Menggugah Rasa Ingin Tahu
Aulia, seorang wanita yang terlihat sempurna di mata orang lain, memiliki segalanya---karier yang cemerlang, keluarga harmonis, dan kebiasaan membaca Al-Qur'an setiap hari. Namun, di balik senyumannya, ada kegelisahan yang ia rasakan setiap kali selesai tilawah: "Mengapa aku tetap merasa kosong, meskipun aku sudah membaca firman Tuhan?"
"Dan janganlah kamu merasa lemah, dan janganlah pula bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman." (QS. Ali Imran: 139)
Pertanyaan itu mengusik hati kecilnya. Aulia mulai menyadari bahwa bacaan Al-Qur'annya hanya sebatas rutinitas, seperti tugas yang harus diselesaikan tanpa benar-benar dirasakan. Ia membaca kata demi kata, tetapi tidak ada makna yang tertinggal.
Bukankah kita sering kali seperti Aulia? Tilawah menjadi bagian dari rutinitas harian, tetapi tanpa ruh. Kita mungkin merasa cukup dengan membaca, tetapi apakah kita benar-benar menghadirkan hati?
Tilawah sejati lebih dari sekadar bacaan. Ini adalah perjalanan yang menghubungkan kita dengan Tuhan, sebuah pengalaman yang bisa mengubah hidup. Dan langkah pertama menuju perjalanan ini adalah belajar mengaji dengan hati, bukan sekadar mata.
Mengapa Tilawah Perlu Dihidupkan?
Di tengah kesibukan zaman modern, tilawah Al-Qur'an sering kali hanya menjadi ritual tambahan dalam rutinitas harian. Kita membaca ayat demi ayat, tetapi pikiran kita melayang ke pekerjaan yang belum selesai atau ponsel yang terus bergetar. Alhasil, bacaan itu tidak pernah benar-benar mencapai hati.
"Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur'an ini sesuatu yang diabaikan." (QS. Al-Furqan: 30)
Aulia merasakan hal ini. Meski rutin membaca Al-Qur'an, ia merasa ada yang hilang. Tidak ada getaran yang menggerakkan jiwanya, tidak ada pesan yang benar-benar tertanam dalam pikirannya. Ia bertanya-tanya, "Apakah ini cara membaca Al-Qur'an yang diinginkan Tuhan?"