Para sahabat pembaca, alkisah, di suatu kemeriahan hari kemerdekaan, ada sebuah lomba balap sepeda untuk anak-anak SD. Suasana semakin menegangkan namun tetap meriah, karena kini memasuki babak akhir, yakni babak final, yang menyisakan 7 pembalap cilik terhebat. Mereka memamerkan sepeda tercepat miliknya masing-masing, karena panitia mengharuskan peserta menggunakan sepedanya sendiri. Rata-rata mereka menaiki sepeda-sepeda yang masih baru, sangat bagus dan mahal. Namun ada satu sepeda yang paling tidak istimewa, bekas dan berkarat. Sebutlah pemiliknya bernama Banu.
Banyak yang menyangsikan si Banu bisa memenangi kompetisi bergengsi ini. Sementara yang lain dibelikan sepeda baru oleh para orang tua mereka, ayahnya hanya mampu membelikan sepeda bekas. Tibalah saat yang ditungu-tungu. Final kejuaraan balap sepeda. Setiap anak mulai bersiap di garis start. Di setiap jalur lintasan, telah siap 7 sepeda, dengan 7 “pembalap kecil” di atas sepedanya masing-masing.
Namun, sesaat kemudian, Banu meminta waktu sebentar sebelum terompet dibunyikan. Ia tampak merundukkan kepala seperti orang yang sedang berdoa. Matanya terpejam, dengan tangan yang bertangkup memanjatkan doa. Lalu, semenit kemudian, ia berkata, “Ya, sekarang saya siap!”. Treett….! Tanda telah dimulai. Dengan satu hentakan kuat, mereka mulai mengayuh sepedanya kuat- kuat.
Semua sepeda langsung melaju kencang. Setiap orang bersorak-sorai, bersemangat, menjagokan para pembalapnya masing-masing. “Ayo… Ayo… Ayo, Cepaaat… Cepaaat…”, begitu teriak para supporter. Riuh Sekali.
Akhirnya… sang pemenang pun harus ditentukan, karena tali lintasan finish telah terlambai.
Dan, tahukah siapa pemenangnya?
Ya. Banu lah pemenangnya. Semuanya senang, begitu juga Banu. Ia berucap dengan pelan, “Terima kasih.” Saat pembagian piala tiba. Banu maju ke depan dengan bangga.
Sebelum piala itu diserahkan, ketua panitia bertanya kepadanya. “Hai jagoan, kamu tadi pasti berdoa kepada Tuhan agar kamu menang, bukan?”. Banu terdiam. “Bukan, Pak. Bukan itu yang kuminta” kata Banu.
Ia lalu melanjutkan, “Sepertinya, tak adil untuk meminta pada Allah agar menolongku mengalahkan orang lain. Aku tadi memohon pada Allah, supaya aku tak menangis, jika aku kalah.” Semua hadirin terdiam mendengar itu. Setelah beberapa saat, terdengarlah gemuruh tepuk-tangan yang memenuhi lapangan.
Sahabat pembaca, terkadang kita lupa untuk berdoa kepada Allah SWT agar diberikan keikhlasan dan kesabaran saat menghadapi semua ujian. Kita sering merasa cengeng menghadapi kehidupan ini, padahal kita punya Allah. Allah memberikan kita ujian, bukan untuk membuat kita lemah, cengeng dan mudah menyerah. Bukankah kadarnya sudah disesuaikan oleh-Nya (lihat QS. Al-Baqarah: 186; QS. At-Thalaq: 3).
Never give up…. Kejarlah kebahagiaan, yang lain pasti nyusul….!
Saya, Ahmad Fauz Andanusy. Salam Semangat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H