Baca juga bagian 1 dan bagian 2. Aku tak tahu persis kapan untuk pertama kalinya anugerah mulia dari Tuhan yang bernama cinta itu dicurahkan ke dalam dada. Yang kutahu, aku merasakan gejala membaik dari semua perasaan baik yang ku punya. Aku mau menyerahkan keringat muda ini untuk ditukarkan dengan seteguk madu dari manisnya cinta. Begitu benar. Jelas Indah bukanlah gadis pertama yang kutemui ketika sinar agung itu dilesakkan ke jantungku. Tepatnya aku sempat berkali-kaliterjerembap cinta muda mudi. Siapa benarlah aku yang kuasa untuk tidak tergoda oleh marabahaya yang tersaji dalam petualangan itu. Dahaga muda akan pencarian membawaku pada penemuan mozaik-mozaik cantik yang memikat dengan warna-warna pelangi. “I just run”, kata Forest Gump. Karena “Life’s like a box of chocolate, we would never know what’s gonna get”..lirihnya dalam suatu adegan film berjudul sama yang berkisah tentang hidupnya. Pada 2008, aku menemuinya. Namun, barulah pada 2010, getar batin itu meletupkan diri. Di perantaraan antara keduanya, aku berkelana dan dia masih mengawang. Meski telah ku temui berupa-rupa kembang tulip di barat eropa, seroja merah di pantai barat, dan daffodil, akhirnya ke kuntum desa di tepian danau itu jua kapal berlabuh. Tak jauh-jauh, ke kerabat lama jua pintalan itu berikat. Teman, Kau pasti bertanya-tanya bagaimana ceritanya Saphhire biru itu melunak? Tak mudah memang, Kawan. Sapphire biru ini sungguh bagai hidangan kolak di bulan puasa. Semua berselera padanya. Sebetulnya aku sempat merasakan sesekali dia tampak kikuk saat kami berhadap-hadapan. Dasar gadis desa yang polos, tak kuasa dia menahan sipu. Aku membaca serat-serat di matanya bahwa dia menjawab proposal anak bujang ini. Tapi terlanjur disapu oleh guratan kegalauan internal yang menimpanya. Untuk hal seperti ini aku tak bisa memaksakan. “Pastinya waktu yang akan menjawab,” kata Om Ebit. Kubiarkan saja gadis itu bermain api. Jahatkah aku? Kupikir tidak. Aku bahkan telah menempatkan ruang lebar dalam batin untuk menyambut kehadirannya. Bak menunggu durian yang ranum di batang, aku rela menunggu di tengah malam dengan senter dan menajamkan pendengaran untuk siap-siap berlari kalau-kalau ada durian yang jatuh. Aku siap menyambar lebih dulu dari tetangga sebelah. Bukan tidak berisiko dalam menanti durian,Teman. Lengah sedikit saja, kepala bisa menjadi sasaran empuk dengan harga yang tak sepadan. Tapi ketika tiba waktunya “membelah durian”, ehem..konon kabarnya bisa membunuh seribu setan di malam jumat (lha?). Membuat pasangan muda laki bini enggan berpergian dan mengunci kamar rapat-rapat sambil bermain kuda-kuda an. Manusia ternyata memang makhluk bermain, homo ludens. Sempat terlintas nyanyian Nat King Cole “..Love’s ended before it’s begun”…menghembuskan hawa platonis. Aku membayangkan bahwa di antara semua yang serba tak pasti, selalu akan ada kemungkinan. Rintik hujan mengiringi langkahku menyusuri bentangan sungai yang tak dalam. Aku menelan dengan berat, kelu yang tak bisa kubantah, segumpal radang yang memanas di sekitar tenggorokan, hingga muncul gejala somatis. Itu adalah puncak dari pengejawatahan akan ragu yang tak sempat kutanyakan padanya; “Is it for real, O’ dear?” Awan platonis mulai mendung kembali. Dia akan segera membisikkan lagu sendu khas Malaysia: bahwa cinta tak harus memiliki. Aku mengulum perih. Tak siap rasanya ku menatapnya lagi, bahkan untuk sekedar menyambut ajakan minum segelas Energen hangat bersama di pagi hari seperti yang biasa dilakukannya padaku dalam balutan piyama yang biasa dikenakannya; satu hal lain yang membuat anomali yang kurasakan semakin membuncah hebat. “Enough”, aku berucap sambil menuju rumah. Aku kembali dibenturkan pada Tembok Berlin cinta yang tak tersampaikan. Ingin rasanya kupesankan saja pada tukang rebab untuk tutup buku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H