Pendahuluan
Pernahkah kamu merasa terjebak dalam pusaran doom scrolling? Tahu-tahu sudah satu jam berlalu, jempol tetap sibuk menggeser layar, dan yang kamu baca hanyalah berita negatif yang bikin kepala penuh, hati sumpek, dan pikiran makin kusut.
Fenomena ini bukan sekadar kebiasaan iseng di waktu luang, melainkan gejala rendahnya literasi di era digital yang semakin mengkhawatirkan.
Menurut survei yang dilakukan oleh Perpustakaan Nasional RI pada tahun 2020, indeks kegemaran membaca di Indonesia berada pada angka 55,74%.
Ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh penduduk Indonesia memiliki minat baca, meskipun masih perlu ditingkatkan (Perpustakaan Nasional RI, 2020).Â
Sementara itu, data dari UNESCO mencatat bahwa tingkat literasi dewasa di Indonesia mencapai 95,66% pada tahun 2020, mengacu pada kemampuan baca tulis, bukan minat baca (UNESCO Institute for Statistics, 2020).
Di sisi lain, hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 menunjukkan bahwa kemampuan membaca siswa Indonesia masih berada di bawah rata-rata internasional, dengan skor 371 dibandingkan rata-rata OECD sebesar 487 (OECD PISA, 2018).
Selain itu, World Culture Index 2018 menempatkan Indonesia di peringkat ke-17 dari 30 negara dalam hal kebiasaan membaca, yang mencakup buku, koran, dan media digital.
Tapi, apakah literasi hanya soal membaca? Tentu tidak. Literasi adalah kemampuan memahami, menginterpretasi, dan menganalisis informasi secara kritis.Â
Tanpa literasi yang kuat, kita mudah terjebak dalam arus informasi yang menyesatkan, gampang termakan hoaks, dan sulit membedakan mana opini, fakta, atau sekadar sensasi.
Artikel ini akan mengajakmu menelusuri lebih dalam tentang krisis literasi di era digital, mengapa kemampuan ini sangat penting, peran keluarga dan sekolah dalam membentuk budaya literasi, hingga solusi sederhana untuk meningkatkan minat baca.