Mohon tunggu...
Fauzan Hanafi
Fauzan Hanafi Mohon Tunggu... Guru -

Orang Yang Suka Berjabat Tangan dan Berkawan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ayo, Bahagiakan Tuhan dengan Kebersihan!

20 September 2016   13:17 Diperbarui: 20 September 2016   13:22 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Koleksi Pribadi

Sumber Daya Alam adalah bekal logistik yang diberikan oleh Tuhan bagi seluruh makhlukNya termasuk umat manusia untuk memenuhi segala kebutuhan selama menjalani kehidupan di atas dunia. Setelah mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan hidup tersebut, Tuhan kemudian menghadiahkan makhluk tersayangNya itu dengan suatu sarana untuk mengelola sebuah potensi yang tidak dimiliki oleh makhluk lain selain manusia, yakni Akal. Sebagai sebuah sarana, akal diharapkan dapat membantu manusia untuk mengelola kehidupannya dan segala pemberian Tuhan berupa Sumber Daya Alam tersebut secara baik, benar, dan bijak. Mengapa harus dikelola secara bijak? Sebab Sumber Daya Alam sebagai bekal logistik bukan hanya sebagai pemberian yang dapat dinikmati sendiri, akan tetapi juga sebagai amanahyang harus dirasakan manfaatnya oleh seluruh makhluk hidup yang “bertengger” di atas bumi, dan juga harus bermanfaat secara berkesinambungan.

Sumber Foto: Koleksi Pribadi
Sumber Foto: Koleksi Pribadi
Segala sesuatu yang berlabel amanah tentunya harus dijaga, begitu juga Sumber Daya Alam yang merupakan amanah dari sang pencipta, harus diberdayagunakan dengan sebaik-baiknya dan dirawat serta di jaga. Namun justru yang terjadi sebaliknya, Sumber Daya Alam dimanfaatkan seenaknya, kotor dan tidak terjaga. Hal tersebut menjadi cerminan pengkhianatan manusia terhadap  amanah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Pemurah.

Laut, Pantai, dan sungai bisa menjadi barometer bahwa manusia telah mencederai pemberian Ilahi. Berton-ton sampah menghuni latuan, sungai dan pantai yang ada di hampir seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akibatnya, seluruh potensi hewani yang ada hampir menghilang, berpindah entah kemana, membuat cemberut nelayan karena harus mengeluarkan ongkos lebih untuk mencari kemudian menangkapnya, membuat hilangnya senyum diwajah ibu-ibu rumah tangga karena harus membayar lebih mahal harga ikan yang menjadi lauk favorit suami dan anaknya.

Sampah bukan hanya membuat ikan di laut pergi jauh, dan ikan di sungai menghilang, akan tetapi memudarkan pesona bibir pantai yang seharusnya dapat dinikmati wisatawan. Bibir pantai seharusnya menjadi sumber pemasukan tambahan bagi masyarakat pesisir dari sector parawisata, namun kini sumber rezeki tersebut terancam menghilang, sebab wisatawan pergi ke tempat lain yang lebih bersih, karena salah satu alasan mereka datang mengunjungi suatu tempat adalah untuk menikmati keindahan. Dan apakah ada keindahan untuk dinikmati pada tumpukan sampah?

Sampah membuat kemurnian air ternodai, menyebabkan bibit-bibit penyakit yang dapat menjangkit manusia. Masyarakat-masyarakat yang tinggal di pinggir sungai dan bibir pantai yang kumuh sangat rentan terjangkit penyakit, sementara biaya pengobatan melambung selangit, mengharapkan bantuan pemerintah, membuat anggaran belanja Negara menjadi membengkak. Dan pada akhirnya, membebani diri sendiri akibat kebijakan Negara untuk menutup defisitnya, mendistribusikan atau membagi beban tersebut kepada seluruh warga Negaranya.

Ini salah siapa? Pertanyaan lumrah untuk mencari kambing hitam. Mari kita mulai dari perilaku diri sendiri sebelum menuding yang lain, sudah paantaskah kita mengelola alam sesuai kehendakNya, sudahkah kita menjaganya? Sudahkah kita merawatnya? Ataukah justru kita sendiri yang merusaknya? Kita yang menodai kemurnian air sungai, mengotori bibir pantai dan mencemari air laut? Kita sendiri yang mengusir ikan-ikan dan memproduksi penyakit.

Sungguh saat ini potensi alam yang diberkahi Tuhan kepada kita, tidak dikelola dengan menggunakan akal yang sehat. Padahal, bangsa Indonesia sebagai bangsa agraris dan maritim menggantungkan kehidupannya dari tanah, sungai, laut dan pantai. Bukankah perusakan dan mengotori hal-hal tersebut termasuk tindakan bunuh diri? Oleh sebab itu, membudayakan kebersihan berarti memelihara kelangsungan hidup kita secara individu, keluarga, lingkungan, masyarakat, dan anak cucu kita nantinya.

Sumber Foto: Koleksi Pribadi
Sumber Foto: Koleksi Pribadi
Namun saat ini, sepertinya Tuhan “di atas” sana sedang geleng-geleng kepala, bersedih dengan pemberian yang tidak dihargai oleh makhluk yang paling disayangiNya. Sebab manusia saat ini seperti sedang meludahi makanan yang telah disajikan Tuhan spesial untuk hamba-hamba ciptaanNya. Mungkin dengan memperbaiki kebiasaan dan perilaku kita terhadap alam, dengan menjaga dan merawatnya, dengan membudayakan kebersihan, kita telah memperbaiki secuil kesalahan-kesalahan kita dihadapan Tuhan, dan membuatNya kembali tersenyum dan bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun