilirannya melahirkan sistem pemilu liberal yang menitikberatkan pada kekuatan individu calon dan menafikan peran partai politik.

Parpol hanya sekedar dijadikan alat dan kendaraan politik selebihnya kompetisi dalam pemilu terjadi antar individu calon. Padahal prinsip dasar sistem pemilu proporsional adalah mengutamakan peran parpol dan seharusnya kompetisi dalam sistem ini adalah kompetisi antar parpol. Sehingga tema kompetisi dalam kampanye adalah memperdebatkan ide, gagasan, visi, misi dan program parpol Menurut saya Sistem ini dapat memicu terjadinya politik uang karena biaya yang diperlukan untuk kampanye pribadi sangat besar, sehingga penentuan kandidat dapat ditentukan oleh elektabilitas, yang dapat mengabaikan kualitas dan integritas kandidat.

Penentuan calon terpilih ditentukan langsung oleh elektabilitas, sehingga kader-kader yang kurang populer tetapi memiliki integritas tinggi cenderung tenggelam, dan pemilih tidak dapat mengontrol wakil legislatif dari partai politik yang dipilihnya. Hal ini memicu personalisasi politik yang berlebihan, di mana pemilih cenderung lebih fokus pada sosok individu daripada pada partai politik dan gagasan yang mereka usung. Akibatnya, partai politik menjadi kurang relevan dalam kontestasi pemilu, dan visi partai serta platform politik yang seharusnya menjadi perhatian utama terabaikan.

Personalisasi politik yang berlebihan juga dapat mengarah pada politik yang bersifat populis, di mana keputusan dan tindakan politik didasarkan pada popularitas individu daripada pada pertimbangan kebijakan yang lebih luas dan berkelanjutan. Masyarakat perlu lebih mawas diri dalam mengetahui kredibilitas bakal calon legislative yang bertarung dikontestasi pemilu , sebab dengan pemilih yang bijak dapat menciptakan suatu tatanan bangsa yang kuat
Perkembangan media dan teknologi komunikasi telah memainkan peran besar dalam memperkuat personalisasi politik. Media sosial dan platform digital memungkinkan kandidat untuk membangun citra pribadi mereka secara langsung kepada pemilih, tanpa harus melalui filter atau kendali partai politik. Hal ini membuka peluang bagi kandidat untuk memanfaatkan narasi pribadi mereka dan mengabaikan isu-isu politik yang lebih luas.

Masyarakat perlu memahami pentingnya melihat kredibilitas dan rekam jejak bakal calon legislatif sebelum memilih mereka. Kepemimpinan yang kuat dan berkelanjutan membutuhkan pemimpin yang memiliki pemahaman yang mendalam tentang isu-isu politik yang kompleks dan mampu menghasilkan kebijakan yang berdampak positif bagi masyarakat secara keseluruhan.

Dalam era media sosial dan platform digital, penting bagi masyarakat untuk menjadi pemilih yang cerdas dan kritis. Masyarakat harus melihat melampaui narasi pribadi kandidat dan melakukan riset mandiri tentang pandangan politik mereka, rekam jejak mereka, dan kebijakan yang mereka usulkan. Dengan pemilih yang bijak, masyarakat dapat mencegah manipulasi politik yang didasarkan pada popularitas semata dan membangun fondasi politik yang kuat untuk negara yang lebih baik


Catatan kaki
Pratiwi, D. A. (2018). Sistem Pemilu Proporsional Daftar Terbuka di Indonesia: Melahirkan Korupsi Politik?. Jurnal Trias Politika, 2(1), 13-28.
Katili, Y., & Latuda, F. (2022). Sistem Pemilu Proporsional Tertutup Dalam Analisis Pemilu 2024. Jurnal Analisis Sosial Politik
Riwanto, A. (2015). Korelasi pengaturan sistem pemilu proporsional terbuka berbasis suara terbanyak dengan korupsi politik di Indonesia. Yustisia Jurnal Hukum, 4(1), 89-102.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun