Mohon tunggu...
Fatya AthaArgiyanti
Fatya AthaArgiyanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Sejarah UNPAD

Aku adalah seorang anak sulung umur 18 tahun yang menggemari novel anak-anak dan (terlalu) jatuh cinta dengan semur baso-tahu buatan mama!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Roehana Koeddoes: Langkah Pemberdayaan untuk Perempuan, dari Perempuan

3 Juli 2024   14:59 Diperbarui: 3 Juli 2024   15:32 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pergerakan Nasional adalah salah satu masa yang mempunyai peran dan pengaruh penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Muncul pada awal abad ke-20, pergerakan nasional lahir atas reaksi terhadap penjajahan yang dilakukan oleh Belanda selama ini. Nasionalisme yang tumbuh dari kesadaran bangsa Indonesia membentuk gerakan-gerakan yang menuntut kemerdekaan dan pengakuan atas identitas bangsa. Pergerakan Nasional menjadi tonggak penting dalam membangkitkan semangat kebangsaan dan persatuan meskipun menghadapi tantangan yang sangat besar seperti perbedaan suku, agama, dan lain-lain. Masa ini diwarnai dengan banyak munculnya organisasi-organisasi politik, surat kabar, partai yang bercita-cita mewujudkan kemerdekaan. Salah satu tokoh yang terlibat atau berpartisipasi dalam masa pergerakan nasional adalah Roehana Koeddoes, sang jurnalis atau wartawati pertama di Indonesia. 

Roehana Koeddoes adalah seorang perempuan dari etnis Minangkabau. Pada abad ke-19 di Minangkabau, terdapat perbedaan kedudukan antara perempuan dengan laki-laki. Perempuan memang dimuliakan, ditinggikan, dan dilindungi oleh keluarga, ninik mamak, ataupun suaminya di lingkungan etnis Minangkabau, tetapi hal-hal tersebut membuat ia dianggap lemah, sehingga ia dilarang bekerja di luar rumah, merantau, ataupun menuntut ilmu, oleh karena ini juga, perempuan mendapatkan seluruh harta warisan, seperti rumah gadang, sawah, dan ladang milik keluarga. Namun, pemberian harta warisan ini hanya berlaku bagi mereka yang berada di kelas ekonomi atas atau menengah-ke atas, sedangkan bagi perempuan menengah-ke bawah atau miskin, maka ia berkemungkinan besar tidak mendapatkan apa-apa (Jamaria, 2002). Perempuan di mata etnis Minangkabau pada masa itu dididik untuk taat kepada orang tua dan mengabdi untuk suaminya, karena yang paling penting bagi mereka adalah ketika perempuan pandai dalam memasak di dapur, mengatur rumah tangga, mendidik anak, dan melayani suaminya (Dedi, 2017).

Roehana Koeddoes atau yang bernama asli Siti Roehana adalah seorang perempuan—dari etnis Minangkabau yang lahir pada tanggal 20 Desember 1884 di Koto Gadang, Kabupaten Agam Sumatera Barat—yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal, kemampuan baca-tulisnya ia peroleh dari sang Ayah, Mohammad Rasjad Maharadja Soetan, yang merupakan seorang pegawai pemerintah Belanda dan pendiri Sekolah Rakyat khusus bagi pribumi di Koto Gadang (Putra, 2012). Roehana tinggal berpindah-pindah, mengikuti tugas sang ayah. Dimanapun Roehana berada, ia selalu menjadi penggerak bagi anak-anak seusianya untuk pandai membaca, semangatnya dalam membagi ilmu membuat Roehana disenangi dan terkenal di tengah-tengah masyarakat. Di tahun 1897, setelah sang ibu wafat dan karena keputusan ayahnya untuk menikah lagi dengan anak jaksa di Bonjol yang berasal dari Natal, Roehana memutuskan untuk kembali menetap di Koto Gadang (Oktarina & Putra, 2021: 61). Kepulangan Roehana menjadi pukulan telak baginya akan kesetaraan gender, di kampung halamannya, semua perempuan hanya diperbolehkan mengerjakan pekerjaan domestik dan tidak diperkenankan mengenyam pendidikan yang layak. Langkah konkrit pemberdayaan kepada perempuan untuk menciptakan hak kehidupan yang setara, dilakukan oleh Roehana, pada tanggal 11 Februari 1911, ia mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS). Kerajinan Amai Setia pada awalnya hanyalah sebagai tempat berkumpul dan bertemu perempuan-perempuan Koto Gadang, seiring berjalannya waktu, Roehana Koeddoes mulai mengajari para perempuan yang tergantung dalam KAS, berbagai hal yang mampu mendobrak pola pikir mereka, seperti menulis, membaca, berhitung, urusan rumah tangga, agama, akhlak, kepandaian tangan, jahit-menjahit, gunting-menggunting, sulam-menyulam, dan lain-lainnya (Fitriyanti, 2019: 39). Gerakan yang dilakukan Roehana mendapatkan penolakan besar, terutama dari golongan pemuka adat yang berteguh diri, bahwa perempuan tidak memerlukan pendidikan formal dan cukup mengurusi urusan sumur, dapur, dan kasur. Roehana tak putus asa, ia mengadakan pertemuan dan mengundang seluruh perempuan Koto Gadang. Diinformasikan pertemuan tersebut dihadiri lebih dari 60 orang perempuan, dan empat orang laki-laki sebagai tokoh masyarakat Koto Gadang (Etek dan kawan-kawan, 2007).

