AQUANETTA
Biarkan air ini mengalir dan mengalir. Alirkan saja biar deras agar tak lagi ada alas. Alas duka yang melanda hati, alas sendu yang menyapa kalbu. Air beriak tanda tak dalam. Nah, air itu bukan aku. Aku beriak-riak menghantam badai hidup yang begitu dahsyatnya hingga begitu dalam, dalam hampanya dan dalam pahitnya.
Sungguh, aku sedang memastikan air sirup itu benar-benar manis dan air kopi itu benar-benar pahit. Biar pasti, maka aku tak diam. Diam lagi itu bencana dan aku bertindak.
Jika air itu mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, maka begitupun air yang jatuh dari pelupuk mata Umi. Airnya deras, seperti air terjun di curug Cilember Bogor, tempat rekreasi terakhir sama Abi. Tapi ada yang beda dari air terjun, yang ini tanpa suara. Lirih. Tapi, saat itu aku bukan air, tak ada yang mengalir dan tak ada yang berdesir. Terpaku takdir, Abi pergi.
Sekaranglah. Biar aku hantam karang di laut, agar tak ada lagi air yang pasang surut di tepi pantai rumahku. Rumahku bersama Umi yang masih tertegun bisu karena terlalu pilu. Teruskan lagi asa ini, agar tak beda lagi dengan air. Biar asa dan semangatku mendidih hingga 100Ëš Celcius meluap-luap dalam dekapan ridho Umi. Aquanetta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H