Ketika Agama yang Harusnya Menenangkan Malah Membebani
Dulu saya pikir, kalau rajin ibadah, hidup pasti bahagia. Kenyataannya? Kok malah makin stres! Tiap hari overthinking dosa, takut siksa kubur, sampai mikir kalau kena sial pasti ini azab. Agama yang harusnya jadi sumber ketenangan, kok malah bikin dada sesak?
Ada masa di hidup saya di mana pemahaman agama terasa begitu berat. Segala sesuatu harus sesuai aturan yang kaku, kalau tidak, neraka menunggu. Bayangkan saja, setiap kesalahan kecil rasanya seperti vonis hukuman abadi. Saya menjalani ritual keagamaan, tetapi alih-alih merasa damai, justru ketegangan yang menguasai.
Seiring waktu, mental saya mulai terpengaruh. Kegelisahan, rasa bersalah, dan ketakutan terus menghantui. Saya bertanya dalam hati, "Apakah benar Tuhan ingin hamba-Nya hidup dalam ketakutan?" Seharusnya agama menjadi cahaya, bukan beban yang semakin memberatkan. Tapi saat itu, saya belum tahu bahwa ada cara lain dalam memahami Islam---cara yang lebih menyejukkan.
Lalu datang titik balik. Tahun 2019, ayah saya mengenalkan saya pada kajian Buya Syakur Yasin melalui kanal YouTube. Awalnya, saya skeptis. "Ah, paling ceramah biasa," pikir saya. Namun, semakin saya mendengarkan, semakin saya menyadari bahwa ada perspektif lain dalam memahami agama. Perspektif yang lebih dalam, lebih membebaskan, dan tidak hanya sekadar doktrin.
Seakan takdir mempertemukan saya dengan lebih banyak pencerahan, saya kemudian menemukan nama Dr. Muhammad Nursamad Kamba melalui bedah buku Sejarah Otentik Nabi Muhammad SAW karya Prof. Dr. Husain Mu'nis, yang diterjemahkan oleh beliau. Dari sana, saya semakin intens mendengar kajian dan pengajarannya tentang dunia tasawuf, hingga akhirnya saya membeli bukunya yang berjudul Kids Zaman Now: Menemukan Kembali Islam.
Namun, perjalanan ini bukan sekadar perubahan pemikiran. Ini adalah transformasi batin. Saya mengalami berbagai cobaan mental sepanjang 2020 hingga 2022. Naik turun. Terkadang merasa menemukan cahaya, terkadang jatuh dalam kebingungan. Baru di tahun 2023, saya benar-benar merasa bangkit dan mulai menemukan ketenangan spiritual yang sejati.
Sayangnya, saat saya semakin mendalami ajaran mereka, kabar duka datang. Baik Buya Syakur maupun Syeikh Nursamad Kamba telah berpulang. Mendengar berita kepergian mereka, saya tak bisa menahan air mata. Mereka adalah guru-guru yang tanpa saya sadari telah membimbing perjalanan saya menuju pemahaman Islam yang lebih damai. Namun, ilmu mereka tetap hidup. Pemikiran mereka menjadi cahaya yang terus menyala, menginspirasi pemahaman Islam yang lebih damai dan menyejukkan.
Saya tidak tahu bahwa perjalanan ini akan mengubah cara saya melihat agama. Tapi satu hal yang saya sadari: mungkin selama ini saya memahami Tuhan dengan cara yang salah.
Dari Ritual ke Kesadaran: Memahami Islam dengan Hati
Ketika kecil, saya diajarkan bahwa Islam itu sederet aturan: shalat lima waktu, puasa, zakat, dan berbagai kewajiban lain. Saya menurut, menjalankan semuanya seperti mesin yang diprogram dengan baik. Tapi ada satu pertanyaan yang selalu mengganggu: Apakah saya benar-benar memahami apa yang saya lakukan?