Gerakan Roehana tidak berhenti di pendidikan kerajinan tangan, ia juga mulai terjun ke dunia jurnalis, mendidik perempuan melalui surat kabar dan sudut pandang modern. Ia mendirikan Soenting Melajoe di tahun 1912 yang bertahan hingga tahun 1921. Soenting Melajoe menjadi surat kabar perempuan pertama di Indonesia, wadah bagi perempuan untuk menuntut keadilan akan hak hidup. Roehana sendiri pernah menyampaikan cita-cita dan harapannya soal perempuan di dalam sebuah syair yang terbit di surat kabar tersebut, berikut adalah syair buatannya:

"Pelbagai benih boeah fikiran. Percatoeran politik yang bertaboeran. Perempoean dan laki-laki berhamboeran. Peri kemajoean dan kemanoesiaany. Ayok mari ke taman Soentinge. Hemboerkan benih yang penting-penting. Anyam menganyam, goenting-menggoenting. Haloes dan kasar dahan dan ranting. Perempoean haroes menggerakkan diri. Patoetlah poela mengeloearkan peri. Penarah nan kesat nak hilang doeri. Penghentian goenjing sehari-hari. Akan menjadi tiroe teladan. Anak padoesi nak jan nyo edan. Ajak sekolah majoe ke medan. Ajaklah hormat merendahkan badan" (Djaja, 1980: 52-53).

Tak hanya itu, Roehana juga pernah menulis sebuah artikel berjudul "Perhiasan Pakaian" yang kemudian terbit di Soenting Melajoe. "Perhiasan Pakaian" mendapatkan perhatian yang cukup luas dari berbagai kalangan, termasuk pemerintahan Hindia Belanda. Pada tanggal 20 November 1913, Pemerintahan Hindia Belanda mengizinkan Roehana untuk melaksanakan aksi galang dana yang dananya digunakan untuk membeli tanah guna membangun gedung sekolah, ruang guru, dan ruangan khusus untuk memamerkan hasil produk keterampilan Kerajinan Amai Setia (Fadhila, 2023). Roehana pernah tergabung juga dalam surat kabar Perempoean Bergerak dan surat kabar Radio. harian yang diterbitkan di Cinta Melayu. Tulisan Roehana pada umumnya membahas soal kesetaraan perempuan atau ajakan agar perempuan semakin maju. Meskipun begitu, di mata sebagian masyarakat, Roehana mungkin dinilai pro-Belanda, karena tulisannya dalam Soenting Melajoe yang berjudul "Jang Mahamoelia Seripedoeka Toean Dr. van Ronkel". Cap atas keberpihakan Roehana tentu bisa ditepis melihat keberanian Roehana dalam tulisan yang ia tuju pada pemerintah Belanda. Berdasarkan Janti (2019) dalam tulisan yang diunggah di laman Historia, Roehana tak jarang mengkritik pemerintahan Belanda, kritikan yang diungkapkan oleh Roehana antara lain mengenai pergundikan yang dilakukan oleh orang-orang Belanda terhadap perempuan Indonesia, pekerjaan tak manusiawi di perkebunan Deli, dan juga permainan para mandor yang menjebak buruh-buruh perempuan dalam prostitusi.

Roehana Koeddoes bukan hanya seorang tokoh emansipasi wanita, tapi juga tokoh penggerak bangsa. Keterlibatan Roehana Koeddoes dalam berbagai isu-isu wanita membuktikan kepada kita, bahwa masa pergerakan nasional sudah menjadi masa yang tak akan terlupakan oleh kita. Munculnya gerakan perubahan dan pengaruh karena perjuangan-perjuangan yang dilakukan oleh orang-orang di masa itu, sudah sepatutnya membuat hati kita ikut tergerak untuk menegakkan keadilan dengan penuh cita-cita. Perjuangan Roehana Koeddoes dalam pemberdayaan hak perempuan Minangkabau yang pada masa itu kedudukannya tidak setara dengan para laki-laki—mereka dimuliakan dan dilindungi, tapi juga dianggap lemah karena hal itu sehingga para perempuan dilarang bekerja, merantau, atau menuntut ilmu dan hanya boleh melakukan pekerjaan domestik—merupakan bentuk pergerakan yang berharga. Seperti yang telah dikatakan di paragraf sebelumnya, upaya Roehana sempat mendapat penolakan besar dari kalangan adat yang menganggap perempuan tak perlu pendidikan, tapi ia tak putus asa dan terus melanjutkan perjuangannya. Langkah-langkah untuk memberdayakan perempuan tak hanya dilakukan melalui Kerajinan Amai Setia, tapi Roehana juga tergabung dalam berbagai redaksi surat kabar. Dengan semua perjuangannya ini, Roehana Koeddoes menjadi pelopor gerakan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Minangkabau pada awal abad ke-20 dan cukup pantas bagi beliau untuk setidaknya menerima gelar pahlawan nasional.

—

Artikel ini ditulis oleh Fatya Atha Argiyanti dan Wisnu Maherda Syahputra.

Referensi:

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun