Mohon tunggu...
Fauzan Widyarman
Fauzan Widyarman Mohon Tunggu... Administrasi - sesekali menulis

tulisan merupakan opini penulis atau hasil bacaan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengenal Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)

5 Januari 2014   22:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:07 1140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1388935104317983248

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merupakan lembaga independen yang sudah cukup sering terdengar. Berikut sedikit uraian mengenai lembaga ini.

[caption id="attachment_304167" align="aligncenter" width="500" caption="Komisi Penyiaran Indonesia"][/caption]

Menyadari pentingnya pengawasan terhadap siaran televisi serta radio dan berkembangnya siaran dengan cepat dipandang perlu dibentuknya suatu lembaga yang mengawasi hal tersebut secara independen disamping keberadaan pemerintah. Saat ini setidaknya terdapat 1 lembaga penyiaran publik dan 10 lembaga penyiaran swasta serta lembaga penyiaran komunitas (dalam jangkauan terbatas) dan lembaga penyiaran berlangganan, di tingkat nasional. Sementara di tingkat daerah juga terdapat ratusan siaran lokal yang terus berkembang.

KPI dibentuk di tingkat pusat dan memiliki cabang di daerah (provinsi) untuk memantau siaran lokal. Dasar hukum berdirinya KPI yakni UU 32/2002 yang mengatur isi siaran, tetapi bukan bermaksud membatasi kreativitas program televisi. Keberadaan KPI meneguhkan keterlibatan masyarakat dalam mengawasi siaran, yang dilaksanakan oleh 9 orang komisioner di pusat dan 7 orang komisioner di daerah yang dibantu oleh staf. Hubungan antara KPI pusat dengan daerah bersifat koordiantif dan anggarannya berasal dari APBN maupun APBD masing-masing daerah.

Aturan isi siaran di antaranya mempertimbangkan hak cipta, hak asasi, perfilman, pers, perlindungan konsumen, dan perlindungan anak. Saat ini, di Indonesia terjadi beragam masalah isi siaran, dua yang paling sering disoroti yakni unsur kekerasan dan politis. Banyak masyarakat melalui media-media lain menyampaikan bahwa siaran televisi di Indonesia kurang mendidik dan tidak profesional. Sangat disayangkan kebebasan pers yang telah sejak lama berlaku dimanfaatkan oleh para pemilik modal dengan tidak semestinya.

Sebagai negara yang sedang belajar demokrasi dan dalam tahap menuju negara maju, Indonesia membutuhkan siaran yang berkualitas dan bermutu. Hal ini tidak lain karena menurut data Nielsen pada 2012, 94% masyarakat mengonsumsi media melalui televisi dibandingkan media massa lainnya. Sampai 2007 setidaknya terdapat 35 juta pesawat untuk keperluan siaran televisi di seluruh Indonesia. Rata-rata menonton televisi (anak-anak) bahkan mencapai lima jam sehari. Data tersebut menunjukkan perkembangan pesat siaran di Indonesia yang idealnya bisa dimanfaatkan untuk program-program yang dapat ikut mencerahkan masyarakat, seperti pendidikan, keagamaan, atau berita, yang tentu saja harus dikemas dengan menarik sesuai salah satu fungsi pers (hiburan).

Hal lain yang disayangkan juga yakni tingginya konsumen televisi terletak pada kelompok ekonomi C1 dengan latar belakang pendidikan SMA. Dengan keadaan seperti ini, pemilik modal menjadikannya kesempatan untuk siaran yang kurang bermutu, misalnya sinetron yang memunculkan kekerasan, kisah cinta yang berlebihan, hiburan yang menampilkan kekerasan, dan bahkan iklan pemilik modal sebagai tokoh politik. Lebih parahnya lagi, hal tersebut tidak hanya terjadi di satu stasiun televisi saja, tetapi di banyak stasiun televisi sehingga fungsi pengawasan semakin penting.

Dalam buku Johnson (2007), terdapat ‘dosa-dosa’ media terhadap konsumennya, yakni distorsi informasi, dramatisasi fakta palsu, mengganggu urusan pribadi, perusakan karakter, pengaruh seksual, meracuni pikiran anak-anak, dan penyalahgunaan kekuasaan. Hal-hal tersebut terjadi cukup banyak di stasiun televisi di Indonesia. KPI sejauh ini telah menetapkan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) yang mengatur isi apa saja yang layak dan tidak layak disiarkan dan Standar Program Siaran (SPS) untuk program di luar kaca (tv) dan suara (radio). Isi dari pedoman dan standar tersebut secara lebih jelas mengatur nilai-nilai kesukuan, agama, ras,dan antar golongan, nilai dan norma kesopanan dan kesusilaan, etika profesi, kepentingan publik, layanan publik, hak privasi, perlindungan kepada anak, remajadan kelompok masyarakat tertentu, prinsip-prinsip jurnalistik, iklan, siaran langsung, muatan seksual, kekerasan dan mistik, dan siaran pemilu maupun pemilukada.

Adapun sanksi yang diberlakukan terhadap pelanggaran (sesuai UU) meliputi teguran tertulis, penghentian mata acara yang bermasalah, pembatasan durasi dan waktu siaran, denda administratif, pembekuan kegiatan siaran lembaga penyiaran untuk waktu tertentu, penolakan untuk perpanjangan izin, pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran. Pengaduan masyarakat dapat diterima melalui SMS, telepon, twitter, e-mail, dan surat.

Referensi:

1. Presentasi KPI oleh Bapak Ivan Senjaya

2. Data Nielsen 2012 meliputi penggunaan televisi dan kelompok konsumen

3. Penjelasan kesalahan-kesalahan stasiun televisi (Johnson; 2007)

4. UU 32/2002 tentang Penyiaran

5. Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) KPI

Sumber foto: http://sidomi.com/tag/komisi-penyiaran-indonesia/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun