Mohon tunggu...
Fauwaz Raihan
Fauwaz Raihan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya mahasiswa Pascasarjana unhan 2020

MAHASISWA PASCASARJANA UNHAN 2020

Selanjutnya

Tutup

Politik

Omnibus Law dan Yuanisasi Tinjauan Geopolitik

12 Oktober 2020   23:10 Diperbarui: 13 Oktober 2020   08:23 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

The Game Has Changed’, merupakan kata-kata yang dapat saya lontarkan pasca disahkanya UU Omnibus Law pada 5 Oktober 2020 beberapa waktu yang lalu. UU Omnibus Law masih menjadi polemik di tengah masyarakat meskipun keberadaannya sudah legal secara hukum, semisalnya saja beberapa pihak menyatakan banyak sekali masalah dalam proses dan isi dari UU tersebut seperti cacat secara prosedural, terlalu menghimpun kepentingan pengusaha/oligarki, menekan hak-hak buruh, mengabaikan AMDAL, pengesahan dilakukan pada malam hari ketika masyarakat terlelap dan sebagainya.

Di sisi lain pihak pemerintah menegaskan bahwa di tengah kondisi Pandemi Covid-19 dimana mesin ekonomi sedang lesu perlu diberikan asupan untuk memecut pertumbuhan ekonomi Indonesia agar terhindar dari resesi ekonomi. Omnibus Law digadang-gadang menjadi solusi untuk menjawab permasalahan ekonomi di tengah pandemic salah satunya dengan meningkatkan Investasi. Formulasi secara teoritis dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi salah satunya adalah dengan meningkatkan jumlah investasi yang nantinya akan menjadi faktor produksi dalam memproduksi barang-jasa.

Terlepas dari itu semua terlalu panjang dalam membahas tiap-tiap pasal dan kepetingan yang bermuara pada UU Omnibus Law.  Akan lebih menarik apabila membahas dan menerka-nerka bahwa Omnibus Law adalah upaya pemekaran provinsi China di Indonesia.

Menurut hemat penulis terdapat beberapa faktor yang menjadikan alasan mengapa Indonesia ingin dijadikan sebagai salah satu ‘provinsi’ negara China, Pertama, besarnya jumlah penduduk negara China, Kedua, Kebutuhan akan pemasok sumber daya alam bagi industri-industri, dan Ketiga¸ Konstelasi hegemoni persaingan global dengan Amerika.

Secara geopolitik Indonesia berada dalam pusaran koridor baik Amerika dan China. Namun kondisi kontemporer saat ini baik dilihat dari khususnya dalam aktivitas ekonomi Indonesia bertendensi satu ranjang dengan China. Ini dibuktikan dengan mayoritas impor Indonesia di dominasi oleh Tiongkok sebesar 18.357,2 Juta USD selama periode Jan-Juli 2020 (BPS, 2020) sedangkan Tiongkok menempati tujuan ekspor Indonesia kedua setelah singapura.

Kedekatan Indonesia-China bukan tanpa alasan selain ingin meningkatkan perekonomian nasional kedua belah pihak Indonesia sendiri ingin lepas dari cengkraman dollar. Dedollarisasi atau menurunkan kebutuhan akan dollar merupakan upaya untuk menurunkan permintaan dollar yang pada akhirnya akan menurunkan kekuatan dollar terhadap rupiah. Upaya Indonesia dalam mengurangi kebutuhan dollar adalah dengan Yuanisasi.

Keberadaan Omnibus Law dan Yuanisasi yang kita ketahui bersama di legalkan pemerintah di waktu yang berdekatan. Ini menjadi menarik secara tatanan geopolitik, geoekonomi dan geostrategi rasanya Indonesia telah memantapkan hati untuk di pinang China sebagai ‘kolega’ dalam bertransaksi. Dengan adanya Omnibus Law pemerintah ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi yang massif. Peningkatan investasi yang massif ini diharapkan mampu membuka lapangan pekerjaan yang bersifat padat karya.

Menurut Faisal Basri (2020) nyatanya investasi Indonesia ini memang bukan yang tertinggi di Indonesia namun tidak juga yang terendah, Menurut Global Competitiveness Report (2017) korupsi menduduku nomor satu dalam problem bisnis di Indonesia, di susul oleh inefisiensi birokrasi pemerintah dan akses permodalan. Sejalan dengan data tersebut Basri mendeskripsikan bahwa Indonesia itu layaknya seseorang yang bermakan-makanan bergizi namun tetap kurus/tirus karena ada cacing di dalam perutnya. Ini artinya meskipun terdapat investasi besar-besaran namun kecenderungan perilaku korupsi, birokrasi yang rumit dan permasalahan lainnya akan memberikan tidak bekerjanya investasi dengan baik.

Setelah investasi yang tidak memberikan dampak positif bagi masyarakat, hitam di atas putih antara China-Indonesia harus tetap dijalankan meskipun kemungkinan besar Indonesia menjadi Wanprestasi. Kondisi Wanprestasi ini lah yang akan digunakan oleh China untuk mengol kan kebijakan-kebijakan pro oligarki yang bisa jadi menurunkan upah buruh, mengabaikan AMDAL dalam proses pembangunan, eksploitasi dan eksplorasi yang tidak terkendail yang akhirnya berujung pada terjerembabnya kesejahteraan masyarakat.

Dalam konteks Geopolitik, menurut hemat saya Indonesia terlalu polos dalam memakan umpan China yang kita tahun sendiri sering ‘nakal’ dan mengusik kedaulatan Indonesia. Pemerintah harusnya sadar bahwa kita dapat lepas cengkraman dollar tanpa harus meminta yuan. Pada akhirnya keberadaan UU Omnibus Law dan kebijakan Yuanisasi hanya akan menyengsarakan rakyat, menekan rakyat, dan membuat Indonesia seolah-olah menjadi provinsi baru bagi China. Kabar baiknya mungkin ini adalah upaya pemerintah untuk meniru model pertumbuhan ekonomi China, namun kabar buruknya meskipun kita jadi negara maju kita tidak lagi menjadi majikan di Negara kita.

Refrensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun