Mohon tunggu...
fauny hidayat
fauny hidayat Mohon Tunggu... wiraswasta -

swasta, independen, tak punya afiliasi ke partai politik manapun

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Agustino 1: Menangis di Pernikahan

5 Mei 2015   13:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:21 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini saya persembahkan untuk kakak saya tercinta, Agustino namanya. Sebagaimana judul tulisan ini. Memang bukan kakak kandung, tapi buat saya dia adalah kakak kandung saya sendiri. Memang hanya  kakak sepupu. Tapi sejak kecil, kami seperti kakak beradik. Saya merasa sering dibela dan dilindungi, saat diejek atau dikerjai. Saya sendiri anak pertama, dan dia anak pertama paman saya.

Hari ini, Minggu 3 Mei 2015, dia kembali menikahkan puterinya. Duluan nikah, sebenarnya puteri keduanya. Nah, ini giliran yang pertama. Saat menyerahkan sebagai wali nikah ke penghulu, dia gak bisa menahan tangis lagi. Terisak-isak sangat. Rupanya, dia sedih karena mengingat sejak saat di dalam perut pun puteri pertamanyaitu sebenarnya sudah hidup dalam kesusahan. Sang ibu ngidam nasgor yang seharga 500 rupiah aja gak bisa kebeli, saat itu. Hanya ada 300 rupiah dan si tukang nasgor gak mau membuatkan nasgor-nya seharga yng diminta.

Saat lahiran, kondisi keluarganya benar-benar susah. Agustino juga bingung, entah darimana waktu itu bisa dapat uang untuk lahiran. Saat tahu dan kenal jajan, Very—puteri pertamanya itu, dan sedang dia nikahkan—juga gak pernah bisa melakukannya. Karena gak punya duit. Hanya melongo, melihat teman-teman-temannya bisa jajan, sedang dia sendiri tak bisa jajan. Dan hanya diam. “Sedih banget,” kisah Agustino. Dan matanya masih memerah.

Kenangan susah itulah yang membuat Agustino tersedu-sedu saat menikahkan puterinya itu. Kesedihannya itu yang memicu saya membuat sedikit tulisan tentang dia. Bagi saya, dia keluarga yang saya banggakan. Saya gak malu menyebutnya sebagai kakak kandung, meski bukan kakak, saya gak malu memperkenalkannya ke siapapun sebagai kakak, meski dia miskin. Tapi, buat saya, dia miskin tapi bahagia. Dia miskin tapi penuh kebanggaan.

kalau keluarga besar rata-rata gak bisa datang di perniakahan puterinya ini, dia maklum, legowo. Karena berada di pulau yang terpisah jauh dari Surabaya. Merasa sedih, hanya karena ingat saat betapa susah telah mengawali hidup putrinya itu. Dan susah itu sampai saat ini. Mungkin susah banget tidak, karena saat ini bisa hidup dengan sangat sederhana dan punya uang untuk membiayai kehidupannya. Dan kehidupan yang “susah” itu sudah berlangsung sejak lebih dari 30 tahun lalu…..** (bersambung....)

Fauny Hidayat

agustino saat menikahkan puterinya, di musholla

---stasiun gubeng, 3 mei 2015.--

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun