Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan virus penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Sedangkan Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) merupakan tahap tertinggi dari infeksi virus HIV. Dalam proses penyebarannya dalam tubuh, HIV menyerang sel darah putih tubuh, melemahkan sistem kekebalan tubuh, membuat orang lebih mudah sakit karena infeksi, tuberkulosis, dan beberapa dapat menyebabkan kanker.Â
Menurut WHO virus ini tidak menyebar dengan melalui kontak fisik seperti berpelukan atau berciuman. Namun, melalui cairan dari orang yang terinfeksi ke tubuh lainnya, seperti darah, air mani, cairan vagina, juga dapat menyebar dari ibu ke bayinya melalui air susu, dan penggunaan jarum suntik bersama (WHO, 2024).
Seringkali, penyakit HIV/AIDS dikaitkan dengan stigma sosial yang kuat, yang dapat memengaruhi kehidupan individu yang terinfeksi dan masyarakat secara keseluruhan. Stigma ini berasal atau dihasilkan dari sejumlah faktor budaya, sosial, psikologis, serta pengetahuan yang kurang tentang penyakit tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari, stigma ini dapat menyebabkan diskriminasi dan memengaruhi kesehatan dan kesejahteraan mereka. Stigma HIV juga dapat membuat orang enggan menjalani tes, membagikan status HIV mereka, dan mendapatkan layanan medis (CDC, 2024). Bentuk stigma terhadap pengidap HIV mencakup :
- Kepercayaan bahwa kelompok tertentu memang pantas untuk tertular HIV, seperti laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, dan pekerja seks.
- Pelabelan negatif terhadap orang yang melakukan upaya pencegahan HIV, Â sebagai contoh orang yang menggunakan alat kontrasepsi seperti kondom, dianggap sebagai orang yang suka berganti-ganti pasangan.
- Menganggap gaya hidup dan pilihan tertentu seseorang layak tertular HIV, seperti pekerja seks yang dipandang sebagai orang yang memiliki perilaku buruk sehingga pantas untuk tertular penyakit tersebut.
Padahal pada faktanya, penularan HIV tidak hanya terjadi pada pasangan homoseksual, pekerja seks komersial (PSK), dan pengguna narkoba dengan suntikan, tetapi juga pasangan heteroseksual, terutama mereka yang sering bergonta-ganti pasangan tanpa pengaman (Tim Medis Siloam Hospitals, 2024). Pemberian stigma-stigma di atas ini membuat orang-orang enggan untuk melakukan tahap-tahap pencegahan HIV/AIDS, karena takut dianggap sebagai orang yang berperilaku buruk dan nantinya akan dieksklusi secara sosial oleh masyarakat. Sehingga, banyak dari pengidap HIV/AIDS yang juga tidak terdeteksi penyakitnya, dan beresiko untuk menularkan virus tersebut pada orang lain.
Terbentuknya stigma yang terjadi di masyarakat ini diakibatkan karena masih banyaknya mitos atau pemahaman yang salah mengenai HIV, dimana HIV dapat menular ketika seseorang melakukan kontak fisik seperti berjabat tangan, bersin, penggunaan alat makan dan minum bersama, dan kegiatan publik lainnya, ditambah lagi kurangnya pemberian informasi yang benar mengenai HIV itu sendiri, seperti bagaimana penularannya, pencegahan, dan pengobatannya, membuat masyarakat salah dalam menyikapi hal ini (Shaluhiyah dkk., 2015).
Kesimpulan
HIV/AIDS bukan hanya masalah kesehatan tetapi juga masalah sosial yang berkaitan erat dengan stigma. Ketidaktahuan, prasangka moral, dan mitos tentang penularan HIV/AIDS menyebabkan stigma terhadap pengidap virus tersebut. Sikap negatif ini sangat berdampak pada pengidap HIV/AIDS yang kemudian membuat mereka tereksklusi dari masyarakat, dan terhambat haknya dalam mendapatkan perawatan medis. Langkah-langkah kolektif, pendidikan masyarakat tentang HIV/AIDS, termasuk penjelasan tentang cara penularan dan pencegahan, harus lebih digencarkan diperlukan untuk mengatasi stigma ini. Dengan upaya ini stigma terhadap pengidap HIV/AIDS dapat berkurang, sehingga mereka dapat hidup bermartabat dan memiliki peluang yang sama untuk berkontribusi dalam masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H