Mohon tunggu...
Fauzan Gusti Wardhana
Fauzan Gusti Wardhana Mohon Tunggu... profesional -

Seorang penulis lepas, petualang, dan penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Lazuardi di Tepian Danau Bag. 3: Kode Morse di Lentik Jemarinya

12 Januari 2012   01:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:00 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baca juga bagian 1 dan bagian 2. Aku tak tahu persis kapan untuk pertama kalinya anugerah mulia dari Tuhan yang bernama cinta itu dicurahkan ke dalam dada. Yang kutahu, aku merasakan gejala membaik dari semua perasaan baik yang ku punya. Aku mau menyerahkan keringat muda ini untuk ditukarkan dengan seteguk madu dari manisnya cinta. Begitu benar. Jelas Indah bukanlah gadis pertama yang kutemui ketika sinar agung itu dilesakkan ke jantungku. Tepatnya aku sempat berkali-kaliterjerembap cinta muda mudi. Siapa benarlah aku yang kuasa untuk tidak tergoda oleh marabahaya yang tersaji dalam petualangan itu. Dahaga muda akan pencarian membawaku pada penemuan mozaik-mozaik cantik yang memikat dengan warna-warna pelangi. “I just run”, kata Forest Gump. Karena “Life’s like a box of chocolate, we would never know what’s gonna get”..lirihnya dalam suatu adegan film berjudul sama yang berkisah tentang hidupnya. Pada 2008, aku menemuinya. Namun, barulah pada 2010, getar batin itu meletupkan diri. Di perantaraan antara keduanya, aku berkelana dan dia masih mengawang. Meski telah ku temui berupa-rupa kembang tulip di barat eropa, seroja merah di pantai barat, dan daffodil, akhirnya ke kuntum desa di tepian danau itu jua kapal berlabuh. Tak jauh-jauh, ke kerabat lama jua pintalan itu berikat. Teman, Kau pasti bertanya-tanya bagaimana ceritanya Saphhire biru itu melunak? Tak mudah memang, Kawan. Sapphire biru ini sungguh bagai hidangan kolak di bulan puasa. Semua berselera padanya. Sebetulnya aku sempat merasakan sesekali dia tampak kikuk saat kami berhadap-hadapan. Dasar gadis desa yang polos, tak kuasa dia menahan sipu. Aku membaca serat-serat di matanya bahwa dia menjawab proposal anak bujang ini. Tapi terlanjur disapu oleh guratan kegalauan internal yang menimpanya. Untuk hal seperti ini aku tak bisa memaksakan. “Pastinya waktu yang akan menjawab,” kata Om Ebit. Kubiarkan saja gadis itu bermain api. Jahatkah aku? Kupikir tidak. Aku bahkan telah menempatkan ruang lebar dalam batin untuk menyambut kehadirannya. Bak menunggu durian yang ranum di batang, aku rela menunggu di tengah malam dengan senter dan menajamkan pendengaran untuk siap-siap berlari kalau-kalau ada durian yang jatuh. Aku siap menyambar lebih dulu dari tetangga sebelah. Bukan tidak berisiko dalam menanti durian,Teman. Lengah sedikit saja, kepala bisa menjadi sasaran empuk dengan harga yang tak sepadan. Tapi ketika tiba waktunya “membelah durian”, ehem..konon kabarnya bisa membunuh seribu setan di malam jumat (lha?). Membuat pasangan muda laki bini enggan berpergian dan mengunci kamar rapat-rapat sambil bermain kuda-kuda an. Manusia ternyata memang makhluk bermain, homo ludens. Sempat terlintas nyanyian Nat King Cole “..Love’s ended before it’s begun”…menghembuskan hawa platonis. Aku membayangkan bahwa di antara semua yang serba tak pasti, selalu akan ada kemungkinan. Rintik hujan mengiringi langkahku menyusuri bentangan sungai yang tak dalam. Aku menelan dengan berat, kelu yang tak bisa kubantah, segumpal radang yang memanas di sekitar tenggorokan, hingga muncul gejala somatis. Itu adalah puncak dari pengejawatahan akan ragu yang tak sempat kutanyakan padanya; “Is it for real, O’ dear?” Awan platonis mulai mendung kembali. Dia akan segera membisikkan lagu sendu khas Malaysia: bahwa cinta tak harus memiliki. Aku mengulum perih. Tak siap rasanya ku menatapnya lagi, bahkan untuk sekedar menyambut ajakan minum segelas Energen hangat bersama di pagi hari seperti yang biasa dilakukannya padaku dalam balutan piyama yang biasa dikenakannya; satu hal lain yang membuat anomali yang kurasakan semakin membuncah hebat. “Enough”, aku berucap sambil menuju rumah. Aku kembali dibenturkan pada Tembok Berlin cinta yang tak tersampaikan. Ingin rasanya kupesankan saja pada tukang rebab untuk tutup buku.

1326369543432178378
1326369543432178378
Di penghujung tahun.. Mungkin aku memang begitu naïf untuk cepat menarik kesimpulan. Bukannya tak berdasar, tapi tak siap tepatnya untuk terbakar terlalu awal di kedua sisi lilin. Sering kali aku memakai pola sebaran Gaus dan loncatan molekul Brown untuk membiarkan kemana lompatan hidup membawaku bertualang. Jelasnya, aku tak punya rencana atas penolakan itu. Tapi, sungguh tak bisa ku menolak keinginan melihatnya. Bagaimana mungkin design yang kubangun kemudian tak membekas apapun di hatinya? Aku tak percaya atas pilihannya. Tapi aku juga tak benar-benar yakin, apakah dia sudah memilih? Seakan tak bersalah aku membiarkan semua mengalir. Kemunculannya di jejaring sosial, tetap membumbungkan harap. Namun tetap, inilah blunder yang tak kumengerti dari cucu Hawa itu. Sifat ragunya membuatku gundah. Tak bisa ku bahasakan perasaanku saat itu, yang pasti, betapa dengan mudahnya aku kembali meluncurkan rudal untuk menusuk jantungnya. Aku beranikan saja. Toh itu hanya mengalun di udara. Aku bisa menyembunyikan malu ini dengan berpura-pura tangguh. Padahal nafasku sesenggukan menahan jawaban. Dan, Teman, tahukah kau apa yang membuat fenomena tersenyum aneh, yang menyemangati hidup seolah aku akan hidup seribu tahun lamanya itu muncul lagi? Satu pesan singkat saja darinya, “Prove it”..!!, tanpa emoticon, khas perawakan gadis Skandinavian yang sangat efisien dalam bercinta. Nafasku sesak. Udara hangat seakan mengalir deras di selaput jantungku. Oh, Teman, tak bisa ku bayangkan padamu ketika dunia seakan berputar pelan, waktu terhenti, dan bongkahan es di kutub selatan bertebaran bagai serpihan bulu angsa di Trafalgar Square. Tuhan, dalam segala kondisi, selalu menolong di saat-saat terakhir. Indah tak terkira. Mulailah kembali linangan madu berlimpah di penghujung tahun itu. Kegugupanku semakin menipis, aku merasa lebih santai. Aku jadi lebih leluasa menyapukan pandangan ke wajahnya. Teman, wajahnya secantik hatinya. Kami sepakat untuk bertemu kembali. Bukan untuk membahas serangan udara yang kulakukan di alam maya itu, tapi sekadar memberi ruang lepas bagi batin kami yang saling merindu. Bulu kudukku geli bila mengingat kembali kemesraan itu. Es krim-lah yang menjadi tumpuan perasaan kami. Berpadukan coklat dan vanilla lembut, kami berbagi perasaan, segelas berdua. Dangdut sekali. Sesekali canda renyah merekah ketika kami bertengger di atas putaran roda dua. Aku berasa di Jogja tempo dulu sambil mengayuh pelan-pedal sepeda ontel. Berharap rumahnya berada jauh di bukit sana sehingga aku bisa berlama-lama dengannya. Kubiarkan saja dia menggoda, menyenggol tanganku dengan lentikan jari mungilnya. Meski itu bisa membahayakan, aku bersedia pasang badan. Bayangkan teman, aksi curi-mencuri kesempatan di atas dua roda itu menuntutku mengendalikan motor dengan satu tangan. Tangan yang lain sibuk membuat kerajinan. Beberapa kali kurasakan, tangan kami terperangkap diam, seakan tak mau lepas. Di dalam detik-detik membahagiakan itulah api kerinduan kurasakan menjalar dan disampaikannya dalam bentuk kode-kode Morse: keberserahdirian, kira-kira itulah maknanya. Gerakannya pun sangat sederhana, sapuan lembut empu jari di anyaman jemari yang saling berpeluk, berkait rindu antara satu dengan yang lain. Di saat itu pula aku bisa mengerti betapa relatifnya waktu berjalan. Hanya dalam putaran detik, itu telah mengobati kerinduan kami, telah melembabkan kembali batin kami yang dilanda kemarau berbulan-bulan. Manis tak terkatakan. Tak ayal, kudoakan jalanan macet, ada banyak lampu merah sehingga aku jadi sering berhenti sebagai pengemudi yang taat aturan, yang berarti aku kembali punya waktu untuk menutup manis pengembaraan di tahun itu dalam persamaan relativitas waktu, E=MC², sebentuk cinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun