Memiliki kulit bersih dan sehat merupakan impian bagi semua perempuan. Tak heran jika berbagai cara dilakukan untuk merawat diri demi mendapatkan hasil yang memuaskan. Kulit bersih dan terawat merupakan cerminan bahwa perempuan dapat menghargai dan mencintai diri mereka. Lantas, apakah ada standar tertentu yang menjadi pedoman bagi perempuan terkait arti "cantik" yang sesungguhnya?
Era globalisasi dan kemajuan teknologi menghasilkan banyak perubahan. Kehidupan manusia yang sangat dinamis membuka peluang baru bagi suatu kebudayaan muncul di tengah-tengah masyarakat. Media massa kini menjadi sangat kompleks menampilkan banyak konten, khususnya iklan produk kecantikan. Berbagai macam produk bersaing dalam memberikan manfaat kepada konsumen. Kreativitas dan inovasi dari suatu perusahaan kosmetik menjadi hal yang sangat penting untuk mengundang konsumen membeli produk mereka. Itulah sebabnya banyak iklan penawaran produk yang tak jarang dinilai telah melewati batas.
Salah satu iklan kecantikan yang tayang pada tahun 2017 silam menuai kontroversi dari masyarakat. Iklan dari produk sabun Dove dinilai telah rasis terhadap warna kulit perempuan. Iklan tersebut menampilkan perubahan seorang wanita berkulit hitam yang membuka kaos coklatnya hingga muncul wanita berkulit putih sebagai representasi hasil dari penggunaan sabun tersebut. Berbagai kritikan muncul dari masyarakat karena mereka menilai ada rasisme yang timbul dari iklan tersebut. Salah satu hal yang sangat disayangkan ketika perusahaan menempatkan wanita berkulit hitam dan putih sebagai "before" dan "after" dari penggunaan produk kecantikan. Iklan seperti ini tentu akan menimbulkan stigma kepada masyarakat bahwa kulit putih merupakan standar kecantikan bagi seluruh perempuan.
Ada berbagai macam strategi yang dibuat oleh suatu perusahaan terkait standar kecantikan perempuan. Standar tersebut akan berbeda setiap negara. Kemunculan standar ini menjadi populer dikalangan perempuan, khususnya bagi mereka yang diterpa produk kecantikan berbasis kulit putih dan mulus. Perusahaan yang menawarkan produk kecantikan sering kali menggunakan model dengan warna kulit yang lebih terang. Promosi tersebut tentu tidak berkenaan ketika ditayangkan di negara yang dominan masyarkatnya memiliki warna asli sawo matang. Terpaan iklan tersebut secara tidak langsung memberikan stigma kepada perempuan bahwa cantik diperuntukkan bagi mereka yang memiliki kulit putih. Basis iklan yang membandingkan warna kulit yang sangat drastis sebelum dan sesudah pemakaian produk justru menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Mereka menilai bahwa tindakan tersebut tidak layak untuk ditayangkan karena menyangkut diskriminasi dan rasisme terhadap warna kulit perempuan.
Modernisme telah jauh membawa kehidupan manusia kedalam terpaan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat kuat. Hal tersebut menyebabkan manusia menjadi mudah untuk dimanipulasi oleh adanya informasi. Manusia seolah-olah menjadi sasaran atas informasi yang dibagikan dalam media massa. Tak heran jika dalam kehidupannya, terdapat perbedaan kelas yang menjadi standar pembeda suatu kelompok masyarakat. Dalam hal ini, timbulnya standar kecantikan yang muncul di tengah-tengah masyarakat tak jarang mengundang diskriminasi dan rasisme terhadap kelompok tertentu. Kecantikan menjadi tujuan yang ingin dicapai oleh perempuan sehingga mereka akan melakukan berbagai macam cara untuk merealisasikan impiannya.Â
Berdasarkan fenomena tersebut, postmodernisme hadir sebagai konstruk dari modernisme. Postmodernisme merupakan suatu ide baru yang menolak pengembangan tentang teori pemikiran sebelumnya yang dianggap telah gagal dan bertanggung jawab terhadap kehancuran martabat manusia (Setiawan & Sudrajat, 2018, h. 28). Jika dilihat dari fenomena iklan produk Dove, masyarakat mengecam iklan tersebut yang dinilai mengelompokkan standar kecantikan perempuan dari warna kulit mereka. Salah satu teori postmodernisme "Masyarakat Konsumer" yang dicetuskan oleh Jean Baudrillard juga memiliki keterkaitan dengan pembahasan tersebut. Teori ini muncul karena adanya persoalan sosial yang terjadi akibat pengaruh dari media massa yang menampilkan proses penyebaran informasi mengenai gaya hidup, fesyen, hingga perkembangan komputerisasi. Baudrillard juga melihat fenomena budaya postmodernism sebagai konstruksi dari peran media terhadap kenyataan yang sesungguhnya (Fansuri, 2012, h. 33).
Sejatinya, kecantikan perempuan tidak hanya dinilai dari warna kulit dan bentuk tubuh mereka. Sering kali media massa menampilkan sosok dan citra perempuan sebagai objek dari visual mereka. Masyarakat dapat dengan mudah dimanipulasi oleh perkembangan informasi melalui media. Konsep kecantikan menjadi sangat luas sehingga muncul ketidakpuasan di kalangan perempuan. Hal yang harus kita ingat bahwa perempuan cantik adalah perempuan yang percaya akan diri dan kemampuan mereka, menekuni bidang yang mereka kuasai, hingga bersyukur atas segala yang mereka punya.
Daftar Pustaka
Fansuri, H. (2012). Globalisasi, postmodernisme dan tantangan kekinian sosiologi Indonesia. Jurnal Sosiologi Islam, 2(1). 25-40
Setiawan, J. & Sudrajat, A. (2018). Pemikiran postmoderisme dan pandangannya terhadap ilmu pengetahuan. Jurnal Filsafat, 28(1). 25-46.