Mohon tunggu...
Ahmad Fauzan
Ahmad Fauzan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Diam Tertindas atau Bangkit Melawan

Bila yakin, berusaha dan mencoba tak ada yang tak mungkin.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

𝗗 𝗜 𝗔 (𝘒𝘦𝘥𝘦𝘬𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘚𝘦𝘴𝘢𝘢𝘵 1)

4 Mei 2022   12:41 Diperbarui: 4 Mei 2022   12:43 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fauzanahmadud - Di dalam sebuah rumah yang tidak terlalu besar, dengan halaman yang menarik hati, dihiasi berbagai macam bunga disetiap sudutnya. Lampu-lampu terang menyala menyelimuti suasana dari depan hingga belakang rumah itu. Di dalam rumah, satu keluarga besar berkumpul dengan sukacita. Semuanya saat ini tengah tertawa bahagia.

Ternyata, badai yang begitu besar telah berlalu walaupun dengan perlahan. Sekarang keluarga ini bisa berkumpul dengan kedamaian hati dan berangkulan seperti semula lagi. Aku tidak mengerti, mengapa menjadikan diri ini orang yang membuka ruang untuk mereka yang terjebak dalam kesombongan tahta dan status sosial bahkan pada perbudakan dunia yang tiada henti.
Cinta, yah cinta, telah membuat semuanya berubah. Kegigihan seorang Cintya, seorang anak yang beranjak dewasa telah melibatkan aku dalam pergulatan keluarga besarnya yang penuh perangkap dosa dan hilangnya rasa kasih sayang di dalam keluarga. Bahkan usaha restoran yang mereka rintis, telah berubah menjadi simbolik keangkuhan dalam pertalian darah. Angkuh, sombong dan merendahkan adalah hal biasa didiri keluarga mereka. Bahkan mereka semua tidak segan untuk saling berbuat menjatuhkan satu dengan lainnya. Umpama Drupadi yang mempertahankan keluarga kecil Hastinapura yang terbuang, cintya telah memainkan perannya sebagai sosok yang selalu tegar dalam menghadapi suasana tak bernyawa di dalam keluarganya. Dia memintaku untuk membantunya mengembalikan marwah keharuman bunga keluarga, dimana aku sendiri bukanlah bagian utama keluarga itu, bahkan hanyalah orang terbuang yang singgah sementara, dan akan pergi pada waktunya tiba.
Di teras luas belakang rumah yang penuh dengan tanaman bumbu dapur yang sengaja ditanam keluarga ini, terlihat seorang ibu sedang tersenyum bahagia memperhatikan tanamannya tumbuh subur. Aku yang sedari tadi duduk dipojokan, hanya bisa melihat kebahagiaan dari wajahnya yang mulai tampak kerutan tua. Ibu itu bernama Tarsih dan dia menghampiriku. "Sendirian nak?" Kaya beliau kepadaku. "Hanya sedang melepaskan lelah bu, soalnya di dalam rame dan aku sedikit kepanasan." Jawabku lantang. "Sungguh, kami sekeluarga besar belum pernah seperti ini. Baru kali ini kami merasakan hidupnya kebersamaan yang mengikat sebagai sebuah keluarga." Terang bu tarsih dengan lepas. "Semua karena kita pasrah dan mau berubah menjemput rahmat Allah bu." Terangku. "Kami semua memang telah meninggalkan Tuhan dengan segala rahmat-Nya. Kami begitu egois dalam hidup. Kami sampah yang ingkar atas nikmat Allah selama ini." Tutur bu tarsih menyesali semua yang telah berlalu." "Ibu, sudahlah, ini semua ujian dari perjalanan hidup kita. Toh, tidak ada manusia yang sempurna dimuka bumi ini. Sekarang kalian telah bersatu dan saatnya membangun masa depan yang lebih baik dan lebih maju lagi atas nama keluarga besar ini." Bu tarsih memandang sangat dalam ke arah mares. "Kau telah memberi kami hari-hari yang berkesan, menghancurkan hati kami yang keras bak batu karang. sekaligus menaikkan nilai kemanusiaan kami menjadi berkelas." Ucap ibu tarsih yang baru saja sembuh dari sakitnya ini. "Aaahh.. Ibu... Tak sepatutnya ibu bicara seperti itu kepadaku." Ujar mares mengalihkan pandangannya." Di sisi lain, cintya juga sudah hadir di belakang mares sambil berucap, "Dirimu dewa penolong keluarga ini. Kau adalah Krishna yang selalu mampu memberi warna haru nan anggun dalam setiap persoalan yang nyaris tanpa solusi. Engkaulah peanah kemuliaan yang memberikan kehangatan tanpa harus menghancurkan."
" Heeeiii.. Cintya sudah dari tadi berdiri di belakangku." Tanya mares sambil meraih tangan cintya dengan lembut. "Sini duduklah bersamaku." Bu tarsih langsung menjawab "Iya nak, dari tadi sebenarnya cintya sudah dibelakangmu, hanya ibu yang berkeliling melihat tanaman. Dari tadi juga ibu menatap dirimu dengan sorot tajam matamu yang terarah."
"Aaah, ibu terlalu jauh melihatku, nanti akan berlebihan dengan memujiku." "Tidak nak, kaulah terang itu, ditempat, dimana sama sekali kau tidak mengenal lingkunganmu. Kau mendekap erat kami, seperti engkau bagian yang tak terpisahkan lagi. Kau meluangkan banyak waktu hanya untuk semua orang disini. Siapa teman yang menjadi sahabatmu sesungguhnya nak..?!dalam kehidupan ini semua orang memiliki makna dari langkah yang diambil nak. Tapi kau, kau memberikan makna hidupmu untuk kami yang sedari awal bukan keluargamu apalagi sahabatmu..?! Ibu tarsih menangis dan memelukku.
Hatiku haru dan air mataku berlinang membahasahi pipi dalam tangisan orang tua yang selama ini telah kuanggap sebagai ibuku. "Bu, seperti katamu, setiap orang memiliki makna sendiri dalam hidupnya." Mares memeluk cintya dan memandangi wajah ibu tarsih dengan dalam. "Begitu juga aku bu, inilah aku dengan apa yang telah kulakukan sampai dengan hari ini. Kita semua bisa bahagia itu saja." "Tapi nak, dimana kebahagiaanmu. Ibu tak melihatnya..?!" Dengan tenang dan santai, bibirku berkata, "disini bu, didalam hatiku yang selalu kusandarkan erat dalam pelukan." Kuperlihatkan jariku menunjuk kearah dadaku. "Kau nak.." Kembali ibu tarsih memelukku dalam tangisan yang dalam. Begitu juga cintya yang tak mampu menahan air matanya berguguran. Dalam pelukan itu pula ibu tarsih berkata, "tetaplah bersama kami, untuk berbagi kebahagiaan ini." "Iya bu, iya, aku pasti akan bersama kalian semuanya." Jawabku untuk membuatnya tenang. Padahal yang sesungguhnya, aku harus meninggalkan mereka, yah semuanya harus aku tinggalkan.

