[caption caption="m.rmoljakarta.com/news.php?id=22004"][/caption]Lumayan keren. Kali ini, Ketua Majelis Tinggi Jakarta Bersyariah (MTJB), Habib Muhammad Rizieq Syihab Rizieq Sihab, atau biasa dipanggil Habib Rizieq Sihab, menggelar hajat “Konvensi Gubernur Muslim Jakarta” (KGMJ). Lumayan keren—meski, pasti, Basuki Cahaya Purnama atau Ahok menanggapinya sinis—karena pake istilah modern yang diadopsi “dari luar” yakni “konvensi” (enggak pake istilah arab atau berbahasa arab—lihat fotonya), dengan cara yang “demokratis” pula (dan lagi-lagi itu juga modern).
Cara lumayan keren yang dilakukan Habibi Riziieq ini membuat saya tersenyum. Dengan menggunakan “konvensi” dan cara yang demokratis-modern itu sang habib sudah sedikit bergeser dari pakem selama ini, yang selalu menggunakan terminologi arab dan Islam. Bahkan, “mengadopsi” cara Amerika yang selama ini musuh bebuyutan dan objek hujatan sang habib.
Tapi saya tak ingin membahas soal itu di tulisan ini. Saya ingin mengungkapkan saja: apakah konvensi yang dilakukan sang habib itu punya dasar atau punya pijakan untuk terlibat dalam proses pemilihan gubernur Jakarta?
Bila dilihat dari ketentuan yang ada, tentu hanya Parpol atau kumpulan Parpol yang bisa mencalonkan seseorang menjadi calon gubernur. Selain itu hanya ada calon independen/non-parpol.
Sebagai “cara”, KGMJ tentu ada dasarnya. Paling tidak, partisipasi masyarakat sipil dalam rangka terlibat dalam proses demokrasi di Jakarta. Partisipasi, keterlibatan, dijamin dalam proses demokrasi dan UU kita.
KGMJ buat saya sudah berada di jalan yang bener dalam menempuh proses tersebut. Apalagi, diasumsikan bahwa penduduk Jakarta dan yang mempunyai hak pilih masih mayoritas muslim, sebut saja di angka sekitar 85%. Wajar bila KGMJ membuat lebel “Muslim” disitu; selain tentu saja semangan yang melatarbelakanginya adalah posisi yang diambil sang habib sendiri terhadap incumben Gubernur Jakarta Basuki Cahaya Purnama atau Ahok.
Namun, sebenarnya tak gampang—meski bukan tidak bisa—KGMJ mencapai tujuannya, yakni ingin menyatukan semua potensi umat Islam Jakarta dan mengikhtiarkan hanya 1 (satu) pasangan calon yang akan melawan Ahok.
Yang membuat tidak gampang (dan memang apa sih kerjaan yang gampang mencapai tujuan!), antara lain sikap dan karekteristik pemilih Jakarta sendiri. Pertama-tama, lihat saja data Parpol pemenang Pemilu Legislatif 2014 lalu. PDIP 27% dan berikutnya Gerinda 13%. Partai sekuler pemenang, dan bukan Parpol Islam! Sementara Parpol Islam (disebut begitu karena azas partainya Islam) berada di papan tengah dan bawah. PPP dan PKS misalnya, di angka 9%-an saja. PKB hanya 5%. Bahkan dua partai Islam lain, yakni PAN dan PBB hanya dapat dibawah 5%.
Berikutnya, soal etnis. Jangan lupa, secara statistik, populasi Jakarta mayoritas adalah Jawa sekitar 36%, Betawi 28%, Sunda 15%, dan Tionghoa 7%. Etnis lainnya seperti Bugis, Padang, Batak dibawah itu. Kalau dilihat dari gabungan agama dan etnis, maka etnis Jawa dan Sunda pasti terbelah sebagai “muslim dan non-muslim”. Hanya etnis Betawi yang bisa disebut mayoritas “muslim”. Apa artinya itu? Adalah: agama dan juga etnis tentu faktor elementer pemilih Jakarta menentukan pilihannya.
Namun, lagi-lagi harus dilihat faktor penentu lain yakni si calon sendiri yang akan dimajukan. Kualitas personal calon dan track record-nya juga hal yang penting sekali. Dan dibawah semua itu, yang justru yang paling elementer pula adalah faktor keterkenalan kandidat yang akan dimajukan/diusung dan sejauhmana kemudian pemilih menyukai kandidat bersangkutan.
Kita bisa berasumsi banyak hal, tapi mudah memprediksinya. Karena peserta KGMJ ini dibatasi “Muslim”, maka mayoritas calon yang beredar saat ini otomatis bisa mendaftar karena all muslim, kecuali Ahok, hehe… Siapa yang kemudian lolos KGMJ itu yang menarik. Meski bisa dianggap tak terlalu penting oleh para kandidat mengikuti KGMJ ini…hehe. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H