Pemilu dan Pilkada 2024 mendatang menjadi ujian kritis bagi daya tahan demokrasi Indonesia, yang telah tumbuh selama lebih dari dua dekade pasca-reformasi. Sebagai negara dengan penduduk keempat terbanyak di dunia, sistem demokrasi Indonesia menghadapi berbagai tantangan unik, baik dari sisi internal maupun eksternal. Berbeda dengan negara-negara lain yang cenderung lebih homogen, Indonesia dihuni oleh masyarakat yang sangat beragam secara etnis, agama, dan budaya, yang menjadikan proses demokrasi tidak hanya soal pengumpulan suara, tetapi juga menjaga kohesi sosial.
Salah satu tantangan terbesar dalam Pemilu 2024 adalah potensi munculnya politik identitas yang semakin memperdalam polarisasi di masyarakat. Dalam Pilkada sebelumnya, isu agama dan etnisitas sering digunakan sebagai alat politik yang efektif untuk menggalang dukungan, namun di saat yang sama merusak fondasi kohesi sosial yang seharusnya diperkuat oleh proses demokrasi. Di sisi lain, elite politik kerap menggunakan isu-isu identitas ini untuk menutupi kurangnya program substansial dalam visi kepemimpinan mereka. Pemanfaatan isu-isu tersebut tidak hanya mengancam keutuhan bangsa, tetapi juga berpotensi memicu ketidakstabilan politik dalam jangka panjang.
Selain itu, fenomena politik "dinasti" juga semakin marak. Banyaknya keluarga politik yang mencalonkan diri, baik dalam Pemilu legislatif maupun Pilkada, menandakan adanya praktik oligarki yang masih kuat bercokol di dalam sistem politik Indonesia. Politik dinasti ini bisa dilihat sebagai bentuk kemunduran demokrasi karena mempersempit peluang bagi individu-individu berkompeten yang tidak memiliki koneksi keluarga politik untuk ikut serta dalam pemerintahan. Hal ini juga menimbulkan kekhawatiran terkait bagaimana demokrasi dapat benar-benar memberikan kesempatan yang sama kepada semua warga negara, tanpa adanya bias terhadap status sosial atau afiliasi keluarga.
Tantangan lain yang juga penting adalah rendahnya partisipasi politik yang disebabkan oleh apatisme masyarakat terhadap proses politik. Pemilu dan Pilkada seringkali dianggap sebagai rutinitas lima tahunan tanpa ada perubahan signifikan dalam kualitas kehidupan masyarakat. Kekecewaan terhadap kinerja pemerintah daerah maupun pusat sering kali menjadi alasan mengapa banyak masyarakat memilih untuk golput atau tidak terlibat aktif dalam proses politik. Tingkat partisipasi yang rendah ini merupakan sinyal yang mengkhawatirkan bagi demokrasi yang sehat, karena demokrasi membutuhkan partisipasi aktif dari warga negara untuk bisa berfungsi dengan baik.
Namun, di tengah berbagai tantangan tersebut, daya tahan demokrasi Indonesia juga menunjukkan berbagai indikator positif. Salah satunya adalah keberhasilan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam menjalankan tugas mereka untuk memastikan proses Pemilu dan Pilkada berjalan dengan adil dan transparan. Walaupun masih ada celah, lembaga-lembaga ini secara konsisten bekerja untuk meminimalisir kecurangan dan menjaga kepercayaan publik terhadap hasil pemilu. Penggunaan teknologi seperti e-rekapitulasi juga diharapkan dapat mengurangi potensi manipulasi hasil pemilu, meskipun masih ada kekhawatiran terkait keamanan data dan aksesibilitas teknologi di daerah-daerah terpencil.
Di sisi lain, demokrasi Indonesia juga dihadapkan pada tantangan eksternal, khususnya dalam menghadapi pengaruh global. Era disrupsi informasi, yang ditandai dengan maraknya berita hoaks dan kampanye disinformasi, menjadi ancaman serius bagi pemilih yang tidak memiliki literasi media yang memadai. Penyebaran informasi palsu yang bertujuan memecah belah masyarakat atau mendiskreditkan calon tertentu dapat merusak proses demokrasi yang seharusnya berjalan adil dan terbuka. Fenomena ini juga menantang media massa untuk lebih berperan sebagai penjaga demokrasi dengan memastikan bahwa publik mendapatkan informasi yang akurat dan berimbang.
Partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi juga tidak lepas dari sorotan. Kualitas rekrutmen calon pemimpin sering kali menjadi masalah, dengan minimnya seleksi berdasarkan kompetensi dan lebih berfokus pada popularitas atau hubungan patronase. Hal ini tentu berdampak pada kualitas pemimpin yang dihasilkan, baik di tingkat lokal maupun nasional. Pada Pemilu dan Pilkada 2024 nanti, partai politik dituntut untuk lebih serius dalam melakukan seleksi kader dan menyajikan program yang benar-benar relevan dengan kebutuhan rakyat, bukan sekadar slogan kosong.
Meskipun berbagai tantangan di atas tampak kompleks, daya tahan demokrasi Indonesia tetap memiliki harapan besar untuk bertahan. Salah satu kunci utamanya adalah pendidikan politik yang harus ditingkatkan, tidak hanya melalui jalur formal seperti sekolah dan universitas, tetapi juga melalui media dan platform digital yang semakin digandrungi masyarakat, khususnya generasi muda. Meningkatkan literasi politik di kalangan pemilih, khususnya yang pertama kali memilih, akan sangat membantu dalam membangun basis pemilih yang kritis dan rasional. Generasi muda sebagai tulang punggung masa depan demokrasi Indonesia harus dipersiapkan agar mereka tidak terjebak dalam politik transaksional atau isu-isu identitas sempit.
Pada akhirnya, daya tahan demokrasi Indonesia terletak pada kemampuan seluruh elemen bangsa untuk menjaga integritas dan substansi dari proses demokrasi itu sendiri. Pemilu dan Pilkada 2024 akan menjadi momen penting untuk menguji apakah Indonesia bisa terus melangkah maju sebagai negara demokratis yang inklusif dan adil. Partisipasi aktif masyarakat, kinerja institusi pemilu yang kredibel, peran media yang bertanggung jawab, serta komitmen dari partai politik untuk menawarkan pemimpin yang berintegritas menjadi pilar-pilar yang harus dijaga agar demokrasi Indonesia tetap kokoh di tengah berbagai tantangan yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H