Keadaan haru yang terjadi denganku, cintya dan ibu tarsih hari ini membuat seseorang mendekati kami dan melihat betapa harap seorang ibu telah membuatnya menjadi tahu akan sesuatu.
"Kau, ternyata aktor utama dibalik berseminya pelangi dikeluarga besar kami". Aku dan ibu tarsih terkejut mendengar suara yang memang sudah kami kenal.
"Rada, kau disini nak, kenapa tidak bersama mereka untuk minum." Kata bu tarsih ramah. "Tidak bu, aku mencari mares untuk mengajaknya makan malam bersama, tapi ternyata dia disini bersamamu dan cintya. Ucap rada dengan nada bergetar. "Kamu kenapa rada..?!" Tanya bu tarsih memegang pundak rada. "Kenapa kalian menyembunyikan ini semua dariku..?!" Aku dan bu tarsih hanya bisa berpandangan. Cintya menunduk dalam pelukan mares. "Apa yang kamu bicarakan nak, sembunyikan apa..?!" Tanya bu tarsih lagi. Dihalaman belakang saat ini, cuma ada kami berempat dengan lampu neon panjang yang sinarnya begitu terang. Dirumah yang cukup besar ini memang terdapat ruang belakang yang indah. Disini dihalaman belakang ini memang tempat yang nyaman untuk bercengkrama dan memenangkan hati.
Saat ini mata rada berkaca, air matanya mulai menetes. "Kalau saja aku tahu dirimu yang sebatang kara ini berkorban untuk kami yang angkuh dalam hidup ini, tentu aku akan lebih berkorban untuk ini semua." Ucap rada dengan perasaan tak menentu. Mares hanya melempar pandangan. Hatinya berkata, aku, aku tak tahu harus berkata apa kepada rada, yang telah mengetahui dan mendengar semua ini. "Rada.. Ibu juga baru memahami semua ini setelah ibu melihat mares memeluk cintya di malam hari ketika semua hutang dan keterpurukan kita selesai di bank dan ditangan makelar penipu. Mereka juga mengucapkan selamat atas kerjasama dan rahasia kita selama ini. Akhirnya Ibu mendesak cintya dan ia menceritakan semuanya kepada ibu."
Rada semakin tak mampu menahan air matanya. Ia yang dahulu selalu menyakiti dan berprasangka buruk kepada cintya, ternyata dia dan mares yang membuat semuanya kembali indah.
"Maafkan aku, biarkanlah aku membayar semua ini dan menjadi orang paling awal yang akan berdosa jika tidak kau maafkan. Kakinya gemetar melangkah menghadap mares dan cintya.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, aku memang numpang disini. Tapi cintya tidak, dia adek sepupumu, dia amat sangat menyayangimu. Dia yakin, kau akan berubah dan itu terbukti sekarang." Ujar mares dengan gamblang.
"Tapi pengorbanan kalian untuk keluarga besar ini, melebihi emas di puncak gunung, mengalahkan mutiara dilautan dan mengalahkan harta karunnya Fir'aun yang tersembunyi di dalam tanah. Kami telah kehilangan akal sehat, harga diri dan tidak memiliki muka lagi. "Rada menangis dan mengangkat kedua tangannya dengan memohon. " Tidak rada, kalian semua orang baik. Apa yang telah terjadi hanya kabut kecil yang bisa menimpa siapa saja. Lupakanlah karena tidak ada manusia sempurna." Air mata itu akhirnya jatuh juga di pipi mares.
"Nak... Ulurkan tanganmu, genggamlah permohonan rada. Ia terpukul akan semua kesaksian bisu yang menyentak batinnya. Cintya bimbing kakakmu nak." Cintya hanya menggerakkan tubuhnya, meraih rada yang terlalu merasa bersalah. "Tidak ada yang diperlukan untuk meminta maaf Bu, kita hanya berusaha menjadi manusia yang berbakti. Bukan manusia yang minta dipuji. Saat ini, aku ingin menikmati kesendirianku bu, rada."
"Kau hebat res, dengan semua penderitaan yang kau tanggung. Sebagai keluarga terhormat diluar sana, aku malu dan kami semua malu. Tolong, jangan tinggalkan kami. Kami membutuhkan cinta kasih yang tertanam dari rasa kemanusiaan yang tinggi darimu.
"Rada, semua orang bisa melakukan itu, hanya kesempatan saja yang menentukannya. Jalanku sudah ditentukan dan aku harus melangkah menemui masa depan dengan takdirku sendiri."
Mares melangkah meninggalkan rada, cintya dan bu tarsih dihalaman belakang."
Rada hanya mampu memandang tubuh gagah dan tinggi semampai itu berjalan meninggalkan mereka.

Diruangan besar sebuah rumah yang agak mewah, sekumpulan keluarga bernyanyi riang gembira. Mereka menggandeng tangan mares dan mengajaknya berdansa. Mares tahu, malam ini adalah malam terakhirnya. Ia pun larut dalam kegembiraan dan berpesta layaknya keluarga sendiri. Dalam hati mares berkata, "Tuhan, hidupku tak lama lagi. Aku tak ingin menyusahkan mereka dan membuat mereka membalas budi atas pertolonganku." Akhirnya, marespun tersenyum bahagia menyaksikan wajah-wajah ceria yang penuh sukacita, larut di dalam kebersamaan itu..

Bersambung...

Oleh: Y u r M a r T i n

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun