Mohon tunggu...
fauny hidayat
fauny hidayat Mohon Tunggu... wiraswasta -

swasta, independen, tak punya afiliasi ke partai politik manapun

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kita Diajari untuk Tidak Percaya

15 Juni 2016   23:33 Diperbarui: 15 Juni 2016   23:43 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fadli Zon meragukan KPK karena ‘meloloskan’ Ahok dari kasus sumber waras (http://nasional.kompas.com/read/2016/06/14/20300731/ragukan.kpk.fadli.zon.bersikeras.ada.korupsi.di.kasus.rs.sumber.waras). Fadli Zon dengan versinya sendiri yakin bener, ada kerugian negara dan Ahok mestinya jadi tersangka. Emang Fadli Zon aparatur penegak hukum?

Lalu, ramai-ramai pula BPK dan hasil audit investigasinya ‘disalahkan’. Hanya karena KPK tak menemukan dasar ada kerugian negara atau masalah hukum setelah hasil audit investigasi itu dijadikan dasar penyelidikan KPK. Adakah yang salah dengan itu?

Sebagai orang awam saya melihatnya ‘biasa saja’. BPK sudah benar mengeluarkan audit investigasinya (sesuai dan karena juga diminta KPK sendiri), dengan standar-standar audit tertentu. Itu sudah menjadi keahlian BPK. Kalaupun KPK setelah melakukan penyelidikan tak menemukan kasus hukumnya, terus apa? Ya sudah dong, selesai.

Ujung-ujungya soal: kita mau percaya atau tak percaya dengan KPK. Juga terhadap BPK.

Soal percaya atau tak percaya ini, sejarah politik, juga hukum, di Indonesia sungguh panjang. Dan buanyak banget. Putusan hakim di pengadilan banyak gak dipercaya. Sebabnya banyak. Bisa saja karena suap-menyuap. Baru saja bahkan kita baca berita: KPK tangkap tangan panitera pengadilan diduga kasus Saipul Jamil. Meski belum jelas benar, kasusnya mungkin sekitar sogok-menyogok aparat pengadilan (http://nasional.kompas.com/read/2016/06/15/20311391/operasi.tangkap.tangan.kpk.diduga.terkait.kasus.saipul.jamil.)

Gimana pengadilan dan aparat penegak hukum bisa dipercaya kalau sogok menyogok dan mafia-nya ada di segala lini. Karena itu aneh, bila ‘darurat penegakkan hukum’ atau ‘darurat pemberantasan mafia hukum’—atau ‘darurat-darurat’ lainnya dalam penegakan tak diberlakukan. Masak hanya ‘darurat kejahatan seksual’?

Kasus politik, apalagi. Banyak orang merasa muak dengan partai dan politisi. Teman Ahok gak percaya partai, padahal partai juga sama-sama ‘berhak’ mencalonkan Ahok di Jakarta.

Lembaga politik, seperti partai politik dan DPR adalah dua lembaga yang tingkat kepercayaan masyarakat selalu lebih rendah terhadapnya bila dibandingkan lembaga negara lain seperti KPK, Presiden dan TNI. Lihat saja hasil survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis Januari 2014 lalu (http://indikator.co.id/uploads/20160208141409.Bahan_Rilis_Indi_KPKJOKOWI.pdf). Lembaga yang paling rendah tingkat kepercayaannya adalah partai politik 39.2%, selanjutnya DPR 48.5%. Hanya 4 dari 10 orang di Indonesia yang percaya partai, dan hanya separuh dari 10 orang di Indonesia yang percaya DPR.

Elit dan pemimpin kita juga gampang mencontohkan semangat gak percayaan (distrust) dengan lembaga lain yang dianggap kredibel. Bahkan itu lembaga resmi negara. DPR gak percaya KPK atau jaksa gak percaya sama hakim. Politisi lebih percaya gosip-gosip daripada fakta hukum. Maka jadilah masyarakat kita diajari tak percayaan dengan apa yang menjadi ‘fakta’ atau ‘data’, karena lebih percaya pada gosip, bisik-bisik dan bahkan hasutan.

Amboi negeriku.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun