gambar comot di sini
Kisah sebelumnya bagian 1, bagian 2, dan bagian 3. Musim berganti. Rongga dadaku masih penuh dengan wewangian senja itu. Aku pulang bagai kesatria Celtic, penunggang kuda hitam di dataran tinggi Skotlandia, yang meraih kemenangan di perbatasan. Penaklukan-penaklukan dalam hidup membuatku menyenangi kisah-kisah kesatria bangsa Norman di abad pertengahan. Dalam bayanganku, kisah itu dipenuhi oleh bukit-bukit hijau datar dengan bangunan batu menjulang menjadi kastil dengan latar sebuah pedesaan yang ditumbuhi ladang anggur. Dari balik jajaran pohon anggur itu, terdengar kelakar gadis-gadis muda dengan rok lebar yang sedang memetiki anggur dan memasukkannya ke dalam keranjang hasil anyaman tangan. Di antara sekelompok gadis ceria itu terseliplah kecantikan alami kaukasoid pada sesosok wajah bening yang memikat sang Kesatria. “Would you marry me..?" adalah kalimat sakti yang sering diucapkan sang lakon pada calon bininya. Dari situ, aku menduga bahwa untuk mendapatkan sesuatu yang masih murni dalam suatu budaya, lihatlah bagaimana keseharian gadis desanya. Keindahan dari segala saripati kecantikan peradaban tersebut pasti masih berjejak pada gadis mudanya. Maka aku selalu mendambakan kelak melamar calon bini dari kampung. Kemurnian peradaban Minang pasti masih tersimpan di bening lakunya. Rasa senang membuatku cepat kenyang. Baru beberapa sendok nasi ku suap, langsung kenyang, kembung tepatnya. Aku seperti anak kecil yang menemukan cincin permata di bungkus kuaci. Aku berlonjak-lonjak memeluk angin. Mungkin dibawa letupan yang masih belum stabil antara senang, ancaman, ketakutan, kesepian, dan kemesraan yang mengaduk-aduk perasaanku. Hampir satu jam aku seperti orang senewen bersiul simpul (perpaduan antara senyum dan siul); suatu kepandaian baru untuk menenangkan gegap ekspresi yang tak jelas. Hari itu aku menemaninya latihan menari, menunggui tepatnya, karena aku tak punya keahlian meliuk-liukan tangan kesana-kemari dengan gemulai dan sambil tetap senyum. Jelas menari bukan perkara mudah bagiku. Diam-diam aku menikmati kesenangannya menari, tepatnya aku bahagia melihatnya berkeringat sejahtera. Aku ingin jadi bagian dari keceriaan hidupnya. Aku ingin menua bersamanya. Aku ingin ini, itu, dan itu, dan itu…begitulah dengan mudahnya kasmaran dengannya telah melayangkanku ke bantalan cirrus cumulus, tinggi, tipis, tanpa asuransi, tak ada jaminan perawatan bila hatiku keseleo dan patah. Semakin dekat, aku menemukan diri berasa demam karena panah-panah cupid tertancap tak hanya ke dadanya tapi juga ke dadaku. Aku tak tau harus memulai dari mana agar persekutuan itu terbentuk. Rasa kikuk, bibir gemetaran, jari-jari yang menganyam, dan keringat meluncur deras di lebarnya penurunan keningku adalah kegagalan bentuk ekspresi yang tak terbantahkan. Di hadapannya, aku merasa mengecil bagai kura-kura yang mengunci muka dalam cangkang. Membacakan semua rumus pytagoras dan bacaan ayat-ayat pendek jelas bukanlah sesuatu yang cerdas dalam situasi gugup ini. Untunglah dia mengerti dan tak mencoba menjuruskan pembicaran. Kami hanya berjalan kaki menghirup udara pantai dengan pikiran masing-masing. Lebih banyak diam, kami sesekali beradu pandang dengan senyuman ganjil. Oh teman, aku tau, aku tau artinya. Artinya, dia lapar dan minta ditraktir makan sate: Sate Padang. Nafasku lega. Aku terselamatkan dari tuntutan pertanyaan konyol…”Apakah Indah sayang aku?” atau “Indah cinta aku nggak?” atau “Aku sayang Indah, apakah Indah juga sayang aku, kalau enggak juga tak apa-apa, gak usah dipaksa, mungkin kita masih bisa berteman?” Aaaahh, hantu itu masih terus membayang. Aku membatin. Oh, ya, aku lupa menceritakannya padamu, Teman. Tentang sebuah danau. Bagiku, danau selalu mendapatkan tempat di hati. Ya, danau bagiku sangatlah sastra. Danau adalah karya sastra itu sendiri. Semilir angin yang tenang, pantulan jingga keemasan dari matahari menyibak segaris kerinduan, dan pagar perbukitan yang saling berpelukan selalu menggodaku untuk berpuisi. Tak perlu diucapkan, tak perlu dituliskan karena keheningan yang disajikan danau adalah puisi bagi dan dari jiwa itu sendiri. Aku sungguh mencintai danau. Meski aku tidak menyebut ini sebagai sebuah kebetulan, kampung asal gadis desa yang membuat dadaku bergemuruh itu ada di seberang danau. Coba, Teman, apa yang sekarang bisa kau katakan? Maka tak berlebihan rasanya harus ku katakan bahwa bila memandangnya adalah lantunan nada-nada lembut dari puisi jiwa. Dia adalah gadis desa yang tidak terampas kota. Akarnya masih hijau menyentuh asalnya. Di Rotterdam, dia adalah umpama kuncup Tulip yang dipelihara Negara. Mekarnya dinantikan oleh para pelancong dari negeri tropis yang ingin mengabadikan foto bersamanya. Danau dan tulip bagiku adalah sepasang puisi yang dipinang dari orang ladang. Mereka merupakan representasi semua bentuk keelokan alam dalam satu kata: Indah. Hingga tiba pada suatu penentuan, aku tak bisa terus-terusan memendam. Sabtu pagi itu, aku mengumpulkan segenap keberanian. Alasannya sederhana, kalaulah rimba kelam tak bertuan mampu kujelajahi, aku pun juga pernah berteriak-teriak pada beruang madu di lereng Singgalang. Saat beruang itu membuat suara gaduh yang menciutkan nyali, aku tetap berteriak dengan sebilah golok di tangan. Maka aku tak punya alasan lain untuk lari dari hidupku. Sekarang adalah waktunya bagiku untuk menaklukan Tulip mungil, gemulai, dan sendirian itu. Apapun hasilnya. Dengan meminjam semangat para kesatria Celtic berbaju zirah, aku maju ke medan pertempuran batin itu. Aku mendatangi rumahnya. Bersambung ke sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H