Fauzanahmadud - Suasana rumah sakit, seketika sunyi. Keluarga pak zali sebagian masih diluar menjaga Mares, sebagian lagi pulang karena harus menjaga rumah. Mares mencoba memejamkan mata. Cintya merebahkan kepalanya di dada mares. Dalam lirih ia berkata, "Kau bukan hanya paman bagiku, tapi juga teman berbagi yang luar biasa. Aku ingin engkau sembuh, bila perlu, biarlah aku yang menanggung deritamu dan mengambil semua sakitmu." Perlahan Mares membuka matanya. Ia mendengar rintihan cintya. Tangannya meraih dan mengusap kepala cintya. "Anak bodoh, kau tidak boleh meminta itu untuk dirimu. Sakitku hanya sebentar. Dalam waktu singkat semuanya akan hilang selamanya." "Dan selamanya pula dirimu hilang dari kami, itu maksudmu paman..?!" Cintya menghadapkan mukanya ke arah mares. Matanya berkaca-kaca. Senyuman menanggapi terlukis dari bibir mares yang beku. "Kau tahu, sakitku ini adalah obat bagi semua orang yang sedang bahagia, termasuk dirimu." "Tidak paman, kami tidak akan bahagia tanpamu. Jangan pergi, karena ketika aku menikah nanti kaulah yang menjadi pendampingku. Itu janjimu paman." "Hahaha..aku takkan lupa akan hal itu anak kecil. Aku akan memberikanmu rumah cantik yang indah dihari itu." "Kau  harus membayarnya paman, tidak ada kebohongan diantara kita ingat itu..?! Ujar cintya dengan memberi isyarat pada mares." "Ya..ya..aku akan memberikannya untukmu. Itu janjiku" Mares terus membelai rambut cintya.
Dari luar jendela kaca, rada, bu tarsih dan pak zali merasa terenyuh mendengar percakapan mereka. Air mata mereka masing-masing tak tertahankan. Mereka sadar bahwa umur mares hanya menunggu waktu. "Rada pergilah kesana, dampingi cintya dan katakan pada mares, dia harus bangkit untuk kita." "Bu, dia memang keras kepala, hanya cintya yang bisa dekat dengannya. Jika sudah begini, dirinya tak mau diganggu." Rada menangis sejadi-jadinya. Kenapa-kenapa..?! Ungkap hati rada menghiba. "Hentikan tangismu, ia akan terganggu didalam sana." Ujar pak zali. "Maaf pak, aku terlalu bersedih untuk mares". "Bapak lihat, dirimu terlalu perhatian dan sayang sekali terhadapnya. Kau mencintainya nak?" "Tapi dia tak mencintaiku pak. Kata rada memotong." Rada memeluk bapaknya dan menumpahkan tangisnya yang sedari tadi tak berhenti. "Semua ini rahasia nak, kita do'akan yang terbaik untuk mares. Semoga ada keajaiban nantinya." Rada mengangguk penuh harapan.
Seketika seorang dokter memanggil keluarga mares yang langsung diiyakan oleh pak zali. Dengan perlahan dokter itu berkata, "seperti yang kita ketahui sebelumnya, kami sudah berusaha yang terbaik dan ini adalah rumah sakit terbaik di Jakarta ini. Tolong jaga saja dia dalam dua atau tiga hari ini. Berdo'a dan tetaplah meminta agar Tuhan memberikan keajaibannya. Saya pamit pak." Ujar dokter tersebut. Gemetar seluruh tubuh pak zali dan ibu tarsih mendengarnya. Tuhan, jika kau harus mengambil dia, bawalah dengan kasih sayangmu yang agung, kami telah ikhlas. Jika ada kesembuhan untuknya, nyatakanlah rahmat dan kuasamu. Demikian membatin pak zali penuh harap kepada Tuhan. Ia membalikkan wajahnya menatap mares yang terkapar lemah dengan pucatnya wajah. Air matanya tak kuasa lagi ditahan dan jatuh bercucuran.
Mares memperhatikan gelagat dan situasi mereka diluar sana. Ia meminta cintya untuk menyuruh mereka masuk. Dengan sigap, pak zali, istrinya dan rada berpura-pura tak terjadi apa-apa. "Kenapa kalian tidak pulang, bukankah kalian harus membuka restoran. Nanti pelanggan kita pada lari. Usaha kita bisa bangkrut." Dengan menempelkan kedua tangan didada, pak zali memohon. "Untuk saat ini biarlah kami menemanimu disini mares. Masih ada yang lain yang bisa mengurusnya." "Tapi aku baik-baik saja pak. Heee.. Rada, bawalah ayah dan ibumu pulang, mereka sudah tua, mereka butuh istirahat." Rada hanya diam dengan air mata. Ia tak mampu menjawab pertanyaan itu. "Ah, sudahlah jika kalian bersikeras menungguku, terserah saja. Tapi kamu rada, awas kalau aku sudah sembuh, aku akan menghukummu." Rada hanya mengiyakan dengan wajah penuh kesedihan. "Keluarlah, ruangan ini terasa panas, maaf bukan aku mengusir. Biarlah anak kecil ini saja bersamaku." Tangan mares memeluk cintya. "Kami akan keluar, kau istirahat saja ya." Kata pak zali sambil melangkahkan kaki.
"Kau lihat, mereka seperti anak kecil menjagaku. Padahal aku sudah dewasa, apalagi aku akan segera sembuh dan bekerja bersama kalian lagi. Benarkan anak kecil." Cintya hanya tersenyum dan memeluk mares. "Paman istirahat dulu ya, saran dokter harus banyak tidur, karena paman sang lelah." "Tidak nak, aku harus kuat karena aku akan membelikanmu rumah di pesta pernikahanmu nanti." Lalu mares menceritakan keinginan besarnya untuk membeli rumah buat cintya. Ia jelaskan dengan teliti bagaimana caranya ia mendapatkan uang nanti. "Sekarang kau percaya padaku bukan." Cintya tersenyum bangga mendengarnya. "Anak kecil, tubuhku mulai lemah dan ringan, mataku sudah berat dan redup. Sepertinya aku memang harus istirahat." "Paman jangan pergi.." Isak tangis cintya mulai bergetar keras. Orang-orang diluar mulai risau dan masuk ke dalam ruangan. Tiba-tiba mata mares terbuka, ia kaget semua orang masuk ke dalam. "Keluarlah, AC ruangan ini tak mampu menahan panas dari banyaknya orang disini." "Baik-baik, maafkan kami, kami pikir tadi cintya butuh sesuatu." Marespun menggelengkan kepalanya. Namun hatinya tahu, kalau mereka begitu khawatir. Terimakasih untuk kalian semua. Kali ini kepergianku tak mungkin tertunda, batin mares.
"Nah anak kecil, selimuti aku, aku mulai terasa dingin dengan AC ini." Cintya mengikuti permintaan mares. Menyelimutinya dengan rapi. "Kau tahu nak, pandangan mata ini telah kelam, itu artinya aku betul-betul harus istirahat. Kau jangan berteriak lagi yah, nanti mereka membangunkanku lagi." Cintya mengangguk dengan perasaan tak tentu. "Ouh.. Sungguh indah cahaya malam ini, jalannyapun begitu terang." Perlahan mata mares terpejam, nafasnya mulai turun naik. Bibirnya berkata dengan suara pelan, "aku telah bahagia dan aku membawa kebahagiaanku ini ditempatku yang baru. Ingatlah aku dalam setiap waktu kalian. Jangan lagi saling membenci, bersatulah untuk saling mencintai dan mengasihi." Cintya mendengarkan dengan tangis yang tak tertahan. Ia berusaha agar tangisnya tak kedengaran. Lalu.."adek kecil, aku pergi untuk membuatkan rumahmu, agar nanti kau bahagia bersama suamimu..
Pergi yah..bahagialah semuanya." Perlahan jemari yang tergenggam erat ditangan cintya, dingin membeku. Cintya segera memeriksa nafas mares dan denyut nadinya. Semua berhenti, tiada lagi dan sedingin salju. Hati cintya bergetar keras, mulutnya tak kuasa lagi menahan. "Pamaaaaannn... Kembali, jangan pergi..pamaann.."
Seketika mereka yang diluar sana merangsek masuk dan memeriksa keadaan mares. Memanggil dokter dan meminta memeriksanya. Setelah mendengar keterangan dokter mereka baru percaya bahwa mares telah tiada. Sedangkan cintya seperti orang gila mendengarnya. Di pintu depan, rada tak mampu bicara, ia jatuh pingsan melihat mares yang telah terbujur tanpa desahan suara dan takkan pernah lagi menyapa..
Bersambung..
Oleh: Yurmartin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H