Mohon tunggu...
P.Aulia Rochman
P.Aulia Rochman Mohon Tunggu... Penulis - Petualang Kehidupan Dimensi Manusia yang diabadikan dalam https://theopenlearner333.blogspot.com/

I can't do anything, I don't know anything, and I am nobody.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Hati yang Terbuka: Jalan Sunyi Menuju Kedamaian di Tengah Hiruk Pikuk Modernitas

16 Januari 2025   06:26 Diperbarui: 16 Januari 2025   06:50 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: tafsiralquran.id

Pembukaan: Paradoks Kehidupan Modern

Made, seorang mantan eksekutif perusahaan sukses di Bali, menjalani kehidupan yang tampak sempurna: jabatan tinggi, gaji besar, dan status sosial yang dihormati. Namun, di balik gemerlap pencapaian tersebut, ia merasakan kehampaan dan tekanan yang terus menghimpit. Setiap hari, rutinitas pekerjaan yang menuntut dan ambisi materialistik membuatnya semakin jauh dari kedamaian batin.

Kisah Made mencerminkan dilema banyak individu di era modern. Dalam upaya mengejar kesuksesan materi dan logika rasional, seringkali kita mengabaikan suara hati dan kebutuhan spiritual. Fenomena ini terlihat dari meningkatnya popularitas meditasi, mindfulness, dan praktik spiritual lainnya di era digital sebagai respons terhadap kecemasan sosial dan tekanan hidup. Menurut sebuah artikel, banyak individu yang merasa hampa di tengah pencapaian materi, sehingga mencari keseimbangan hidup melalui yoga dan meditasi. 

Hal ini menimbulkan pertanyaan mendalam: Apa yang sebenarnya hilang dari hidup kita? Apakah mungkin, dalam hiruk pikuk modernitas, kita telah melupakan pentingnya mendengarkan dan membuka hati kita sendiri?

Membuka Hati: Konsep dan Esensinya

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan "membuka hati"? Dalam pemahaman filosofis dan spiritual, membuka hati adalah proses menyelaraskan diri dengan perasaan terdalam, menghilangkan penghalang seperti ego, prasangka, dan ketakutan. Hati menjadi pusat kesadaran, tempat intuisi dan koneksi spiritual bersemayam. Dalam tradisi tasawuf, hati diibaratkan sebagai cermin. Ketika bersih dari noda duniawi, hati dapat memantulkan kebenaran ilahi.

Budaya lokal Indonesia juga memiliki pendekatan unik terhadap konsep ini. Tradisi ngobrol ngalor-ngidul, yang sering dianggap remeh, sebenarnya mencerminkan cara alami masyarakat Indonesia mendengarkan hati dan menjalin empati. Nilai ketulusan, yang diajarkan melalui ungkapan seperti "ikhlas" dan "legowo," menunjukkan bagaimana membuka hati adalah kunci menjaga harmoni sosial dan spiritual. Tradisi ini memperlihatkan bahwa mendengarkan hati sering kali berarti mendengarkan orang lain dengan sepenuh jiwa.

Dalam konteks global, berbagai tradisi spiritual juga menekankan pentingnya membuka hati. Perspektif tasawuf melihat hati sebagai jembatan antara manusia dan Tuhan, sementara Zen Buddhisme mengajarkan pentingnya keheningan dan penerimaan sebagai jalan menuju kedamaian batin. Dalam psikologi positif, praktik seperti gratitude journal dan mindfulness terbukti mampu meningkatkan koneksi dengan emosi positif, yang merupakan bagian dari membuka hati.

Hazrat Inayat Khan, seorang tokoh spiritual, pernah berkata, "Hati adalah alat musik Tuhan; ketika selaras, ia memancarkan harmoni." Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya membersihkan hati dari "nada sumbang" seperti kebencian atau kecemasan. Membuka hati bukan hanya soal keberanian untuk merasa, tetapi juga komitmen untuk hidup dalam harmoni dengan diri sendiri, sesama, dan Tuhan.

Proses membuka hati ini menjadi sangat relevan di dunia modern yang sering mengabaikan dimensi emosional dan spiritual manusia. Dengan mempraktikkan tradisi dan kebijaksanaan lokal maupun global, kita dapat menemukan jalan kembali ke kedamaian batin.

Mengapa Membuka Hati Itu Relevan Saat Ini?

Di era modern ini, prevalensi gangguan kesehatan mental di Indonesia menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, lebih dari 19 juta penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta di antaranya menderita depresi. 

 Selain itu, survei Asia Care 2024 mengungkapkan bahwa 56% responden di Indonesia mengkhawatirkan stres dan burnout, sementara 20,7% lainnya khawatir mengalami depresi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun