Teras yang Terlalu Sepi
Ramadan sudah sampai ke malam ke-28. Tapi langit dalam diri Raka belum juga terang. Ia duduk di teras rumahnya, ditemani secangkir air putih yang tak disentuh, dan angin malam yang terlalu lembut untuk menyapu kegelisahan.
Di masjid belakang rumah, suara imam masih terdengar merdu membacakan surah panjang di rakaat terakhir tarawih. Raka hanya mendengarkan dari kejauhan. Tahun ini, ia hanya datang ke masjid dua kali. Bukan karena lupa, bukan pula karena malas. Tapi karena hatinya tak lagi tahu harus menaruh rindu ke mana.
Dulu, ia bergetar saat sujud. Sekarang, ia hanya berusaha terlihat tenang di luar, meski bagian terdalam dirinya sibuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tak mudah dijawab. Ia tetap sholat, tetap puasa, tetap menyambut sahur. Tapi ada yang berbeda. Seperti orang yang ikut dalam pesta, tapi tak tahu lagi apa yang sedang dirayakan.
Ia tertawa kecil, getir. "Mungkin aku sedang mengalami fase spiritual puber dua," gumamnya. "Dulu semangat, sekarang... nyari makna yang lebih dalam."
Ponselnya berdering. Grup keluarga mengirim pengumuman: malam ini ada itikaf dan pembacaan khatam Al-Qur'an di masjid agung. Raka hanya melihat sekilas, lalu mengunci layar. Ia tidak merasa marah. Hanya merasa... belum waktunya ikut.
Di langit, bulan mulai redup. Ramadan akan segera pamit. Tapi di dalam dirinya, justru muncul rasa ingin tahu yang makin besar:
"Apa makna dari semua ini? Kenapa semakin aku belajar, semakin aku bingung? Dan kenapa Tuhan terasa makin jauh justru saat aku paling ingin dekat?"
Malam itu, ia tak menemukan jawabannya. Tapi ia tahu satu hal: pertanyaan itu tak datang dari kehampaan, tapi dari kerinduan. Dan kerinduan, bagi Raka, adalah bentuk paling jujur dari iman yang sedang tumbuh kembali.
Cinta, Siang Hari, dan Kesadaran yang Membelah
Siang hari ke-25 Ramadan. Matahari di luar menggantung seperti biasa, tak terlalu panas, tapi cukup membuat tubuh berkeringat ringan. Raka baru saja selesai menulis sesuatu di laptopnya---catatan renungan yang tak pernah ia unggah, hanya untuk dirinya sendiri. Ia memandangi jam di dinding: 13.35 WIB.
Di ruangan yang sepi itu, istrinya datang mendekat. Tatapannya lembut, tubuhnya harum. Tak ada kata, hanya pelukan yang perlahan menjadi lebih dari sekadar pelukan. Raka tak mendorong. Ia tak menolak. Ia membalas.
Yang terjadi selanjutnya tak mereka rencanakan, tak pula diniatkan. Tapi kenyataan adalah kenyataan. Di siang hari Ramadan, puasa mereka batal bukan oleh air, tapi oleh cinta yang sulit ditahan.
Bukan cinta yang liar. Tapi juga bukan cinta yang tepat waktu.