Mohon tunggu...
Fauzan Gusti Wardhana
Fauzan Gusti Wardhana Mohon Tunggu... profesional -

Seorang penulis lepas, petualang, dan penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Lazuardi di Tepian Danau Bag. 2: Sapphire Biru di Perairan Pasifik

10 Januari 2012   22:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:04 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13262345111044359116

Kisah sebelumnya ada di sini. Cukup rajinkah kau membaca buku sejarah bumi, Teman? Bila lupa-lupa ingat, baiklah akan kubantu sekadarnya. Pasifik adalah godaan terbesar dalam sejarah bumi modern. Masih ingat tentang perang dunia ke-dua? Pasifik adalah neraka dunia yang selalu menyala oleh letupan rudal balistik saling silang yang mengandalkan taktik menipu dan serangan fajar. Pearl Harbor adalah korban dari sedikit kelengahan atas tipuan itu. Meski luas Jepang hanyalah sepelemparan kolor dibandingkan Amerika Serikat, gigitannya cukup ampuh membuat ponakan Paman Sam berkeringat jagung. Pulau-pulau kecil terbentang di samudera, menghampar di hampir seperempat  luas bumi itu. Pulau-pulau itu muncul bak jerawat di kulit mulus gadis cantik langsat di film Korea. Ada yang berbongkah besar, ada yang timbul tenggelam. Menariknya, pulau-pulau itulah yang menjadi rebutan. Seorang perwira yang berhasil mencaplok pulau baru di jaman tak enak itu, karirnya akan langsung meloncat indah, dipromosikan ke level pimpinan militer. Selain kepentingan ekonomis, penguasaan pulau itu sangat berpengaruh terhadap konstelasi geopolitics, untuk mengembalikan moral prajurit yang dilanda frustasi berbulan-bulan meninggalkan anak bini. Oh ya, aku lupa memperkenalkan padamu, Teman. Tuan Putri yang kuceritakan, jelita itu, bernama: Indah. Sangat ringkas, padat, dan telah banyak dipakai di pasaran. Seperti orangnya, mungil, simpel, tak berisik. Tak berlebihan kukatakan bahwa di kampung kami, pemberian nama pada anak tidaklah merepotkan. Para orang tua seringkali mencatut nama-nama yang sudah lazim ada dalam kitab suci. Dalam masyarakat yang karakter budayanya masih homogen dan berbasiskan spiritual, pasangan laki bini muda yang baru saja dikaruniai anak akan ikhlas menamai anaknya dengan nama-nama tokoh Islam yang benderang di jazirah arab sana. Aku pun cukup maklum kalau kebersahajaan yang dimiliki seorang Indah, yang di mataku sangatlah anggun, sangat tradisional, adalah khas bawaan dari keluarga konservatif. Di Inggris, gadis seperti ini seringkali ditemui dalam masa keemasan ratu Victoria, simply distinguished. Gadis seperti itu seringkali dikawinkan melalui jalur perjodohan keluarga besar, kalau bukan dengan rekan dagang atau teman arisan perkumpulan Dharmawanita induknya. Dan, Indah paling tidak cukup mewakili harapan luhur tradisional itu; tidak suka keluyuran, harus tiba di rumah selambat-lambatnya jam 6 sore, cepat tidur malam, dan pandai memasak. Didikan kampung berbasis matrilineal ini cukup sukses mengantarkannya untuk tak tersentuh banyak lelaki. Kemilau cantik di usia mudanya adalah paduan kalis sentuhan tradisional berbalutkan kecerdasan yang terdidik baik dan kelembutan tutur gadis Sumatera. Sempat kutanyakan sekali waktu padanya berapa banyak laki-laki berhasrat memboyongnya kawin, dia menjawab, “Tak ingat persis, tapi cuma satu yang sempat parkir di hati,” ujarnya sambil memerah muka. Aku cukup mahfum dengan kenyataan itu. Pastinya kala itu dia cukup segan untuk mengatakan ada banyak. Mungkin dia tak ingin nyaliku ciut mendengar kabar bahwa lelaki yang terbirit-birit mengejarnya adalah garis atas dari segala kemungkinan ketertarikan wanita untuk kawin seperti yang kuceritakan di atas; tinggi semampai, dada bidang, perut rata, rambut klimis, harum, sol sepatu awet tanpa bekas jahitan, aliran uang masuk teratur, punya asuransi, menjanjikan istana babilonia, tak sungkan wira-wiri di mall, dan secara keseluruhan mempesona. Hal-hal yang sangat bertolak belakang dengan kondisiku. Tapi, Teman, bukanlah tipikalku untuk pasrah pada serangan pertama. Mengacu pada kekuatan yang ada, memang tak banyak yang bisa kujual. Tak berbilang jumlahnya pengabaian yang kucerap. Tanggapan datar dan senyuman skeptis adalah sajiannya untukku. Mendekatinya berarti akan mempertaruhkan pencapaian kecil yang kukumpulkan selama bertahun-tahun. Aku sadar sebetulnya akan risiko itu. Bahwa kami telah saling mengenal dalam bentuk perteman yang platonis bukan sesuatu yang istimewa lagi baginya. Dia punya banyak penggemar, baik yang terang-terangan, maupun yang sembunyi-sembunyi memujanya di balik pertemanan. Sangat ambigu, tapi dia menikmati. Tak heran bila ada sekali waktu, temanku yang juga dikenalinya dengan hangat, sempat menjalin perseteruan batin dengannya di belakang layar. Namun seperti yang kugambarkan, gadis ini pintar, tapi begitu polos dalam berhubungan. Dia abaikan temanku itu. Suatu nilai tambah yang membuat rasa penasaran bercampur nafsu kelelakian kian berupaya menggapai perhatiannya, tiada batas. Konon, temanku itu akhirnya angkat kaki setelah mengetahui aku mengatur strategi penyerangan yang progresif untuk memperebutkan Sapphire biru itu. Aku tetap bertahan, kendati diabaikan. Layaknya Sapphire di Pasifik, dia memang menggoda untuk diperebutkan. Ada yang rela mempertaruhkan nasib baik dan mengeluarkan semua koleksi Kharil Anwar, menebar bunga rampai meski akhirnya trauma, pulang dengan muka tertunduk kuyu. Ada pula yang mengeluarkan jurus percintaan ala India, lengkap dengan bawang Bombay yang memeras air mata.  Aku yakin, hingga pada waktu itu, entah berapa banyak bujang-bujang kepepet kawin telah mengantarkan lamaran, bercumbu sebelah tangan dengan rayuan Casanova telah mengantri di inbox message-nya. Tapi dia tetap indifferent, tak peduli. Mungkin karena dulu sempat kecewa, terluka mendalam oleh lelaki idaman yang pernah singgah di hatinya yang perawan. Apakah itu semacam hantu psikis, entahlah. Aku pun ikutan tak peduli. Ketegarannya berdiri bagai karang Sapphire di Pasifik lepas tak bertuan itu betul-betul sulit ditembus; cantik, diperebutkan, tapi tak dapat dimiliki siapapun. Dirayu-rayu, dia tak mau, diprovokasi dia benci, digombali dia mencibir, ditipu dia tahu, diumpan dia tak mempan. Sekian banyak yang kasmaran tak satu pun mampu membuatnya terkesan. Dan perlombaan menggaetnya bukannya surut, malah makin menjadi. Ada yang memakai jalur percomblangan teman dekat, sanak keluarga kontan, jejararing sosial, dan cara lain yang tak disangka-sangka. Pernah sekali waktu aku serasa mendapat hembusan angin sejuk dari kutub utara di musim semi. Dingin, berbalut hangatnya harapan memelukku. Itu tak lain ketika sekali waktu sms-ku berbalas dengan sapaan syahdu darinya. Entah itu sadar atau tidak, atau mungkin dibawah kontrol parasetamol, dia mengajakku “jalan”. Manisnya tak main-main. Rasanya? Jangan ditanyakan lagi, Teman. Kerak-kerak salju di hatiku berserak dan meleleh. “Mau ga nemenin indah?”, begitu kira-kira sejauh ingatan terbaikku merekam. Hormon kembali merajai denyut dag-dig-dug jantungku. Bagaimana rasanya jalan berdua? Sungguh nikmat terperi bagi bujang yang dijatuhi semburat cinta. Hatiku riang. Semua sudut tampak bernilai seni dan tampak elok bagiku. Hatiku bernyanyi kian kemari. Bahkan kamarku, yang bagaikan kapal Van der Wijck yang tambin karam itu, tampak bagai taman Edensor di pelosok Inggris sana. Tak jarang kudapati diri yang lupa cara tersenyum ini tiba-tiba begitu gemar bersedekah senyum ke sembarang tempat, tak beraturan. Ke selokan kumuh di tepi jalan yang ditumbuhi enceng gondok, aku tersenyum. Melihat lampu merah yang biasa kupicingkan, aku tersenyum. Melihat Emak yang selalu mengomeliku untuk cepat-cepat tamat kuliah, aku tersenyum. Lihat, Teman, aku menjadi sosok lain yang berlimpah bahagia. Begitu benar manisnya linangan madu ini kucerap. Walau kemudian kutahu, aku bukanlah satu-satunya bujang yang mendapat tawaran ringan seperti itu. Sesuatu yang sejenak kemudian membuatku kembali khawatir hebat akan pesaing yang tak kutahu keberadaannya. Mungkin saja dia ada bergerilya di balik semak hutan biologi, menyelinap di balik bening kaca pizza hut, mengintai di balik tumpukan kertas ruang kerjanya, persisnya aku tak tahu, tak pernah terang-terangan diberi tahu. Praktisnya, aku memang belum bisa memapankan diri. Di tengah kemelut perebutan Sapphire itu, aku hanya membekali diri dengan doktrin hebat yang diajarkan Winston Churcil di alun-alun London sewaktu menghadapi invasi Jerman yang cerdik, “We shall never surrender..!!”, nadanya berat bergetar membakar serdadu sekutu dan rakyat sipil. Inggris punya style-nya sendiri dalam bertempur. Pelajaran hebat itu kupeluk dan kutempelkan sejarak lima sentimeter di depan mata. Aku belum akan menyerah! Melihat pengabaiannya yang seringkali berulang, ditinggal kabur tanpa kata penutup, sejatinya sudah cukup membuatku yang sempat mengecap kuliah manajemen konflik ini paham akan situasi bahwa itu suatu pertanda: penolakan halus. Hanya saja adab konservatif yang dipakai tak mengajarkannya untuk menolak terang-terangan saat itu. Mungkin tak baik pikirnya. Tak ingin kuterluka asmara semu, lebih tepatnya. Sapphire biru itu tetap kokoh tegak menantang cakrawala, tak limbung diterpa badai tropis, tegar membatin dengan prinsipnya. Oh, Teman, dia begitu memukau, tapi tak terjangkau. Jarang kutemui gadis dengan kemampuan penjagaan nilai sekelas ini. Distinguished. Kisah bersambung di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun