Berawal dari tugas mata kuliah Sosiologi di kampus saya, yang diampu oleh Dra. Marfuah Sri Sanityastuti, saya mendapatkan pengalaman yang sangat berharga karena berkesempatan bertemu dan mewawancarai pengurus Pondok Pesantren Waria “Al-Fatah” yang mana ke empat pengurus pesantren tersebut semua juga seorang waria. Tugas dari dosen saya tersebut tentang Relasi Komunitas Waria dalam Masyarakat yang ditinjau dari Tiga Paradigma Sosial dan Grand Theory Sociology. Awalnya kami juga ingin mewawancarai masyarakat di sekitar Pondok Pesantren tersebut, namun karena informasi dari Ibu Shinta (Ketua Pondok Pesantren Waria) sudah mencakup data yang diperlukan, alhasil Dhamar, Hanif dan saya hanya mewawancarai komunitas warianya saja.
Sebelum berhasil menemukan letak pesantren tersebut, kami sempat tersesat. Kami mencari tau info letak Pondok Pesantren tersebut dari Internet, dan muncullah data yang bertuliskan daerah Notoyudan, Yogyakarta. Setelah sholat ashar, kami meluncur ke Notoyudan. Namun, ternyata Pondok pesantren disana sudah dipindah ke Kotagede, ke rumah Ibu Shinta yang dulunya adalah sanggar seni untuk menari, paduan suara, dan menyanyi. Pondok Pesantren yang ada di Notoyudan pindah karena Ibu Maryani, dulu sebagai ketua Ponpes tersebut, beliau meninggal dunia dan rumahnya hanya berupa rumah kontrakan, maka dari itu dipindahlah Ponpes tersebut ke Kotagede, juga pindah pula posisi Ibu Shinta yang dulunya sebagai bendahara kini menjadi ketua Ponpes melanjutkan perjuangan Ibu Maryani.
Ibu Maryani adalah teman Ibu Shinta sejak komunitas itu dibentuk. Mereka bertemu tahun 1982, lalu dibentuklah Organisasi Waria (Waria Jogja). Ibu Maryani sebagai ketua dan pelindung atau keamanan anggota komunitas itu, sedangkan Ibu Shinta sebagai bendahara. Saat gempa Yogyakarta, 2006, dibentuklah kelompok pengajian. Ibu Maryani bertugas mencari tempat dan Ustadz, sedangkan Ibu Shinta bertugas mengumpulkan teman-teman waria, lalu dibentuklah Pengajian Rutin Selasa Kliwon, sebagai cikal bakal berdirinya Ponpes waria tersebut. Bersama Ustadz Hamroni, para waria yang mengikuti pengajian ngaji bersama dan belajar Al-Quran, sedangkan saat Ramadhan tiap malam senin dan malam kamis diadakan kegiatan seperti pesantren kilat supaya paling tidak mereka membiasakan diri berpuasa, paling tidak puasa senin kamis terlebih dahulu dengan sama-sama sholat taraweh dan sahur bersama.
Kegiatan di PonPes Waria ini diadakan tiap hari Minggu, pukul 17.00 WIB, mereka mengaji, jamaah sholat maghrib, pengajian atau belajar seperti di kelas, dan sharing. Total seluruh santri Ponpes tersebutada 40 waria (36 islam, 4 kristen&katholik) namun yang aktif kurang lebih 15 waria. Salah satu keunikan santri ponpes Waria ini, jika sholat, mereka dibebaskan menjalankan sholat dengan keyakinan mereka masing-masing. Jika waria itu memakai sarung dan peci, berarti mereka masih menganggap diri mereka dakan diterima Allah ibadahnya jika mereka tetap menjadi laki-laki. Jika waria itu memakai mukena, berarti mereka menganggap bahwa mereka waria karena sudah ditakdirkan Allah, Allah tau kalau sebenarnya mereka adalah wanita, Allah tidak bisa ditipu. Namun mereka menggarisbawahi, jika intinya menutup aurat dan yang penting nyaman.
Latar belakang pekerjaan santri Ponpes Waria bermacam-macam. Ada yang menjadi pengamen, jualan sayur, jualan di toko, penjual jagung, jasa salon bahkan jasa PSK. Pihak Ponpes Waria tidak pernah melarang apapun pekerjaan santrinya, Ponpes cukup menciptakan atmosfer yang agamis, supaya nanti santri Ponpes tersebut lebih bisa memilih mana kegiatan yang baik dan mana yang buruk, biar santri mendapatkan hidayah Allah dengan sendirinya. Misalnya saja jika ia berperilaku jelek, namun lambat laun santri tersebut rajin sholat berjamaah, nanti paling tidak ia akan merasakan timbulnya rasa lebih sabar.
Ponpes waria ini berjuang menurunkan stigma negatif masyarakat tentang keberadaan mereka dengan selalu menjunjung kesenian dan ibadah, supaya masyarakat tidak memandang waria dengan pandangan bisanya hanya melacur dan mengamen saja. Sebagian dari mereka pun pernah menikah dengan laki-laki normal, bahkan Ibu Shinta sudah pernah nikah 2kali, adalagi mbak Nur salah satu pengurus ponpes sudah nikah 6kali. Mereka menikah atas dasar komitmen, lalu dishare berita pernikahan itu ke keluarga kedua belah pihak. Ketika waria menemukan jodoh, hanya keluarga, teman dan tetangga yang diberi kabar, bukan pengakuan resmi/legal dari agama dan pemerintah.
Ibu Shinta sendiri mengaku, takdir sebagai waria itu sangat berat, dulu awalnya mereka menolak, tapi tetap tidak bisa. Sejak TK Ibu Shinta sudah merasa berjiwa perempuan, SMP saat olahraga sudah ikut grup perempuan, bahkan sekarang waria sudah dimasukkan ke dalam komnas perempuan tahun 2012. Maka tak herah, ibu Shinta yang lulusan Biologi UGM tahun ’89 yang merupakan waria pertama di UGM ini sering mengikuti rewang atau membantu tetangga masak saat ada hajatan. Dan itulah salahsatu usaha Ibu Shinta menurunkan stigma negatif masyarakat tentang waria.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H