Para pemimpin negara anggota G-20 saling "menembak" para mitra dagang dengan kalimat-kalimat diplomatis (kompas, 12 November). Kondisi tersebut mewarnai berlangsungny KTT G-20 di Seoul.
Aksi Amerika Serikat untuk menurunkan kurs mata uangnya merupakan respon terhadap tindakan pemerintah Cina yang telah mematok kurs mata uang Yuan terlalu rendah sebagai akibat memicu semakin meningkatnya nilai ekspor Cina ke berbagai negara. Ternyata tindakan inipun juga dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat, yang sebelumnya paling mengecam tindakan pemerintah Cina.
Beberapa hari sebelumnya, pada saat Obama berkunjung ke Indonesia, diumumkan secara resmi oleh kedua kepala negara mengenai bentuk kerjasama perdagangan yang akan dilakukan oleh Amerika Serikat dan Indonesia untuk mewujudkan suatu keseimbangan yang dinamis (dynamic equilibrium) sehingga mampu memberikan kestabilan ekonomi baik secara regional maupun global.
Namun pada kenyataannya apa yang terjadi selama KTT G-20 berlangsung terkesan dan hanya mengarah pada konsep proteksi yang dilakukan oleh masing-masing anggota terutama negara-negara anggota G-20 yang memiliki kekuatan ekonomi. Lalu bagaimana dengan Indonesia sendiri? Dimanakah letak dan posisi kekuatan diplomasi Indonesia dalam menangkal berbagai proteksi yang dilakukan oleh negara-negara tersebut? Apakah Indonesia hanya mampu menjadi kekuatan pendukung dari eksistensi hagemoni ekonomi Amerika Serikat?
Mudah-mudahan kerjasama Amerika Serikat dan Indonesia tersebut tidak hanya sebatas pada memberikan perlindungan bagi kepentingan ekonomi Amerika Serikat belaka, karena apaun yang alasannya jika hanya menggantikan posisi Cina sebagai salah satu negara terbesar pengimpor barang dan komoditas ke Indonesia, tanpa adanya peningkatan yang cukup signifikan terhadap ekspor Indonesia (khususnya ke Amerika Serikat) bukanlah suatu prestasi yang dapat dibanggakan. Dan jika kerjasama tersebut hanya mampu menjadikan lampu hijau bagi Amerika Serikat untuk lebih banyak mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia, tanpa memberikan kontribusi yang besar bagi peningkatan ekonomi domestik di Indonesia, bukanlah suatu tindakan yang tepat juga. Karena apapun bentuknya hanya bangsa Indonesia sajalah yang tau bagaimana memanfaatkan kekayaan alam ini bagi kehidupan masyrakatnya dan bukan pihak asing. Mungkin suatu perspektif yang terlalu picik, dan terlalu prematur untuk mengatakan tersebut, tetapi bagi saya dengan masuknya investasi asing diharapkan mampu menyumbangkan devisa yang besar dan berguna bagi Indonesia dalam memakmurkan rakyatnya dan bukan hanya sebagai penonton yang hanya mampu melihat begitu hebatnya investasi yang dilakukan, dan berharap bahwa dengan investasi yang dilakukan tersebut tidak hanya mampu memberikan dampak negatif bagi lingkungan dan memberikan warisan berupa kerusakan lingkungan bagi warga sekitar. (snt)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H